Smart City dan Smart People Harus Sejalan



OLEH MUHAMMAD AFI RAMADHAN, Mahasiswa International Accounting Program (IAP) Universitas Syiah Kuala, peserta CIMB Young ASEAN Leaders 2018, melaporkan dari Kuala Lumpur, Malaysia

MALAYSIA merupakan salah satu destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan asal Indonesia, terlebih dari Aceh. Sebagai negara tetangga, kita perlu juga membandingkan perkembangan dari kedua negara, termasuk di area perkotaan masing-masing negara.

Alhamdulillah, saya diberi kesempatan untuk menjadi salah satu perwakilan Indonesia dalam acara CIMB Young ASEAN Leaders 2018 yang diselenggarakan CIMB Foundation dan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) di Kuala Lumpur dengan tema “Resilience and Innovation towards a Green and Prosperous Lifestyle: Smart City”. Acara ini dihadiri 50 peserta dari sepuluh negara ASEAN.

Selama seminggu penuh kami mengikuti seminar dan diskusi dengan para ahli di bidang smart city (kota pintar) dan sustainability (keberlanjutan). Kami juga berkunjung ke berbagai tempat menarik, eksplorasi budaya, dan kegiatan berkelompok berupa pembuatan model smart city 3 dimensi.

Melewati jalan-jalan di KL, Putrajaya, bahkan ketika kembali ke kampus UKM di Bangi, Selangor (45 menit dari pusat kota Kuala Lumpur), saya melihat bagaimana kesiapan infrastruktur dari negara ini sudah melampaui apa yang kita miliki saat ini, ditambah dengan ketertiban yang luar biasa walaupun kemacetan kerap terjadi pada jam-jam sibuk.

Saya juga merasakan suasana berbeda di perkotaannya, di mana saya mampu bernapas dengan lega di mana pun saya berdiri karena banyak sekali tumbuhan dan pepohonan berjejer dengan rapi sehingga menghasilkan udara bersih dan menyejukkan bagi mata. Salut!

Satu hal penting yang saya pelajari selama program ini adalah definisi smart city bukan hanya sekadar menggunakan aplikasi atau memasang CCTV di wilayah perkotaan, tapi juga menyediakan tempat hidup dan beraktivitas yang lestari dan berkelanjutan (sustainable), baik dari segi lingkungan, ekonomi, maupun sosial.

Jika dibandingkan dengan Banda Aceh, kita patut mengapresiasi usaha pemerintah yang membangun banyak sekali ruang terbuka hijau (RTH) di berbagai tempat, sehingga menambah asri pemandangan kota kita tercinta. Kita juga patut berbangga bahwa Banda Aceh sudah mendeklarasikan diri menuju smart city, dengan menghasilkan produk seperti informasi anggaran secara online.

Namun, setelah saya berdiskusi dengan para pemateri dalam acara ini, saya menemukan satu faktor penting yang belum mendukung terwujudnya smart city di Banda Aceh, yaitu smart people (orang cerdas). Maknanya, para warga kota harus terlibat secara aktif dan kreatif dalam mewujudkan dan memelihara program-program smart city yang telah dikembangkan. Contoh paling mudah yang saya temukan adalah masih banyak sekali sampah yang bertebaran di taman Ulee Lheue setiap akhir minggu tiba. Jika kita telah sampai di fase smart people maka idealnya seluruh fasilitas akan terjaga dengan baik, dan warga akan terlibat aktif dalam pemanfaatan fasilitas tersebut (seperti yang terjadi di Kota Bandung).

Saya merasakan masih kurangnya kesadaran warga kita dalam menjaga semangat smart city yang selama ini dielu-elukan oleh Pemko Banda Aceh. Perlu dilakukan sosialisasi lebih lanjut dari pihak pemerintah untuk meningkatkan pemahaman warga menuju fase smart people.

Saya juga sadar bahwa butuh waktu yang tidak singkat dalam mewujudkan konsep smart city yang kita idamkan selama ini. Namun, diperlukan usaha yang lebih baik untuk terus membangun sistem smart city selagi berusaha mengajak masyarakat menjadi smart people. Semoga!

Sumber:
http://aceh.tribunnews.com/2018/11/22/smart-city-dan-smart-people-harus-sejalan




Posting Komentar

0 Komentar