Menimbang Penalti bagi Pekerja Formal

Tenaga kerja sektor bangunan (Foto: Agung Pambudhy/detikcom)


Pergerakan pengaturan dalam perundang-undangan tidak secepat perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu tak ayal masih terdapat hal-hal yang belum mampu diakomodasi oleh hukum secara komprehensif. Pun terkait perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia yang begitu cepat, tidak semua hal mampu diakomodasi secara cepat pula oleh peraturan perundang-undangan.

Penalti bukanlah istilah asing di masyarakat. Sebuah mekanisme pengaman bagi perusahaan untuk menjaga produktivitas dengan mempertahankan jumlah dan kualitas pekerja dalam satu perusahaan. Ketentuan mengenai penalti di Indonesia belum diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan. Melainkan hanya terbersit secara singkat pada satu pasal yaitu Pasal 62 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal sebagai Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK).

Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit istilah penalti, melainkan menggunakan istilah ganti rugi dan hanya disebutkan secara singkat mengenai penjatuhan ganti rugi dilakukan mana kala salah satu pihak baik pekerja maupun pengusaha melakukan pengakhiran hubungan kerja di luar ketentuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 61 ayat (1) UUK.

Pasal tersebut menunjukkan, suatu perjanjian kerja berakhir dalam hal: 1) pekerja meninggal dunia; 2) berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; 3) adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 4) adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Sebagaimana diatur dalam UUK, besaran penalti yang dapat dijatuhkan yaitu tiga kali lipat dari upah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan yang diberikan pada pekerja. Ketentuan penalti yang termuat dalam perjanjian kerja pada pelaksanaannya menjadi momok yang sangat ditakuti oleh pekerja.

Besaran penalti yang dijatuhkan pengusaha bahkan ada yang mencapai angka yang cukup fantastis yang menimbulkan dilema bagi pekerja untuk menandatangani perjanjian kerja yang memiliki muatan penalti. Jika tidak menandatangani perjanjian kerja, maka hilanglah satu kesempatan memperoleh penghasilan; sedangkan di sisi lain pekerja membutuhkan income untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Keberadaan penalti tentu menjadi kekangan tersendiri bagi pekerja. Baru-baru ini mencuat kasus pekerja yang menghabisi nyawanya sendiri karena frustrasi tidak mampu membayar penalti yang dijatuhkan padanya. Hal yang menjadi sorotan terkait nominal penalti yang begitu fantastis sehingga pekerja tidak memiliki kemampuan untuk membayar penalti tersebut hingga berujung duka. Tentu menjadi sebuah duka mendalam dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia.

Melakukan rekrutmen pekerja membutuhkan biaya yang cukup besar sehingga menjadi hak pengusaha dalam hal mengadakan penalti untuk menjaga keamanan kondisi pekerja di suatu perusahaan. Hal yang menjadi permasalahan yang berkembang di masyarakat ialah adanya jumlah penalti yang tidak patuh pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 62 UUK sebagaimana yang telah terurai di atas. Masih terdapat angka-angka penalti yang cukup fantastis dan jika dikaitkan dengan upah pekerja setiap bulannya masih terdapat ketimpangan dan belum menemukan kaitan angka yang logis antara upah yang diperoleh setiap bulan dengan penalti.

Pendapat yang bermunculan terhadap ketidakpatuhan tersebut dikarenakan jumlah penalti yang terdapat dalam UUK tersebut tidak cukup membuat "bimbang" untuk mengundurkan diri dari suatu perusahaan yang menerapkan. Oleh karena itu penentuan nominal penalti cenderung bernilai fantastis untuk mampu mempertahankan pekerja dalam suatu perusahaan.

Era Revolusi Industri 4.0 menjanjikan banyak hal bagi masyarakat luas, termasuk pekerja pada sektor formal. Bukan lagi mengutamakan "pekerjaan tetap", melainkan "tetap bekerja". Fenomena ini mengubah kondisi ketenagakerjaan, yang perlu segera disikapi dengan peraturan yang ada.

Pada era ini, perlu diwaspadai oleh perusahaan akan fenomena kehilangan pekerja-pekerja yang andal dalam perusahaan karena memilih untuk bekerja secara mandiri dengan penghasilan yang lebih besar dengan memanfaatkan teknologi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kembali mengenai penetapan penalti di suatu perusahaan, apakah masih relevan terutama terkait besaran penalti yang akan dijatuhkan.

Revolusi Industri 4.0 ada dan nyata di masyarakat, namun tentu tak akan menghapuskan pola pekerjaan formal yang ada secara menyeluruh. Sehingga, jika pun masih ingin mempertahankan keberadaan penalti untuk menjaga stabilitas suatu perusahaan, maka perlu sinergi dari berbagai pihak, baik pengusaha, pekerja dan pemerintah.

Saat ini pemerintah sedang mencanangkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang di dalamnya memuat tentang RUU Ketenagakerjaan. Besar harapan dalam ketentuan tersebut nantinya memuat tentang ketentuan penalti. Terutama terkait dengan besaran penalti yang harus diformulasikan secara tegas dalam bentuk perumusan matematis yang ke depannya dapat diimplementasikan di lapangan demi terciptanya suatu keharmonisan dalam hubungan industrial.

Matematika rumusan penalti yang tertuang dalam surat peraturan perundang-undangan tiada lain bertujuan untuk mengembalikan fitrah penalti sebagai mekanisme pengaman bagi perusahaan untuk menjaga produktivitas dengan mempertahankan jumlah dan kualitas pekerja dalam satu perusahaan.

Sejatinya suatu hubungan industrial dapat terjalin dengan harmonis manakala ada komunikasi yang baik antara pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Harmonisasi tersebut akan semakin terjalin dengan baik jika adanya suatu "aturan main" yang jelas dan tegas dalam berlangsungnya proses hubungan industrial, khususnya dalam hal ini soal penalti.

sumber:https://news.detik.com/kolom/d-4849792/menimbang-penalti-bagi-pekerja-formal

Posting Komentar

0 Komentar