BEI Siap Akomodir Fintech Untuk Cari Pendanaan Melalui IPO

Perkembangan lembaga finansial teknologi atau financial technology (fintech) saat ini diyakini akan terus meningkat seiring dengan percepatan digitalisasi serta peningkatan literasi keuangan masyarakat. Sebagai akibatnya, performa dari startups fintech juga diekspektasi akan terus meningkat meski tidak lepas dari berbagai tantangan termasuk permodalan perusahaan, yang secara umum saat ini kebanyakan bersumber dari ekuitas swasta, pendanaan pribadi, maupun angel investor.

Sementara itu, pemanfaatan bursa, khususnya melalui Initial Public Offering (IPO) dikatakan Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Sjahrir merupakan salah satu opsi tepat untuk mendukung permodalan startups fintech yang umum dilakukan di luar negeri, namun sayangnya di Indonesia belum banyak digunakan.

Tercatat hanya satu perusahaan fintech sistem pembayaran, PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH) yang telah mencatatkan saham perdananya di BEI pada 4 Mei 2020 dengan raihan dana Rp 87,15 miliar.

Sementara, saat ini ada tujuh perusahaan fintech global yang bersiap untuk IPO di tahun 2021. Yakni, Coinbase, SoFi, Robinhood, Marqeta, Stripe, AvidXchange, dan Affirm.

“Market Indonesia dibanding Amerika potensinya luar biasa, kita baru 4,4 juta investor dibanding total penduduk 270 juta. Kita juga masih bisa bertumbuh berpuluh kali lipat di pasar modal Indonesia. Tapi, memang ada tiga hal yang menjadi pertimbangan perusahaan fintech untuk IPO di Indonesia, menyangkut profitability, share structure, dan process. Tapi, ini sedang ditekel oleh bursa supaya baik fintech dan e-Commerce bisa listing di Indonesia. Apalagi manfaat IPO sangat besar misalnya untuk dari sisi pendalaman, bangun image perushaaan, likuiditas, good corporate governance, insentif fiskal, dan paling penting optimalisasi valuasi,” kata Pandu dalam webinar “Akselerasi Pertumbuhan Perusahaan Fintech Melalui Pasar Modal Indonesia dengan Initial Public Offering (IPO)”, Rabu (31/3/2021).

Pandu menjelaskan, startups Indonesia, sebagai bagian penting dari ekosistem ekonomi digital, terus menunjukkan pertumbuhan kualitas dan inovasinya, sehingga menarik minat investor baik dari dalam maupun luar negeri.

Menurut Startup Report 2020 yang diluncurkan oleh DSInnovate, saat ini di Indonesia terdapat 43 startup centaur atau calon unicorn (dengan nilai valuasi antara US$ 100-999 juta) yang berpotensi untuk naik kelas menjadi unicorn. 40% diantaranya berada di sektor fintech.

Untuk itu, fintech membutuhkan pendanaan untuk terus berkembang ke depannya. Apalagi, ada tiga hal yang mendukung kemajuan fintech di Indonesia. Pertama, transaksi uang yang makin digital. “Trust ke online transaction sudah tinggi, bahkan transaksi cash selama Covid turun 23%, sebaliknya yang e-Wallet seperti OVO, Gopay, Dana, Link Aja, dan Shopee Pay terus meningkat,” ungkapnya.

Kedua, masih banyak penduduk dewasa Indonesia yang belum tersentuh perbankan (unbanked). Ketiga, perkembangan aset kripto.

Kepala Unit Evaluasi dan Pemantauan BEI Hendra Ahmad Hidayat menyebutkan, hingga 30 Maret 2021 sudah ada 724 emiten yang tercatat di BEI dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp 7.163 triliun. Bahkan, pada tiga tahun terakhir jumlah IPO terus tinggi diatas 50 emiten dan tertinggi mencapai 57 emiten pada 2018.

”Pendanaan dari saham lebih besar dan luas karena publik yang tertarik dapat bergabung sebagai pemegang saham perusahaan, tenor tidak dibatasi karena kepemilikan saham, dividen juga lebih fleksibel karena sesuai RUPST. Selain itu, ada manfaat pajak yang akan diterima dan bisa digunakan untuk pengembangan perusahaan kedepannya,” ujarnya.

Hendra menambahkan, untuk mengakomodir fintech untuk go public, BEI tengah membuat payung peraturan baru agar perusahaan startup bisa tercatat di papan utama. Sehingga, selain ketentuan laba usaha, ada syarat lainnya yang dapat digunakan yakni pendapatan, total aset, dan arus kas operasional.

Selain itu, terkait kelas saham yang berbeda, otoritas juga sudah menuntaskan kajian hukumnya dengan melihat best practise di lima bursa negara lain.

”Ada pride dari owner mereka ingin tetap kontrol. Jadi, daripada listing diluar kita siapkan infrastrukturnya. Ini upaya kita untuk menarik unicorn atau fintech, tanpa perlu listing di luar negeri,” kata Hendra.

Sementara itu, CEO Cashlez Suwandi mengaku, setelah melantai di bursa, ada banyak dampak positif yang didapatkan Cashlez untuk mendorong ekspansi bisnis.

“Dana dari IPO itu betul-betul kita gunakan untuk mendorong akselerasi dari ekspansi bisnis kita. Jadi kita bisa fokus, misalnya sebagai fintech company, otomatis kita akan fokus pada teknologi, di mana tim IT kita harus kuat, dari sisi infrastruktur kita harus kuat, itu salah satu yang bisa mendorong ekspansi bisnis kita. Kemudian dari sisi corporate image, setelah IPO, customer atau para merchant kini juga lebih confidence menggunakan produk atau layanan Cashlez,” kata Suwandi.

Oleh karena itu, dia berpesan kepada perusahaan atau startup digital untuk tidak ragu melakukan IPO. “Jangan menunggu besar dulu untuk mulai go public. Tetapi, go public-lah untuk menjadi besar, dan itu benar-benar terjadi di Cashlez,” ungkap dia.

Sumber: https://www.beritasatu.com/ekonomi/753613/bei-siap-akomodir-fintech-untuk-cari-pendanaan-melalui-ipo










 

Posting Komentar

0 Komentar