Kekosongan Dimensi Smart Enviroment Pada Penatalaksanaan Program Smart City di Kota-kota Besar

 



Gerakan Menuju 100 Smart City yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia memiliki latar terkait fenomena urbanisasi maupun transmigrasi yang meningkat, dimana permasalahan urbanisasi ini dapat berdampak pada tingginya populasi penduduk, sedangkan sistem wilayah yang ada apabila masih bersifat konvensional, maka hal tersebut dapat menurunkan kualitas kinerja pemerintahan daerah sekaligus memberikan peluang maraknya persediaan lowongan kerja di perkotaan serta upaya meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat yang tidak sesuai dengan konsepsi keamanan lingkungan alam sekitar.  

Menurut artian sempit dari Gerakan Menuju 100 Smart City yaitu konsep Smart City merupakan langkah terobosan bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan kualitas wilayah daerahnya dengan penerapan konsep tata kelola pemerintahan yang cerdas dengan instrumen teknologi dan komunikasi dalam mewujudkan pelayanan masyarakat.

Dimana hal ini dapat dilihat dari banyaknya kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan juga Bandung yang berlomba-lomba membesarkan anggaran pendapatan daerah mereka untuk membiayai program-program peningkatan teknologi serta komunikasi pada skema Information and Communication Technology (ICT) agar kedudukannya dapat disebut sebagai Smart City. 

Di lain sisi, pada perluasan konsep Smart City atau kota pintar bukan hanya berfokus pada pengelolaan pelayanan masyarakat dengan teknologi saja, namun juga merujuk pada kinerja pemerintah daerah dalam menjembatani perspektif perkotaan melalui berbagai dimensi meliputi berbagai dimensi mulai dari lingkungan hingga SDM.

Dimana apabila dianalisa dimensi-dimensi tersebut yaitu, Smart Environment mengenai pengelolaan lingkungan dilakukan berbasis IT sekaligus pengembangan energi terbarukan, Smart Infrastructure, dimana pengembangan jalur transportasi berbasis IT, Smart Governance yakni merujuk pada pengembangan organisasi pemerintahan yang mengadopsi Information and Communication Technology (ICT), Smart Economy yakni mengembangkan branding perkotaan dengan mengimplementasikan banyak industri-industri baru serta kewirausahaan dengan mengadopsi sistem lebih modern seperti bekerjasama dengan pihak luar dalam skema paradiplomasi, Smart People yakni pengembangan SDM yang melek teknologi dan memiliki acuan pendidikan secara modern, serta Smart Living yakni terpenuhinya seluruh pelayanan kemasyarakatan mulai dari pendidikan, kesehatan, kependudukan, yang turut mengadopsi sistem teknologi modern dengan jaminan keamanan serta pantauan oleh pemerintah.

Perspektif politik yang kental pada penatalaksanaan Gerakan Menuju 100 Smart City yakni meninjau kemampuan pemerintah dalam meningkatkan peranan SDM yang tinggi di perkotaan untuk dapat bersinergi bersama-sama menciptakan pertumbuhan ekonomi, guna menekan gejolak sosial serta kriminalitas yang ada.

Modernisasi perkotaan di Indonesia lebih baik dilakukan dalam aspek paradiplomasi dimana kapasitas SDM yang dimiliki ditingkatkan pada kualitas Internasional untuk mencapai program pembangunan masyarakat yang berkelanjutan atau Sustanaible Development Goals (SDG’s). Akan tetapi apabila dikritik, pemerintah di wilayah Kota besar seperti Jakarta, seakan-akan hanya berfokus pada program-program kerjasama paradiplomasi yang dapat menghasilkan ‘cuan’ semata, tanpa mereka mencoba untuk menyeimbangkan Sustanaible Development Goals pada dimensi Smart Environment. 

