Sinyal Negatif untuk Batu Bara Muncul dari India


India diproyeksikan segera mengurangi konsumsi komoditas batu bara domestiknya. Kondisi itu secara tidak langsung membuat penggunaan batu bara di India tak akan lagi mencapai atau melampaui puncaknya pada 2018. 

Melansir Bloomberg, Selasa (16/2/2021) pangsa pasar bahan bakar fosil terkotor dalam campuran listrik India turun untuk tahun kedua berturut-turut pada 2020.

Menurut laporan analis senior Ember Aditya Lolla, adanya perlambatan ekonomi pada 2019 yang diikuti oleh resesi akibat pandemi, terdapat ada kemungkinan konsumsi dan impor batu bara di India tidak akan pernah menembus level 2018 lagi. Terlebih jika Pemerintah India berupaya memenuhi sasaran energi terbarukannya.

"Saat India pulih dari guncangan pandemi Covid-19, pilihan yang dibuatnya untuk sektor kelistrikannya dapat memperkuat transisi konsumsi pembangkit listrik tenaga batu bara menjadi energi bersih dalam sedekade berikutnya. Bahkan bukan tidak mungkin, konsumsi batu bara mereka akan jatuh dalam dekade ini, jika pemerintah menginginkannya," tulisnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (16/2/2021).

Menurut Lolla, India ingin mencapai 175 gigawatt kapasitas energi terbarukan pada 2022 dan 450 GW pada 2030. Target tersebut cukup untuk memenuhi peningkatan permintaan listrik tahunan hingga 5 persen.

Kendati begitu, negara ini harus mempercepat penggunaan energi terbarukannya untuk mencapai target energi hijau. Pembangkit listrik tenaga surya dan angin di India mencapai 118 terawatt pada tahun 2020, masih jauh di belakang target pemerintah untuk mencapai 274 TWh pada tahun 2022.

Pengurangan secara cepat konsumsi batu bara global, diperlukan untuk memerangi perubahan iklim yang ditetapkan di bawah Perjanjian Paris. Pakta tersebut berupaya untuk menjaga suhu dunia tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celcius dari tingkat pra-industri untuk menghindari efek terburuk dari perubahan iklim.

Kondisi tersebut berlaku untuk China dan India, di mana masing-masing dari mereka merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar pertama dan ketiga dunia. Sementara negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan alternatif.

Tenaga surya sekarang menjadi sumber listrik termurah di sebagian besar wilayah India. Sumber energi itu menawarkan kesempatan bagi pemerintah untuk mempercepat adopsi Perjanjan Paris.

Adapun, India dapat mempercepat transisi dengan memberlakukan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara baru dan mendorong penutupan fasilitas lama yang tidak efisien.

Akibatnya, hal tersebut akan mengharuskan pemerintah untuk mengubah kebijakan saat ini, yang masih cukup longgar dalam ketentuan penggunaan batu bara.

Lantas, akankah hal tersebut berdampak emiten batu bara di Indonesia sebagai negara produsen batu bara?

 Equity Analyst Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu mengatakan berdasarkan data ekspor pada 2019, kontribusi India terhadap total ekspor batu bara kurang lebih sekitar 25 persen. 

"Apabila India diproyeksikan akan mengurangi konsumsi batu baranya maka akan cukup berdampak bagi Indonesia sebagai negara eksportir," katanya kepada Bisnis Selasa (16/2/2021).

Kendati begitu, menurut Dessy, masih terbuka peluang untuk meningkatkan ekspor ke negara Asia Timur lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan yang rata-rata berkontribusi sekitar 6 persen terhadap total ekspor batu bara, Indonesia. Di sisi lain ada pula China yang berkontribusi terhadap ekspor batu bara Indonesia sebesar 32 persen.

Untuk itu, dia memproyeksikan harga rata-rata batu bara sepanjang tahun ini pada kisaran US$60  per ton.

Setali tiga uang, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony juga memproyeksikan efek tersebut hanya akan berlaku secara jangka pendek. Apalagi perekonomian global masih belum berjalan normal. Di sisi lain, penyebaran Covid-19 di India juga masih cenderung tinggi.

"Sehingga memang penggunaan energi cenderung turun," katanya kepada Bisnis.

Sementara itu, untuk jangka panjang, lanjutnya, pemakaian batu bara masih diprediksi akan meningkat.

"Untuk itu, efek secara jangka panjang masih akan cenderung baik bagi batu bara," katanya.

MASIH ADA CHINA
Adapun, harga batu bara kembali menguat pada perdagangan pekan lalu dan mendekati level US$ 85/ton pada pekan ini. Per Selasa (16/2/2021) harga batu bara acuan di pasar ICE Newcastle (Australia) melemah 0,76 persen ke level US$ 84,9/ton. Namun harga batu legam itu masih menguat walaupun tak sekuat pada akhir Januari lalu, yakni 1,07 persen.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa tren kenaikan harga batu bara dalam beberapa bulan terakhir ini utamanya didorong oleh peningkatan permintaan dari China akibat periode musim dingin di negara tersebut, serta semakin tingginya harga domestik batu bara China.

Sementara itu, pasokan batu bara terkendala dengan curah hujan yang tinggi di Indonesia.

"Periode seperti ini menjadi semacam golden period bagi para penambang yang sebelumnya terdampak dengan harga komoditas yang rendah sejak April-September 2020," ujar Hendra.

Namun, laju penguatan harga batu bara yang terjadi saat ini, diperkirakan akan mulai melambat pada kuartal kedua tahun ini. Hal ini seiring permintaan batu bara dari China pada kuartal II/2021 diperkirakan tidak akan setinggi pada kuartal pertama.

"Penguatan ini diprediksi terjadi di kuartal I/2021, apalagi sebentar lagi aktivitas usaha di China akan melambat karena perayaan Lunar Year. Ada kemungkinan awal kuartal kedua harga mulai akan tertekan," katanya.

Menurutnya, permintaan batu bara global pada tahun ini hingga ke depannya akan sulit menyamai level pada masa puncak di 2018 lalu. Kala itu, rerata HBA bisa mencapai US$98,96 per ton.

Sumber: https://market.bisnis.com/read/20210216/94/1357095/sinyal-negatif-untuk-batu-bara-muncul-dari-india#

Posting Komentar

0 Komentar