Perguruan Tinggi Harus Akomodasi Kebutuhan Lulusan di Revolusi Industri 4.0

YOGYA - Dalam menghadapi era revolusi industri 4.0, Perguruan Tinggi harus mampu mengakomodasi kebutuhan yang dibutuhkan oleh lulusannya.

Sampai dengan saat ini, masih sedikit Perguruan Tinggi yang memiliki program studi maupun program pembelajaran yang mampu menjawab tantangan revolusi industri 4.0.

Dari data yang dipaparkan oleh Center For Digital Society (CfDS) UGM, dari total sebanyak 4.504 jumlah perguruan tinggi di Indonesia, hanya ada beberapa universitas yang memiliki prodi-prodi baru maupun program pembelajaran yang bisa menjawab tantangan revolusi industri 4.0.

Adapun Aktuaria merupakan ilmu mengenai pengelolaan risiko keuangan di masa yang akan datang, yang mana Aktuaria ini mengkombinasikan antara ilmu mengenai peluang, matematika, statistika, dan pemrograman komputer.

Beberapa universitas yang sudah mendirikan prodi ini diantaranya Institut Pertanian Bogor (2017), Institut Teknologi Sepuluh November (2018), Universitas Padjadjaran (2018), Universitas Indonesia (2018) serta Universitas Gadjah Mada (2019).

"Sedangkan untuk prodi Bisnis Digital hanya ada di Universitas Padjadjaran (2018). Memang di revolusi industri Perguruan Tinggi juga harus mengakomodir kebutuhan lulusannya. Semisal Aktuaria, nah ketika revolusi industri kita butuh orang-orang yang mampu ada dibelakang big data. Jadi menyediakan prodi yang dibutuhkan oleh pemerintah maupun Industri untuk revolusi industri," terangnya.

Hal tersebut bisa dilihat dimana tren generasi Z yang saat ini sudah mulai beralih menuju bimbel digital seperti Quipper yang sudah mencapai 5 juta pengguna, Ruang Guru mencapai 9 juta pengguna maupun Zenius mencapai 10 juta pengguna.

Namun, dari ribuan Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia, hanya ada 51 Perguruan Tinggi yang sudah memiliki program Distance Learning.

"Pada segi edukasi keberadaan laboratorium yang menunjang pendidikan dan penelitian terkait Big Data, Artificial Intelligence dan Machine Learning juga penting untuk mulai dikembangkan. Dengan Online Learning dan Distance Learning ini bisa digunakan untuk meningkatkan angka partisipasi mahasiswa yang dapat menempuh pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi, dimana saat ini angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia hanya mencapai 34%," ungkapnya.

Sementara itu, Iradat Wirid yang juga peneliti dari CfDS UGM mengungkapkan, selain Perguruan Tinggi, dari sisi mahasiswa juga harus didorong untuk memilih prodi yang memang dibutuhkan untuk menjawab tantangan revolusi industri 4.0.

Dia menjelaskan, dari tahun ke tahun, tren pemilihan prodi calon mahasiswa baru melalui Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) masih diduduki prodi-prodi konvensional.

Dari data yang dikeluarkan oleh Kemenristekdikti, sejak tahun 2016-2018, Prodi Pendidikan Dokter, Ilmu Hukum, Manajemen serta Ilmu Komunikasi masih menduduki peringkat teratas.

Selain itu, selama tiga tahun terakhir, terdapat pula fenomena menarik tentang tren kenaikan peminatan pada beberapa program studi seperti Antropologi Sosial, Bahasa dan Kebudayaan Korea, serta Teknologi Pendidikan.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa fenomena transformasi digital yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak lantas menjadikan program-program studi dengan fokus pada isu-isu digital dan teknologi menjadi favorit para calon mahasiswa baru," ungkapnya. sumber : (TRIBUNJOGJA.COM)

Posting Komentar

0 Komentar