Ilustrasi. (Michael Schwarzenberger/Pixabay) |
Google mendaftar bahwa soft skill sedikitnya mencakup kecerdasan emosional meliputi keterampilan komunikasi, mendengarkan, empati, suportif, menjadi pelatih, coach, dan seterusnya. Kini dalam konteks perkembangan pasar di tengah terbukanya akses teknologi, kita juga dapat membaca bahwa individu sebagai figur kreatif (innovator-entrepreneur) dan influencer khususnya dalam jejaring dunia maya tak jarang terasa lebih signifikan pengaruhnya dibanding institusi dan perusahaan tertentu. Kini individu yang unggul dengan keterampilan tinggi cenderung memiliki kesempatan lebih besar untuk menjadi expert di bidang masing-masing dan lebih dihargai bahkan dimungkinkan menciptakan pasar sendiri dari bawah karena perkembangan inovasi teknologi dan industri kini tidak hanya bersifat monolitik dan top-down semata. Fenomena munculnya perusahaan-perusahaan start-up yang bagaikan cendawan di musim hujan cukup membuktikan bahwa kini inovasi teknologi telah memicu munculnya ruang-ruang pasar (marketplaces) baru yang berasal dari bawah. Kini, berbagai aplikasi teknologi telah diciptakan untuk memenuhi permintaan (demand) pasar di berbagai segmen kebutuhan praktis manusia mulai dari transportasi, komunikasi, transliterasi bahasa, kemudahan transaksi bisnis, kebutuhan informasi tertentu dan lain-lain. Perkembangan inovasi teknologi yang semakin masuk ke dalam ceruk berbagai segmen kebutuhan hidup masyarakat yang sangat beragam tidak bisa dipungkiri telah menciptakan lebih banyak ruang pasar (marketplace) dalam bentuk permintaan dan penawaran baru dalam pasar. Di dalam ceruk dan ranah ekuilibrium permintaan dan penawaran pasar yang dipicu teknologi inilah sesungguhnya diperlukan potensi soft skills manusia untuk membaca, mengorganisasi, hingga memobilisasi sumber daya demi menciptakan inovasi teknologi yang akan mendukung berbagai kebutuhan praktis manusia. Oleh sebab itu, demokratisasi akses teknologi, kini tidak hanya menjadikan kita sebagai sasaran (objek) pasar tapi seringkali (jika punya kreativitas) juga memiliki kesempatan untuk menciptakan ruang pasar (marketplace) dengan merespons kebutuhan pasar melalui akses dan kemampuan soft skills kita dalam berinovasi menggunakan teknologi yang kita miliki sebagai modal. Kini, percepatan teknologi telah mengangkat potensi kreativitas dan inovasi individu menjadi lebih dibutuhkan pasar. Meningkatnya peran individu juga niscaya meningkatkan pula penghargaan terhadap nilai-nilai kemerdekaan dan kebebasan manusia secara kualitatif lebih dihargai karena potensi riil dalam dirinya dan bukan karena privilege modal warisan dan akses kekuasaan semata. Namun, semua hal positif dan optimisme di atas adalah gambaran ketika tiap individu diandaikan sudah memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai dan dibutuhkan dalam mendayagunakan secara optimal fungsi teknologi dalam mendukung aktualisasinya. Persoalan lainnya kini adalah ekosistem sosial dari pasar dan industri yang berplatform teknologi belum sepenuhnya terbangun dengan baik di samping kegagapan pemerintah merespons perkembangan. Akibatnya, persaingan dalam inovasi teknologi telah memunculkan kompetisi terbuka tanpa arbitrasi dan proteksi sehingga ekses self-interest bahkan kondisi saling men-disrupsi (disruption) cenderung menjadi destruksi. Kondisi tersebut pada akhirnya cenderung menciptakan persaingan predatoris degan kekuatan modal material lebih besar akan mencaplok kekuatan modal lebih kecil. Persis seperti kata pepatah Jawa Asu Gedhe Menang Kerahe (anjing yang lebih besar akan memenangkan pertarungan).
