NU dan Tantangan Solidaritas Global


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan cermin betapa Indonesia tidak hanya berada di pinggiran peradaban dunia, namun juga harus ikut membentuk wajah global. Sejak awal didirikan, para kiai sepakat bahwa Nahdlatul Ulama tidak hanya bersifat lokal, namun juga menginternasional, berdampak secara global. Lambang jagad dalam logo NU, jelas sekali sebagai penanda betapa spektrum kontribusi sekaligus pengabdian warga nahdliyyin di ranah yang luas.
Pada 31 Januari 2021 ini, Nahdlatul Ulama tepat berusia 95 tahun. Usia yang sudah sangat matang sebagai organisasi, rentang waktu yang panjang sebagai sebuah tradisi. Lima tahun lagi, Nahdlatul Ulama akan berusia 100 tahun. Usia satu abad menjadi penanda penting peradaban, betapa menjaga pengabdian organisasi memang bukan perkara sepele. Mengabdi di Nahdlatul Ulama, yang diyakini banyak pihak, sebagai panggilan nurani, panggilan jiwa.

Usia hampir satu abad juga menandai gerak panjang Nahdlatul Ulama di Indonesia. Bahwa, NU tidak hanya menjadi organisasi keagamaan semata, namun juga menjadi penopang demokrasi, penguat sosial-ekonomi warga. Jutaan warga nahdliyyin yang tersebar di pelbagai penjuru Nusantara, menyebarkan nilai-nilai tradisi, pengetahuan, sekaligus juga adaptasi terhadap modernitas.

Kita bisa menyaksikan betapa para kiai punya gaya dan cara pandang masing-masing. Ada yang sangat teguh dengan tradisi, ada yang adaptif dengan modernitas, ada yang tengah-tengah berada di titik moderat. Namun, spektrum luas para kiai pesantren itu tetaplah berada dalam koridor yang sama, dengan berpegang pada kaidah yang populer di pesantren: al-muhafadzatu 'ala al-qadimi as-shalih, wal akhdzu bil jadidi al ashlah (menjaga nilai-nilai lama yang baik, seraya menyerap hal-hal baru yang lebih baik). Ini kenapa para santri kuat menjaga identitasnya, sekaligus adaptif dengan nilai-nilai baru yang dihamparkan modernitas.

Dengan berpegang pada kaidah itu, para santri saat ini melakukan transformasi besar-besaran yang menjadi penanda identitas Nahdlatul Ulama pada momentum menjelang satu abadnya. Yakni tetap menjaga tradisi pengetahuan pesantren dalam hal ini khazanah Islam klasik, sekaligus juga akrab dengan sains dan teknologi. Para santri yang pada masa pertumbuhannya mengaji di pesantren, kemudian melanjutkan belajar di kampus-kampus internasional di Eropa, Amerika, Australia hingga kawasan Timur Tengah.

Saat ini, kita bisa melihat luasnya ragam keahlian para santri. Jika pada tahun 1980-an atau 1990-an jarang ditemukan santri yang belajar serius di bidang sains dan teknologi, sekarang kita bisa mudah menemukan santri yang mendalam kajian kitab kuningnya, sekaligus juga menjadi periset lintas bidang Artificial Intelligence, robotika, biomedik, fintech, hingga keuangan internasional.

Dalam pengalaman saya tinggal di Inggris selama beberapa tahun terakhir, saya banyak berinteraksi yang ahli di beberapa keilmuan spesifik semisal big data, supply chain, modelling komputasi, hingga energi terbarukan. Bahkan, di antara mereka, saat ini menjadi professor tetap dan periset di beberapa kampus ternama, serta beberapa lainnya menjadi konsultan dan professional di perusahaan-perusahaan internasional. Mereka berkiprah dan berinteraksi secara global, sekaligus tetap menjaga tradisi tahlilan dan salawatan di tempat mereka bermukim.

Tren ini merupakan arus besar generasi santri pada zaman ini, yang tidak bisa diabaikan. Mereka, para santri global itu, telah berkarir dan berkompetisi di level internasional, tetapi tetap punya perhatian, mimpi dan kemauan mengabdi untuk Nahdlatul Ulama dan Indonesia.

Lalu, di usia 95 tahun ini, bagaimana memaknai pengabdian Nahdlatul Ulama untuk Indonesia dan dunia? Di tengah pandemi ini, bagaimana respons, gerakan dan pengabdian NU dan santri-santri, baik yang tersebar di Indonesia maupun yang menjadi diaspora di lintas negara?

Pertama, membangkitkan solidaritas global. Saat ini, di tengah pandemi, dibutuhkan solidaritas antar bangsa untuk saling menguatkan, menopang perdamaian dan bersama-sama keluar dari pandemi. Namun, usaha membangun solidaritas global bukanlah hal yang mudah. Ketika narasi yang muncul di level global yang muncul persaingan memproduksi dan lika-liku mendapatkan pasokan vaksin, hal-hal terkait dengan kemanusiaan dan kesejahteraan publik terdengar sepi. Bahkan, banyak negara-negara di Afrika yang tertinggal dari distribusi vaksin.

Maka, dengan kolaborasi antar organisasi sosial-keagamaan lintas negara telah dilakukan NU, melalui kontribusi Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) yang tersebar di 36 negara, gerakan membangun solidaritas global menjadi penting. Kontribusi NU dan ormas-ormas lainnya dalam bidang filantropi di Indonesia menjadi penopang kuat menghadapi pandemi ini. Miliaran dana dari warga telah terkumpul dan tersalurkan, masing-masing komunitas bergerak untuk saling membantu, saling menguatkan.

Kedua, menguatkan dan mengoptimalkan potensi intelektual para santri. Santri-santri yang saat ini belajar dan mengabdi di berbagai pesantren di Indonesia merupakan generasi penerus, yang menjadi tulang punggung Indonesia masa depan. Indonesia 2045 juga dibentuk oleh pikiran dan tindakan generasi muda yang saat ini masih belajar di sekolah dan kuliah, tidak terkecuali para santri yang mengaji di pesantren-pesantren. Wajah toleransi beragama pada masa depan juga terletak pada bagaimana kita membentuk karakter generasi pelajar masa kini.

Belum lagi, ribuan santri yang saat ini belajar di kampus-kampus internasional. Potensi sumber daya manusia ini, harus dimaksimalkan dan diperkuat potensinya. Dengan cara apa? Dengan terus menerus mencipta ruang silaturahmi, mendata kepakaran/keahlian, sekaligus juga menginjeksi gagasan dan riset mereka untuk kebijakan publik di Indonesia. Dukung para kader-kader nahdliyyin yang punya keahlian khusus untuk mengabdi untuk Indonesia.

Arus baru generasi santri ini memang perlu dikawal agar keahlian dan pengabdian mereka berdampak kepada publik. Santri-santri nahdliyyin tidak hanya mampu mengabdi dalam bidang keagamaan semata, namun juga siap berkhidmat dalam bidang-bidang spesifik, khususnya bidang-bidang yang terkoneksi dengan prioritas riset nasional. Momentum menjelang satu abad Nahdlatul Ulama menjadi semangat untuk arus baru santri di bidang sains dan teknologi.

Di tengah pandemi ini, Nahdlatul Ulama harus menjadi semangat menguatkan solidaritas kemanusiaan di Indonesia dan level global.

Sumber: https://news.detik.com/kolom/d-5355445/nu-dan-tantangan-solidaritas-global










Posting Komentar

0 Komentar