Sedangkan apabila ditelusuri, beberapa program pemerintah daerah yang terkait kebijakan pembukaan industri bersama perusahan-perusahaan multinasional di bidang manufaktur di Indonesia, hanya mengadopsi program Coorporate Social Responsibility (CSR) apabila terjadi kelalaian kinerja yang menghasilkan adanya dampak limbah dan juga bencana alam, dimana hal ini menegaskan bahwa paradiplomasi yang dilakukan memang menguntungkan bagi daerah di Indonesia dari segi adanya modal untuk mengusung Gerakan Menuju 100 Smart City, namun di lain sisi, daerah-daerah besar di Indonesia dapat merugi dari aspek lingkungan karena kealpaan mereka untuk turut melakukan paradiplomasi yang bergerak pada konsep Smart Environment yang dapat berfungsi menjaga keharmonisan lingkungan alam dan manusia ketika kerjasama tersebut sedang berlangsung. 

Paradiplomasi pada Smart Environment untuk menciptakan strategi Smart City, dapat dilakukan pada hal terkecil, seperti belajar mengembangkan industri maupun bekerjasama dengan industri Internasional yang bergerak di bidang daur ulang sampah. Contohnya, di tengah banyaknya industri metropolitan di wilayah Amerika, kota Seattle memiliki perusahaan pengolahan sampah seperti Recology yang mana perusahaan ini berkembang hingga ke San Fransisco.

Urgensi dari adanya Seattle untuk menciptakan industri tersebut yakni adanya kontaminasi sampah yang selain bersifat menyumbat aliran sampah, sampah dengan berbagai jenis tanpa adanya pemilahan tersebut menyebabkan kualitas air yang keruh dan banyaknya permasalahan lingkungan atau ekologi setempat.

Sehingga, perusahaan pengelolaan limbah yang dinaungi oleh pemerintah ini memiliki visi dan misi dalam pengolahan limbah sampah plastik secara benar yakni dengan cara pemilahan, penghancuran menjadi keping-keping kecil, dan didiamkan serta difermentasikan (ditutup terpal hitam) untuk menjadi kompos yang dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk penunjang, dimana pengolahan ini menghasilkan emisi yang lebih kecil daripada pembakaran sampah secara langsung. Selain itu, Recology juga berfokus pada pembuatan sumber energi baru dengan menggunakan kompos yang pada dasarnya mengandung karbon atau bahan siap bakar.

Selain itu, kompos juga dapat dijadikan rujukan sebagai pupuk pada lahan-lahan yang membutuhkan recovery. Dimana hal ini seakan-akan menegaskan bahwa Smart City bukan melulu berbicara tentang kemampuan pengadaan teknologi dan pendapatan daerah, melainkan juga terkait kemampuan daerah dalam menjaga keamanan lingkungan wilayahnya. 

Berdasarkan refleksi tersebut, dapat ditelaah bahwa perkotaan besar di Indonesia yang banyak populasi penduduknya yang mana hal ini mengasumsikan adanya kecenderungan produksi sampah yang tinggi, harus turut melibatkan sejumlah dorongan untuk melakukan kerjasama paradiplomasi bersama negara maju seperti Amerika, khususnya Kota Seattle untuk belajar menciptakan industri serupa yang berfokus pada aspek pengelolaan lingkungan serta kesadaran akan Sustainable Development untuk benar-benar mengisi kekosongan dimensi  Gerakan Menuju 100 Smart City guna mempertahankan dan mengupayakan kesinambungan lingkungan di masa depan. 

Sumber: https://jurnalpost.com/kekosongan-dimensi-smart-enviroment-pada-penatalaksanaan-program-smart-city-di-kota-kota-besar/17464/


Mari lihat dan pelajari SMART MANUFACTURING dengan solusi ADVANTECH 04 Feb 2021 - segera daftar di EVENTCERDAS.COM / https://s.id/eventcerdas4feb #aptiknas #eventcerdas #smartmanufacturing #smartfactory #advantech




Posting Komentar

0 Komentar