Harganya Anjlok Terus, Sebenarnya Ada Apa dengan Batu Bara?


Selasa kemarin (23/2/2021) harga kontrak futures (berjangka) batu bara termal ICE Newcastle drop 2,5% ke US$ 76,75/ton. 

Harga penutupan kemarin merupakan harga terendah si batu hitam di sepanjang bulan Februari 2021. Koreksi harga batu bara menyusul semakin murahnya harga batu bara lokal China sebagai akibat dari relaksasi kuota impor dan upaya pemerintah untukmendongkrak produksi di tengah ketatnya pasokan domestik.

Kendati harga batu bara termal Qinhuangdao masih di atas batas tertinggi yang ditargetkan pemerintah Negeri Panda di RMB 570/ton, tetapi harganya sudah merosot tajam dari yang tadinya sempat menyentuh RMB 1.000/ton kini menjadi RMB 600/ton saja. 

Musim dingin juga akan segera berakhir. Dalam kondisi normal, musim dingin yang dibarengi dengan perayaan Tahun Baru Imlek akan meningkatkan permintaan listrik terutama untuk segmen residensial di China. Di saat inilah biasanya harga batu bara naik karena ditopang oleh peningkatan kebutuhan.

Di sisi lain, reli panjang harga batu bara sejak September 2020 juga didukung oleh kinerja ekonomi China yang positif. Melansir Argus Media, pertumbuhan sektor industri yang pesat di Negeri Tirai Bambu meningkatkan kebutuhan listrik.

Penggunaan listrik bulanan oleh sektor industri meningkat 7,7-9,9% pada periode Agustus-November tahun lalu, jauh di atas pertumbuhan tahunan sebelumnya sebesar 3,4-4,3%. 

Kenaikan harga batu bara termal Newcastle juga membuat harga batu bara acuan (HBA) Tanah Air meningkat tajam. Kementerian ESDM menetapkan HBA untuk bulan Februari 2021 sebesar US$ 87,79/ton atau naik 15,7% (mom) dari US$ 75,84/ton di bulan Januari.

Kenaikan harga batu bara juga diperkirakan bakal mendongkrak produksi batu hitam tersebut di dalam negeri. Untuk tahun ini produksi batu bara ditargetkan mencapai 550 juta ton.

Namun realisasinya kemungkinan bisa lebih dari target mengingat produksi tahun lalu bisa mencapai 557,54 juta ton. Padahal saat pandemi Covid-19 melanda harga batu bara anjlok signifikan. 

Pemerintah juga sedang gencar menebar stimulus untuk membangkitkan perekonomian yang lesu. Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 25 tahun 2021. 

Salah satu poin yang diatur dalam PP tersebut adalah insentif fiskal berupa pengenaan royalti nol persen untuk para penambang yang berpartisipasi dalam proyek hilirisasi batu bara. 

Adanya prospek pemulihan ekonomi global disertai berpotensi membuat harga komoditas ekspor unggulan Indonesia dan Australia terdorong lebih tinggi. Rata-rata harga batu bara untuk tahun ini diperkirakan masih bakal lebih tinggi dibanding tahun lalu.

Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan batu bara dunia tahun ini akan naik 2,6% dibanding tahun lalu. Namun selepas itu, sepertinya prospek batu bara tidak terlampau cerah.

EIA memprediksi permintaan batu bara dunia pada 2022-2025 akan stagnan di kisaran 7,4 miliar ton. Lambat laun, energi baru dan terbarukan akan mengambil tempat.

"Energi terbarukan sudah berada di jalur yang benar untuk menggantikan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik pada 2025. Pada saat itu, penggunaan gas alam juga kami perkirakan sudah melampaui batu bara.

"Namun permintaan batu bara tetap akan tinggi, terutama di Asia. Dalam waktu dekat, belum ada tanda-tanda batu bara akan hilang sama sekali," jelas Keisuke Sadamori, Direktur IEA.

Ya, berbeda dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa, permintaan terhadap sumber energi primer yang murah ini masih kuat. India dan China masih menjadi pasar terbesar yang menyerap pasokan batu bara dengan jumlah yang signifikan.

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/market/20210224075345-17-225679/harganya-anjlok-terus-sebenarnya-ada-apa-dengan-batu-bara

Posting Komentar

0 Komentar