Pengawasan Perdagangan Produk Pertanian di Platform Digital Diperketat

Platform digital atau marketplace menjadi pilihan untuk mencari produk kebutuhan sehari-hari, termasuk produk pertanian secara lebih cepat, mudah dan praktis.  Namun  dari kemudahan tersebut, terdapat potensi masalah

Melihat hal tersebut, CropLife Indonesia bersama Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Jakarta Smart City Pemprov DKI Jakarta menggelar Focus Group Discussion (FGD) beberapa waktu lalu.

Senior Advisor CropLife Indonesia, Midzon Johannis mengungkapkan FGD ini bertujuan untuk menyelaraskan visi-misi, merumuskan program kerja (work plan), dan membentuk gugus tugas bersama guna mengantisipasi perkembangan perdagangan digital produk pertanian saat ini dan di masa mendatang.

“Kami sepakat bahwa sangat diperlukan upaya membangun sinergitas guna terwujudnya pertanian berkelanjutan melalui teknologi pertanian tepat guna dan meminimalisir resiko penyebaran produk pertanian palsu dan ilegal di e-commerce,” tegas Midzon.

Midzon menilai bahwa produk-produk pertanian seperti benih, pestisida, dan pupuk yang saat ini dijual bebas di e-commerce dibuatkan aturan dan pengawasan sehingga ada jaminan bahwa produk tersebut asli dan terdaftar, aman dalam distribusi dan tidak merugikan petani (konsumen) dan industri.

Bagi pihak konsumen antara lain distribusi yang tidak terkontrol serta keaslian dan legalitas produk. Konsumen akan dirugikan jika membeli produk-produk pertanian yang tidak sesuai spesifikasi dan tidak berkualitas, sehingga akan merusak hasil dan/atau proses yang terjadi di pertanian mereka.

“Dari pihak industri penyedia produk pertanian, brand image industri akan rusak akibat perbuatan oknum-oknum yang memalsukan produk mereka, imbas pada rusaknya rantai pasok dan operasional bisnis mereka secara utuh," ujar Midzon.

Sementara dari pihak pemerintah, praktek pemalsuan dan peredaran produk ilegal yang tak terkontrol di platform digital dapat mengurangi penerimaan negara dari pajak yang dikenakan atas barang dan jasa pertanian tersebut.

"Selain itu, produk palsu dan ilegal dapat mengganggu ketahanan pangan nasional, yaitu dengan menurunnya kualitas dan kuantitas produksi sektor pertanian," tambahnya.

Sementara itu Executive Director CropLife Indonesia Agung Kurniawan menekankan pentingnya segera mengambil langkah untuk menanggulangi aspek negatif dari jual beli produk pertanian di e-commerce

Hal ini mengingat situasi serba daring akibat pandemi Covid-19 dan pentingnya menjaga ketahanan pangan hingga jangka panjang. "Salah satu upaya yang diperlukan adalah sinergi program pemerintah untuk mengurangi resiko hal-hal negatif dari penggunaan e-commerce," Kata Agung.

Oleh karena itu, menurut dia sangat diperlukan sinergi dari kementerian terkait dalam upaya meminimalisir potensi penyalahgunaan pemanfaatan digital dalam penyebaran produk-produk pertanian palsu dan illegal. 

Mulai dari kebijakan hingga petunjuk teknis (guideline) atau Standard Operational Procedure (SOP) yang didapat dari hasil kolaborasi beberapa kementerian yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

"CropLife Indonesia memiliki komitmen memerangi peredaran produk pertanian palsu dan illegal, secara kontinu dan konsisten terus melakukan kegiatan edukasi dan sinergi dengan para stakeholder secara offline maupun online," ungkapnya.

Di sisi lain Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian Dwi Herteddy menegaskan dasar hukum pengawasan atas peredaran, penyimpanan, dan penggunaan pestisida telah diatur dalam PP No.7 tahun 1973 dan UU No.20 tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.

“Sehingga sangat jelas produk perlindungan pertanian harus didaftarkan terlebih dahulu sebelum dipasarkan,” tegasnya. Sesuai dengan perkembangan teknologi, pendaftaran secara elektronik dimulai sejak tahun 2014, per Januari 2020 telah terdaftar sebanyak 431 perusahaan dengan jumlah 4646 produk.

"Temuan di lapangan, banyak produk pertanian seperti benih, pestisida dan pupuk yang beredar di e-commerce ternyata belum terdaftar yang dapat diindikasikan dari label kemasan. Produk terdaftar tentu akan mencantumkan nomor pendaftaran, cara aplikasi, bahan aktif. Sedangkan produk yang tidak terdaftar tidak ada penjelasan tersebut sehingga berpotensi merugikan konsumen," ungkapnya.

Kasie Sub Direktorat Pengawasan Pupuk dan Pestisida Kementerian Petanian Karmila Ginting mengakui masih adanya penjualan produk pertanian yang tidak terdaftar di e-commerce. Sesuai peraturan, setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi administrasi atau sanksi pidana

Sebagai contoh UU No.22 Tahun 2019 Pasal 123 menyatakan setiap orang yang mengedarkan dan/atau menggunakan pestisida yang tidak terdaftar, membahayakan kesehatan masyarakat dan kelestarian lingkungan, dan/atau tidak berlabel” akan dikenakan sanksi. Pidana Penjara tujuh tahun dan Pidana Denda paling banyak Rp. 5 miliar.

Sementara, Koordinator Penegakan Hukum Distribusi Barang Pokok & Penting dan Barang yang Diatur, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, Mario Josko menyatakan bahwa transaksi di e-commerce terus meningkat antara lain akibat kondisi pandemi.

"Maraknya e-commerce tentunya memerlukan regulasi untuk perlindungan dan kepastian hukum serta mempertimbangkan aspek kepentingan nasional dalam hal perkembangan UKM," tuturnya.

Secara pengawasan, perdagangan di e-commerce sebenarnya lebih mudah diawasi dibandingkan perdagangan offline, karena ada jejak digital. Saat ini Kemendag sedang menyusun regulasi agar penyelenggara bertanggungjawab terhadap konten yang ada di platformnya.

Sumber: https://www.wartaekonomi.co.id/read335901/pengawasan-perdagangan-produk-pertanian-di-platform-digital-diperketat






















 

Posting Komentar

0 Komentar