Tenaga Kerja di Indonesia Belum Siap Penuhi Kebutuhan Revolusi Industri 4.0

MENTERI Kominfo, Rudiantara, mengatakan, Indonesia butuh 600.000 digital talent untuk disiapkan menghadapi bonus demografi 2030. Namun, saat ini, baru ada sekitar 34.000 yang sudah dilatih. Digital talent adalah mereka yang antusias mempelajari coding, artifisial intelligent dan hal lain yang menyangkut teknologi revolusi industri 4.0.*/DOK HUMAS KEMENKOMINFO
BANDUNG, (PR).- Tenaga kerja di Indonesia dinilai belum siap menghadapi revolusi industri 4.0. Alasannya, masih banyak angkatan kerja di tanah air yang latar belakang pendidikannya kurang memadai. Selain itu, suplai tenaga kerja yang memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh industri 4.0 pun masih minim.
“Jika melihat kesiapan tenaga kerja kita di era revolusi industro 4.0, bisa dikatakan mengkhawatirkan,” ujar ekonom dari Universitas Padjajaran, Mohamad Fahmi, di Bandung, Senin, 29 April 2019.
Fahmi mengatakan, perkembangan teknologi telah mendisrupsi sejumlah sektor usaha di Indonesia. Walau ia tak menampik bahwa pekerja yang hanya lulusan pendidikan dasar tetap bisa bekerja sepanjang dapat membaca dan mengoperasikan telepon seluler.
Hanya, ia menambahkan, kemampuan yang dibutuhkan dari para pekerja di era industri 4.0 adalah terkait artificial intelligent atau kecerdasan buatan, cloud computing atau komputasi awan, big data analytics atau analisis big data, dan internet of things. Saat ini, sumber daya manusia yang telah duduk di bangku perkuliahan bahkan belum menguasai sehingga banyak perusahaan kesulitan mencari SDM di tanah air yang memiliki keahlian tersebut.
Dia mengutip survey yang dilakukan Linkedin, sebuah situs jaringan sosial yang berorientasi bisnis pada 2017 lalu. Survey tersebut mengungkapkan bahwa minat perusahaan terhadap tenaga kerja yang memiliki keahlian big data cukup banyak dan perkembangannya pun cepat. Namun, persoalannya, suplai tenaga kerja yang memiliki keahlian tersebut rendah atau lambat.
“Untuk pekerjaan yang membutuhkan banyak kemampuan IT dan semacamnya masih belum banyak. Saat ini banyak perusahaan yang membutuhkan ahli big data atau codingtetapi susah mencari luluannya. Kalau boleh dibilang, ya, tidak siap dan cukup mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, kami di Unpad membuat program studi digital bisnis untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” katanya.
Ketidaksiapaan tenaga kerja akan memengaruhi daya saing industri
Disinggung mengenai dampak ketidaksiapan tenaga kerja lokal saat ini terhadap kinerja industri, khususnya manufaktur, Fahmi tak menampik hal itu akan cukup memengaruhi daya saing industri di tanah air. Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain yang saat ini menerapkan operasional di industri dengan lebih banyak menggunakan teknologi modern yang lebih canggih.

Berdasarkan hal tersebut, menurut Fahmi, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan skill para pekerja yang ada. Langkahnya bisa dilakukan melalui penyelenggaraan training atau pelatihan, baik yang diselenggarakan pemerintah, pihak swasta, maupun dunia pendidikan.

Selain itu, peningkatan keterampilan juga bisa dilakukan melalui pendidikan vokasi. Dengan demikian, seiring meningkatnya skill para pekerja maka diharapkan kinerja industri juga akan bergerak positif.

“Dengan perkembangan yang terjadi saat ini, langkah tersebut mendesak untuk dilakukan. Pemerintah telah melakukan berbagai pelatihan, namun hal tersebut belum cukup dan balai pelatihan yang ada belum menyentuh apa yang menjadi kebutuhan di era revolusi industri. Begitu juga dengan perusahaan swasta dan perguruan tinggi harus masuk ke sana untuk meningkatkan kemanpuan para pekerja yang sudah bekerja ini,” katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, dalam setahun terakhir, persentase penduduk bekerja berpendidikan SD ke bawah mengalami penurunan, dari 41,06 persen pada Agustus 2017 menjadi 38,89 persen pada Agustus 2018. Penduduk bekerja dengan pendidikan universitas menurun dari 9,16 persen pada Agustus 2017 menjadi 8,95 persen pada Agustus 2018.***

Posting Komentar

0 Komentar