Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengatakan pembangunan pembangkit nuklir belum memiliki kelayakan teknis, ekonomi, dan pasar di Indonesia. Pembangkit nuklir hanya akan menjadi solusi jangka pendek untuk Indonesia.
Penulis kajian terbaru IEEFA Elrika Hamdi mengatakan pendukung nuklir di Indonesia sering menjanjikan bahwa tenaga nuklir akan menjadi solusi yang terjangkau, aman dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah ketergantungan negara ini dengan bahan bakar fosil, seperti batu bara. Hanya saja, teknologi nuklir akan cepat ditinggalkan pasar nantinya.
"70 tahun setelah pengembangan tenaga nuklir pertama diumumkan, teknologi ini dengan cepat kehilangan pangsa pasarnya karena pasar tenaga listrik global telah beralih ke solusi energi terbarukan dan sistem baterai yang lebih kompetitif dari sisi biaya," kata Elrika Hamdi dalam keterangan resmi, Rabu (2/6).
Meski begitu, pendukung nuklir terus melobi Kementerian Energi di sejumlah negara, khususnya di Asia Tenggara. Mayoritas yang melobi adalah pendukung tenaga nuklir baru, yaitu small modular reactor (SMR).
"Mereka biasanya pendukung internasional dari teknolog SMR yang aktif terlibat dengan pemerintah dan perusahaan listrik di wilayah tersebut," jelas Elrika.
Elrika menyatakan peran nuklir di dalam pasar tenaga listrik Indonesia akan cukup menantang. Menurutnya, butuh diskusi panjang antara pembuat kebijakan agar mencapai kesepakatan yang tepat.
"Karena masyarakat Indonesia perlu mengetahui biaya riil untuk memiliki nuklir di dalam sistem ketenagalistrikan mereka serta mengetahui langkah pemerintah dalam menangani masalah limbah nuklir," jelas Elrika.
Ia memaparkan beberapa persoalan tenaga nuklir, di antaranya keandalan teknologi, faktor keamanan, kondisi geografis, pengolahan dan pembuangan limbah nuklir, ketersediaan bahan bakar, keterjangkauan biaya dan risiko pembengkakan biaya, serta biaya penutupan pembangkit nuklir yang sering terabaikan.
Sebagai contoh, beberapa penelitian menunjukkan sekitar 97 persen dari pembangkit listrik tenaga nuklir melebihi anggaran awal proyek mereka. Rata-rata biaya bengkak mencapai US$1,3 miliar per proyek dan waktu pengerjaan 64 persen lebih lama dari perkiraan semula.
Lalu, biaya pembuangan limbah juga menambah perkara dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir. Hal ini akan menyumbang kenaikan biaya proyek akibat risiko politik di dalamnya.
"Masalah biaya akhir yang tidak terukur ini mempersulit penilaian atas klaim kelayakan pasar tenaga nuklir di Indonesia, terutama bila mempertimbangkan pasar tenaga listrik Indonesia yang sensitif terhadap harga," ujar Elrika.
Ia menambahkan Indonesia sebaiknya berhenti sejenak dalam mengkaji proyek tenaga nuklir sampai semua masalah ini diakui dan bisa diatasi sepenuhnya. Indonesia lebih baik menetapkan tujuan yang realistis bagi pengembangan sektor kelistrikan.
"Ini termasuk memanfaatkan sumber energi terbarukan yang berlimpah di Indonesia dan mempertimbangkan kondisi kelayakan pasar energi," pungkas Elrika.
sumber : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210602222757-85-649694/riset-ungkap-pembangunan-pembangkit-nuklir-ri-belum-ekonomis
Penulis kajian terbaru IEEFA Elrika Hamdi mengatakan pendukung nuklir di Indonesia sering menjanjikan bahwa tenaga nuklir akan menjadi solusi yang terjangkau, aman dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah ketergantungan negara ini dengan bahan bakar fosil, seperti batu bara. Hanya saja, teknologi nuklir akan cepat ditinggalkan pasar nantinya.
"70 tahun setelah pengembangan tenaga nuklir pertama diumumkan, teknologi ini dengan cepat kehilangan pangsa pasarnya karena pasar tenaga listrik global telah beralih ke solusi energi terbarukan dan sistem baterai yang lebih kompetitif dari sisi biaya," kata Elrika Hamdi dalam keterangan resmi, Rabu (2/6).
Meski begitu, pendukung nuklir terus melobi Kementerian Energi di sejumlah negara, khususnya di Asia Tenggara. Mayoritas yang melobi adalah pendukung tenaga nuklir baru, yaitu small modular reactor (SMR).
"Mereka biasanya pendukung internasional dari teknolog SMR yang aktif terlibat dengan pemerintah dan perusahaan listrik di wilayah tersebut," jelas Elrika.
Elrika menyatakan peran nuklir di dalam pasar tenaga listrik Indonesia akan cukup menantang. Menurutnya, butuh diskusi panjang antara pembuat kebijakan agar mencapai kesepakatan yang tepat.
"Karena masyarakat Indonesia perlu mengetahui biaya riil untuk memiliki nuklir di dalam sistem ketenagalistrikan mereka serta mengetahui langkah pemerintah dalam menangani masalah limbah nuklir," jelas Elrika.
Ia memaparkan beberapa persoalan tenaga nuklir, di antaranya keandalan teknologi, faktor keamanan, kondisi geografis, pengolahan dan pembuangan limbah nuklir, ketersediaan bahan bakar, keterjangkauan biaya dan risiko pembengkakan biaya, serta biaya penutupan pembangkit nuklir yang sering terabaikan.
Sebagai contoh, beberapa penelitian menunjukkan sekitar 97 persen dari pembangkit listrik tenaga nuklir melebihi anggaran awal proyek mereka. Rata-rata biaya bengkak mencapai US$1,3 miliar per proyek dan waktu pengerjaan 64 persen lebih lama dari perkiraan semula.
Lalu, biaya pembuangan limbah juga menambah perkara dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir. Hal ini akan menyumbang kenaikan biaya proyek akibat risiko politik di dalamnya.
"Masalah biaya akhir yang tidak terukur ini mempersulit penilaian atas klaim kelayakan pasar tenaga nuklir di Indonesia, terutama bila mempertimbangkan pasar tenaga listrik Indonesia yang sensitif terhadap harga," ujar Elrika.
Ia menambahkan Indonesia sebaiknya berhenti sejenak dalam mengkaji proyek tenaga nuklir sampai semua masalah ini diakui dan bisa diatasi sepenuhnya. Indonesia lebih baik menetapkan tujuan yang realistis bagi pengembangan sektor kelistrikan.
"Ini termasuk memanfaatkan sumber energi terbarukan yang berlimpah di Indonesia dan mempertimbangkan kondisi kelayakan pasar energi," pungkas Elrika.
sumber : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210602222757-85-649694/riset-ungkap-pembangunan-pembangkit-nuklir-ri-belum-ekonomis
0 Komentar