Krisis Iklim Butuh Komitmen Indonesia



JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Indonesia dinantikan dalam upaya global menekan laju pemanasan global dengan menjalankan pembangunan nol karbon. Kegagalan menurunkan emisi karbon bakal memperparah krisis iklim sehingga bakal mengancam masa depan bangsa.


Pernyataan ini disampaikan sejumlah pembicara dalam Indonesia Net Zero Summit 2021 yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), secara daring, Selasa (20/4/2021). Diskusi diselenggarakan dalam rangka pertemuan pemimpin dunia tentang iklim yang akan diselenggarakan pada 22-23 April dan peringatan Hari Bumi 22 April.

Tokoh ekonomi dan lingkungan hidup Emil Salim mengatakan, pembangunan net zero emission atau nol emisi saat ini tidak cukup karena akumulasi karbon di atmosfer yang sudah sangat tinggi.

”Dengan skema business as usual (seperti biasanya), suhu Bumi akan naik 1,5 ke 3 derajat celsius pada 2050. Tahun 2100, suhu Bumi naik 4-8 derajat celsius. Itu berarti, anak cucu kita akan mengalami suhu sedemikian panas. Itu akan jadi neraka,” katanya.

Emil mengatakan, keberlangsungan hidup di masa depan ditentukan oleh sikap yang diambil para pemimpin saat ini dalam menjalankan pembangunan negatif karbon. ”Tumbuhan tidak akan bisa bertahan jika suhu terus memanas. Hewan juga. Bumi, ekosistem akan hancur. Manusia tidak punya kemampuan menstibtusi alam. Zero emission menjadi keharusan, bahkan mestinya negatif emisi,” katanya.

Harus ada sense of emergency, terutama menurunkan emisi dari sumber-sumber utama, misalnya mencegah kebakaran hutan, perbaikan tata gula lahan dan gambut, serta beralih ke energi terbarukan. (Berly Martawardaya)

Menurut Emil, kunci untuk menurunkan emisi adalah menghentikan penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan. Selain itu, lanjutnya, kita perlu mengubah cara kita berproduksi menjadi lebih ramah lingkungan. Pertumbuhan harus didasarkan pada keberlanjutan.


Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Suharso Monoarfa, dalam sambutannya mengatakan, pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim telah menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Indonesia juga telah berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030.


Menurut Suharso, pembangunan rendah karbon dan transformasi ekonomi hijau juga dibutuhkan untuk melepaskan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah. Studi Bappenas menunjukkan, pembangunan rendah karbon bisa meningkatkan produk domestik bruto nasional sebesar 2 persen pada rentang 2021-2045 dan peningkatan pendapatan per kapita 2,5 kali lipat.

”Sejumlah negara sudah menetapkan net zero emission pada 2050-2060. Bappenas sudah membuat empat skenario target, tahun 2045, 2050, 2060, 2070. Pilihan target akan memengaruhi kebijakan sejak sekarang,” katanya.

Jika skenario net zero emission 2045 dan 2050 yang dipilih, diperlukan tambahan luasan 300.000-350.000 hektar lahan gambut dan mangrove dan peningkatan reforestasi seluas 250 hektar dari kebijakan yang sudah berjalan saat ini.

Sementara, di sektor energi memerlukan peningkatan efisiensi energi 6-6,5 persen pada tahun 2050. ”Transmisi pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau hanya bisa jika dilakukan dengan ambisius dan masif,” katanya.



Butuh komitmen

Pendiri FPCI Dino Patti Djalal mengatakan, dibutuhkan komitmen untuk mencapai pembangunan nol emisi. ”Paling penting adalah komitmen untuk menjalankannya. Orang sudah tahu masalahnya dan pembangunan rendah karbon juga bisa jadi peluang ekonomi jika kita adopsi. Tetapi, setiap orang harus bicara dengan jujur. Misalnya, soal batubara, jangan sampai satu sektor menyandera seluruh kepentingan banyak orang,” paparnya.

Masalahnya, menurut ekonom Universitas Indonesia, Berly Martawardaya, Indonesia belum juga menetapkan target pembangunan nol emisi. ”Kita ketinggalan dibandingkan Jepang dan Thailand. Bahkan Indonesia kalah dari Afrika dan Papua Niugini yang sudah punya target,” katanya.

Mengacu data Climate Action Tracker, Berly mengatakan, Indonesia juga masih keluar target penurunan emisi nasional 29 persen. ”Justru dalam lima tahun terakhir ini, peran batubara dalam energi kita malah meningkat. Jumlah mobil dan motor juga terus meningkat,” katanya.

Terkait energi terbarukan, menurut Berly, kemajuan yang dicapai Indonesia juga jauh ketinggalan dibandingkan negara tetangga. Misalnya Thailand yang memiliki pertumbuhan penggunaan energi surya empat kali lipat dalam tiga tahun dan Vietnam meningkat 20 kali lipat.



”Harus ada sense of emergency, terutama menurunkan emisi dari sumber-sumber utama, misalnya mencegah kebakaran hutan, perbaikan tata gula lahan dan gambut, dan beralih ke energi terbarukan. Ini berarti, batubara harus dikurangi, jangan lagi ada izin baru,” katanya.

Koordinator Kampanye Iklim Greenpeace Asia Tenggara Tata Muhtasya mengatakan, tidak ada Indonesia emas 2045 kalau krisis iklim semakin meningkat. ”Emisi gas rumah kaca, terutama dari sektor energi, akan menjadi penentu. Meskipun sampai 2020 sektor kehutanan masih menyumbang emisi terbesar di Indonesia, tahun 2030 akan ada pergeseran ke sektor energi,” katanya.

Oleh karena itu, Tata merekomendasikan agar Indonesia melakukan moratorium batubara dan gas, mendorong target 50 persen energi terbarukan, dan memperbaiki pasar energi, salah satunya menghilangkan subsidi kepada sektor batubara. ”Selain itu, penting juga menghindari solusi keliru, seperti penggunaan nuklir,” katanya.


sumber : https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/04/21/krisis-iklim-butuh-komitmen-indonesia/

Posting Komentar

0 Komentar