ISI Yogyakarta Siap Hadapi Revolusi Industri 4.0

Rektor ISI Yogyakarta, Prof. Dr. M. Agus Burhan. M.Hum 
BANTUL - Pengembangan kecerdasan buatan [Artificial Intelligence] saat ini berkembang sangat pesat di segala lini kehidupan manusia. Termasuk dalam bidang pendidikan.

Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sebagai lembaga pendidikan seni sekaligus menghasilkan kajian, penciptaan dan insan seni menangkap perkembangan Revolusi Industri 4.0 itu sebagai tantangan dan juga peluang.

Sebagai langkah rintisan dalam upaya menyongsong revolusi industri 4.0 mulai dipersiapkan. Di antaranya dengan merintis mata kuliah yang dirancang blanded learning hingga pembelajaran jarak jauh.

Kita sudah merintis ada beberapa mata kuliah yang sudah dirancang Blanded Learning.Pembelajaran jarak jauh. Itu bisa dilakukan dengan total, tapi bisa juga dilakukan dengan semi online," kata Rektor ISI Yogyakarta, Prof. Dr. M. Agus Burhan. M.Hum.

Kuliah Blanded Learning ini sangat memungkinkan Dosen memberikan materi ataupun penugasan melalui koneksi jaringan.

Kendati demikian, konsep kuliah daring tersebut menurut Agus, tetap ada evaluasi dan tatap muka antara dosen dan mahasiswa dalam sekian persen perkuliahan.

"Ini sudah banyak dilaksanakan untuk mata kuliah teori," terangnya.

Melalui kecerdasan buatan di era revolusi industri 4.0 sangat memungkinkan proses kegiatan akademik ditopang dengan kemajuan teknologi yang serba otomatis.

Lantas, bagaimana pengaruh Kecerdasan Buatan ini dalam proses kreatifitas seni?

Agus Burhan mengatakan secara umum penciptaan kreatifitas seni bisa ditunjang dengan teknologi. Misalkan saja karya seni murni, seperti seni lukis, seni patung dan seni grafis. Sudah diaplikasikan dengan teknologi.

"Digital painting, digital sculpture atau digital drawing," jelasnya.

Bahkan, menurut Agus, program studi di ISI Yogyakarta juga sebagian telah menerapkan penggunaan teknologi informasi digitalisasi. Seperti desain komunikasi visual maupun media rekam. Kegiatan di mata kuliah itu sudah langsung bersinggungan dengan teknologi.

"Di seni musik juga sama. Ada berbagai penciptaan mengembangkan komposisi dengan bantuan teknologi digital," ujar dia.

Perkembangan seni tentu harus menyesuaikan dengan jiwa zaman. Zaman yang terus berkembang saat ini dijiwai dengan terus berkembangnya teknologi dan digitalisasi.

Akan tetapi, menurut Agus, seni tetap harus ditempatkan pada marwahnya. Sebagai satu kreatifitas yang merdeka.

"Seni tidak bisa dideterminasi [dikekang] oleh teknologi. Seni bahkan bisa juga melampaui teknologi. Karena kebebasan itu milik manusia," ujar dia.

Tanggal 29 Mei 2019 mendatang, ISI Yogyakarta akan menggelar perayaan hari kelahiran atau Dies Natalis ke-35. Tahun ini tema yang diusung adalah "Kecerdasan Buatan dalam Seni di Era Revolusi 4.0"

Menurut Agus, era revolusi industri keempat ini harus disadari bersama sebagai satu tantangan baru dalam kreativitas seni. Baik penciptaan, penyajian maupun pengkajian seni.

Namun semua itu harus dilihat sebagai satu bentuk dialogis dengan kekuatan kebebasan kreativitas seni itu sendiri. Karena seni marwahnya adalah kebebasan yang mandiri. Seni bisa tanpa teknologi dan bahkan bisa melampaui teknologi.

Yang harus menjadi solusi, menurut Agus adalah paradigma baru dalam pengembangan pendidikan seni. Paradigma baru itu harus melihat teknologi informasi dan digitalisasi dalam Revolusi Industri 4.0 secara dialogis sebagai peluang dan sekaligus tantangan. Namun tetap harus menjaga mawar seni.

"Kita tidak mungkin mengabaikan artificial intellegence [Kecerdasan Buatan], tetapi kita tidak bisa juga hanya dideterminasi [dikekang] oleh teknologi," jelasnya. (Tribunjogja I Ahmad Syarifudin)

Posting Komentar

0 Komentar