Pembangunan Berbasis Teknologi Komunikasi dan Komputer

Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis 
Teknologi komputer dan komunikasi telah menjadi trend setter dalam pembangunan perekonomian dunia. Perekonomian Negara maju dan berkembang semakin dipengaruhi oleh teknologi ini. Kenya, misalnya, telepon genggam telah menjadi alat pembayaran. Demikian pula dengan bagaimana pemerintah Jerman yang mulai menyadari atas ketertinggalannya pada teknologi komputer dan komunikasi dibandingkan dengan negara adidaya.

Jerman yang selalu memfokuskan strategi pembangunan pada pembangunan sumber daya manusia (SDM), memang terbukti berhasil mengembangkan teknologi permesinan sebagai lokomotif pembangunan ekonomi. Pemerintah Jerman menitikberatkan urusan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) ketika sebelum masuk pasar tenaga kerja. Sedangkan peningkatan kualitas pekerja adalah urusan perusahaan swasta, bukan urusan pemerintah lagi.

Kelebihan Jerman adalah pada kualitas pendidikan vokasionalnya. Tidaklah mengherankan jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika bertemu dengan Kanselir Jerman Angela Merkel hanya meminta satu permintaan, yaitu transfer pengetahuan tentang pendidikan vokasi dari Jerman ke Indonesia.

Asumsinya, pendidikan vokasi ini tidak bias kepada sektor industri, khususnya sektor permesinan. Hal itu mengingat Indonesia adalah bukan negara industry dan tidak memiliki keunggulan dalam permesinan.

Seyogianya pendidikan vokasi yang dapat dipelajari dan diterapkan di Jerman juga dapat diterapkan di Indonesia, khususnya pada sektor jasa. Masalahnya, ekspor jasa teknologi komputer dan telekomunikasi Indonesia telah mencapai puncaknya pada tahun 2006, di mana rasio ekspor jasa teknologi komputer dan komunikasi terhadap ekspor jasa total pernah mencapai angka tertinggi, yaitu 41%. Momentum penurunan rasio ini tampaknya hanya dapat dibelokkan jika pendidikan vokasi model Jerman tersebut mampu mendukung pendidikan vokasi dalam bidang jasa teknologi dan komunikasi.

Untuk itu, perusahaan di bidang teknologi komputer dan komunikasi di Indonesia harus menjadi penanggung jawab peningkatan kualitas pekerjanya. Strategi pemerintah Indonesia hars menempatkan pula perusahaan swasta sebagai badan utama yang menjalankan aktivitas untuk meningkatkan pelatihan pekerja di bidang teknologi computer dan komunikasi. Pemerintah hanya tugas memberikan insentif, dan bukan sebagai pemain.

Untuk itu, konsistensi model pendidikan vokasi Jerman haruslah ditiru secara apa adanya, sekalipun pemerintah Jerman tidak juga memaksakan akan modelnya tersebut. Pemerintah Jerman menyadari akan adanya perbedaan perilaku dan kondisi antara Indonesia dan Jerman.

Pendidikan kejuruan biasanya mengharuskan mahasiswa untuk magang, sebelum menamatkan program pilihan mereka. Durasi pendidikan vokasi sangat bervariasi, mulai dari satu semester, hingga beberapa tahun, tergantung program yang dipilih.

Berbeda dengan pendidikan gelar sarjana dan sebagainya, pendidikan vokasi ditawarkan lebih banyak institusi, baik itu universitas, kolese, politeknik, pusat pelatihan ataupun institusi-institusi lainnya yang berspesialisasi menyelenggarakan program pendidikan vokasi.

Pendidikan vok asi cocok bagi mereka yang sudah jelas dan yakin dengan apa yang ingin mereka kejar sebagai karier masa depan. Banyak sekali bidang yang tersedia mulai dari pariwisata dan perhotelan, manajemen ritel, pengembangan software, desain interior, teknik otomotif, penata rambut, hingga kuliner. Pendidikan vokasi menekankan keahlian praktikal yang dibutuhkan untuk terjun langsung ke industri serta membahas topik yang lebih spesifik, jika dibandingkan dengan perkuliahan di universitas yang membahas topik yang lebih luas.