Kesenjangan kemampuan tiap individu, kesenjangan modal, belum lagi persoalan paradigma pembangunan dan regulasi yang masih cenderung berpihak pada oligarki dan konglomerasi modal lama menjadi kenyataan yang tidak mudah bagi generasi muda kini, generasi pribumi digital (digital native) dalam mengaktualisasikan kemampuannya. Kondisi sosial inilah yang memunculkan wacana dan narasi bahwa perkembangan teknologi otomasi (yang akan segera mengambil-alih sebagian besar pekerjaan teknis-administratif manusia) merupakan sebuah ancaman dan bukan tantangan baru yang mesti dihadapi dan diatasi ke depannya. Meskipun realitas ini sangat disayangkan sebab Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah penduduk usia muda, jumlah pribumi digital (digital native) terbesar di dunia yang mestinya lebih menjadikan perkembangan teknologi sebagai tantangan dan bukan ancaman dalam narasi dan wacana yang diarus-utamakan. Bahkan, Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi diaspora-diaspora kreatif yang tersebar di perusahaan-perusahaan teknologi ternama di dunia. Semestinya otoritas negara lebih responsif dengan memfasilitasi potensi besar tersebut dengan mendukung terciptanya ekosistem dan ruang yang kondusif bagi perkembangan inovasi teknologi dengan melindungi mereka dari persaingan yang tidak seimbang. Atau negara semestinya mulai berpikir jauh ke depan dengan menanam investasi modal manusia melalui pendidikan, pembiayaan riset dan kesehatan bagi manusia-manusia muda potensial. Namun, dalam kenyataannya, begitu banyak usaha-usaha start-up dan pasar berplatform teknologi hingga riset teknologi yang mengalami kendala dalam regulasi dan perlindungan payung hukum. Suatu kendala yang sangat menghambat perkembangan kemajuan teknologi ke depannya. Realitas ini pada akhirnya memaksa tiap individu atau kelompok untuk survive dengan bergantung pada kemampuan mereka sendiri di hadapan persaingan pasar kerja yang baru. Oleh sebab itu, kini teknologi tidak cukup dipandang sebagai alat (tools) komplementer yang hanya membantu menyelesaikan beban kerja rutin dan teknis (Business as Ussual) semata sebab teknologi kini juga tengah mengubah sifat kerja (The Changing Nature of Work) bahkan mendisrupsi pola dan paradigma kerja lama. Dengan demikian, secara potensial pada akhirnya manusia dituntut untuk meng-upgrade kemampuannya dan secara bersamaan mengafirmasi teknologi ke dalam pola kerja yang baru. Faktanya, kini determinasi teknologi telah menuntut peran kompetitif manusia dalam mengaktualisasikan kemampuan individunya di tengah perubahan yang dipicu teknologi. Semisal di sekolahan pola pengajaran hanya menempatkan peserta didik sebagai objek transfer of knowledge, dengan metode salin hafalan teks bahan ajar, barangkali kini sudah tidak relevan dan kurang menarik bagi generasi pribumi digital (digital native). Kini, video tutorial pengetahuan di internet kemasannya barangkali jauh lebih menarik jika hanya sebatas menyajikan tutorial pengetahuan. Maka peran tenaga pengajar kelak baru diakui kemampuannya secara kualitatif, apabila ia mempunyai keunggulan soft skills dengan mengajarkan peserta didiknya secara kreatif dengan sentuhan personal serta mampu mengafirmasi teknologi sebagai penunjang pengajaran sehingga bernilai lebih dari sekadar bimbingan tutorial-teknikal. Sama halnya di dunia jurnalistik ketika teknologi internet telah mendeliberasi akses informasi, kini wartawan dan dapur redaksi dituntut untuk menulis berita lebih menarik dan kreatif, lebih dari sekadar transfer informasi (yang kini atau pada saatnya nanti akan lebih banyak dikerjakan robot). Artikel berita yang hanya menyajikan informasi how-to, know-how, yang kering tanpa sentuhan artikulasi retoris dan bahasa yang unik perlahan akan diambil-alih perannya oleh teknologi otomasi dan robot.
sumber : https://www.ayobandung.com/read/2019/05/10/51993/prospek-soft-skill-dalam-revolusi-industri-40
0 Komentar