Terbukti di Jerman pendidikan vokasi ini mampu menciptakan hubungan yang lebih efektif dan efisien antara dunia pendidikan dan dunia lapangan kerja.

Perlu juga diingat bahwa rasio ekspor komputer, komunikasi dan sebagainya terhadap total jasa ekspor Indonesia pada umumnya lebih tinggi dari rasio jasa komunikasi dan komputer terhadap total jasa ekspor. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa peran manufaktur dalam bidang komputer dan komunikasi juga masih besar. Namun demikian, nilai rasio tertinggi ekspor komunikasi, komputer dan sebagainya terhadap total jasa ekspor Indonesia hanya 47% pada tahun 2012. Angka rasio ini memberikan harapan di mana jika Indonesia berpeluang dan mampu meningkatkannya sektor ini menjadi penghasil devisa utama. Tren ini juga sejalan dengan semakin dominannya sektor jasa di dalam perekonomian Indonesia, yang terbukti sudah mampu mengalahkan industri dan pertanian.

Dengan kata lain, jika Jerman menciptakan surplus perdagangan dengan mengutamakan ekspor industri permesinan, maka Indonesia bisa pula mengutamakan ekspor jasa komputer dan komunikasi sebagai motor untuk menciptakan neraca berjalan yang surplus. Paling tidak ekspor barang manufaktur berbasis komputer dan komunikasi. Rasio ekspor manufaktur terhadap total ekspor barang Indonesia paling tinggi adalah 57% pada tahun 2000. Angka itu terus menerus menurun. Logikanya, jika sistem vokasi Jerman diimplementasikan engan baik di Indonesia, seharusnya jika juga akan mampu meningkatkan rasio ini di masa depan. Namun demikian, prioritas harus tetap diberikan kepada sector jasa yang merupakan soko guru bagi penciptaan lapangan kerja dan nilai tambah di Indonesia.

Hal itu jika Indonesia memang ingin memaksimalkan transfer ilmu dari pendidikan vokasi versi Jerman. Apakah sektor manufaktur lantas menjadi dilupakan? Jawabannya sangat jelas, yaitu tidak boleh dilupakan. Pendidikan vokasi untuk sektor manufaktur haruslah yang terkait dengan industry 4.0.

Dengan demikian, langkah menteri perindustrian mengembangkan pendidikan vokasi petrokimia merupakan kesalahan fatal yang harus dikoreksi secepatnya. Apalagi pengembangan industry yang dicanangkan oleh menteri perindustrian itu semakin menyebabkan industri yang berbasis sumber daya alam (SDA) di Indonesia akan semakin ketinggalan daya saingnya, misalnya industri furnitur.

Padahal pendidikan vokasi bagi industry furnitur berbasis industry 4.0 justru yang akan menghasilkan keunggulan kompetitif bangsa Indonesia ketimbang industri petrokima yang bahan bakunya dari impor, di mana Indonesia menjadi net importir minyak.

Hal ini dapat terjadi karena pendidikan vokasi hanya dilihat sebagai kebijakan tambal sulam. Parahnya, strategi industri Indonesia ditentukan oleh konsultan asing yang memiliki kepentingan bisnis, yang akan mematikan sektor-sektor yang tidak memiliki hubungan bisnis dengan konsultan asing tersebut.

Dengan demikian, permintaan Presiden RI kepada Kanselir Jerman sebetulnya merupakan permintaan yang sangat strategis, yang seyogianya tetap harus ditindaklanjuti secara seksama.

sumber : https://id.beritasatu.com/home/pembangunan-berbasis-teknologi-komunikasi-dan-komputer/187869

Posting Komentar

0 Komentar