Begini Usul BCI untuk Pemerataan Akses Energi di Daerah Kepulauan

 


Sebagai negara kepulauan, pemenuhan dan pemerataan energi di Indonesia perlu solusi berbeda antara pulau besar dan pulau-pulau kecil. Perdagangan energi dari orang per orang (peer to peer) bisakah jadi solusi?
Faisal Yusuf, Convenor Energy Council, Blockchain Climate Institute (BCI) bilang, perdagangan energi dari orang ke orang atau peer to peer (p2p) bisa jadi salah satu inovasi pemerataan akses kelistrikan berbasis energi terbarukan sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim di Indonesia.
Beberapa negara yang melibatkan institusi negara maupun swasta dalam uji coba skema perdagangan listrik pintar p2p seperti Australia, Jerman, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat. Diikuti Bangladesh, Columbia, Malaysia, dan Thailand.
Ada enam model teknologi yang dipakai dalam penjualan energi p2p, yakni, platform perdagangan, blockchain, game theory, simulasi, optimasi, dan algoritma.




Indonesia merupakan negeri kepulauan dengan belasan ribu pulau. Pemenuhan dan pemerataan energi pun perlu solusi kelistrikan berbeda antara pulau besar dan pulau-pulau kecil. Perdagangan energi dari orang per orang (peer to peer) bisakah jadi solusi?

Energi berkelanjutan, salah satu dari hak asasi warga. Dalam sustainable development goals (SDGs) nomor 7, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga memandatkan untuk memastikan akses pada energi terjangkau, bisa diandalkan, berkelanjutan dan modern untuk semua.

Di Indonesia, PLN fokus membangun pembangkit listrik menengah besar, minimal 5 megawatt. Kondisi ini, membuat jaringan listrik andal di pulau kecil dan terluar hampir tak memungkinkan dari sisi biaya, ekosistem dan teknologi.

“Bayangkan, jika di Pulau Aru, Maluku, akses listrik hanya enam jam sehari, bagaimana kualitas kehidupan disana? Berapa banyak uang dihabiskan untuk membeli solar sebagai pengganti listrik? Berapa banyak emisi CO2 dan gas-gas berbahaya lain yang akan ditimbulkan dari efek samping bahan bakar fosil?” kata Faisal Yusuf, Convenor Energy Council, Blockchain Climate Institute (BCI) dalam Bincang Alam Mongabay Indonesia, beberapa waktu lalu.

Dalam rencana umum energi nasional 2025, katanya, target bauran energi 23%, perkiraan tercapai 15%. Target 23% baru bisa tercapai pada 2050.

Proyeksi kebutuhan pembangkit listrik dalam RUEN 136 gigawatt dengan pembangkit energi terbarukan 45 gigawatt. Dengan skema bussines as usual diperkirakan hanya tercapai 95 gigawatt, dengan energi terbarukan 23 gigawatt.

Untuk itu, katanya, RUEN 2015-2050 perlu ditinjau kembali, dengan memutakhirkan parameter dan asumsi pertumbuhan ekonomi, laju permintaan energi, keekonomian energi terbarukan, serta perkembangan tren transisi energi global.

Saat ini, penggunaan lahan dan energi menyumbang 80% emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Dia bilang, perdagangan energi dari orang ke orang atau peer to peer (p2p) bisa jadi salah satu inovasi pemerataan akses kelistrikan berbasis energi terbarukan sekaligus mengurangi dampak perubahan iklim di Indonesia.

Menurut Blockchain Climate Institute, beberapa negara yang melibatkan institusi negara maupun swasta dalam uji coba skema perdagangan listrik pintar p2p mulanya hanya negara maju seperti Australia, Jerman, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat. Diikuti Bangladesh, Columbia, Malaysia, dan Thailand.

“Di Bangladesh, paling banyak pakai PLTS. Bahkan naik motor pun mereka ada yang bawa solar panel,” katanya.

Bagaimana sebetulnya model jual beli listrik p2p ini?


Perdagangan listrik p2p adalah model “sharing economy” secara off grid berdasarkan platform yang saling berhubungan, yang berfungsi sebagai pasar online tempat konsumen dan produsen bertemu jual beli listrik secara langsung tanpa perlu perantara.

“Seperti Uber atau Airbnb. Pakai aplikasi, bisa jual beli listrik,” kata Yusuf.

Sederhananya, kalau ada tiga orang tinggal dalam lingkungan perumahan sama, mereka instal PLTS bisa menjual listrik kepada tetangga melalui aplikasi di smartphone. Melalui smart meter, aplikasi bisa merekam pemakaian listrik rumah produsen listrik, dan bisa menjual kepada rumah terdekat dengan listrik yang dibagi lewat kabel.

“Konsep teknologi blockchain tak bisa dimanipulasi, jadi nggak bisa bohong, sangat terpercaya,” katanya.

Dengan kata lain, satu rumah produsen listrik, misal, dengan PLTS, smart meter cukup murah, sekitar Rp700.000, bisa menjual listrik ke tetangga setelah listrik di rumahnya tercukupi.

Saat ini, setidaknya ada 11 negara bagian di Amerika Serikat yang mencoba menggunakan metode ini. Mula-mula ia dipasang untuk membantu para tuna wisma, kemudian menyebar ke daerah lain.

Negara-negara maju sudah memulai ini dengan regulasi yang jelas. Negara di Asia seperti Thailand, Malaysia dan Singapura, sama sekali belum punya regulasi soal ini.

“Boleh dibilang masih abu-abu dan gelap.”

Ada enam model teknologi yang dipakai dalam penjualan energi p2p, yakni, platform perdagangan, blockchain, game theory, simulasi, optimasi, dan algoritma.

Platform pembelian dan penjualan energi untuk menyimpan semua informasi yang berkaitan dengan produksi, konsumsi, dan hubungan kontrak antar peserta. Platform ini adalah area penting untuk memasifkan model p2p. Sementara database distribusi dengan kerakteristik unik difasilitasi oleh blockchain yang memuat jaringan energi berkelanjutan kaya teknologi masa depan. Fasilitasi ini, katanya, lebih aman dan tanpa perantara.

“Membuat kontrak langsung dalam transaksi real time,” kata Yusuf.

Interaksi p2p dapat dilihat menggunakan game theory, sebuah bidang matematika terapan yang punya aplikasi di semua bidang ilmu sosial, serta dalam logika, ilmu sistem dan ilmu komputer.

Game theory dapat membantu memahami dan mencontohkan perilaku peserta dalam model perdagangan energi. Dengan ini, emisi karbon dapat dikurangi signifikan dibandingkan skema tradisional.

“Lantas dilakukan simulasi untuk memvalidasi ide,” katanya.

Simulasi ini, kata Yusuf, biasa perlu biaya mahal dan waktu cukup banyak untuk pengembangannya.

Optimasi, katanyam untuk memaksimalkan keuntungan dan minimalisir kerugian dan berfungsi untuk mencapai keseimbangan antara pasokan energi dan permintaan micro grid. Manfaat lain, optimasi dapat meminimalkan kehilangan energi para prosumer.

“Ini hanya berguna sebagai alat bantu blokchain.”

Kemudian, algoritma untuk mengoptimalkan proses. Yusuf bilang, implementasi blockchain sukses dari platform komersial skala besar seperti kota atau negara bagian. Blockchain, katanya, meningkatkan keamanan dan efisiensi. Namun, katanya, teknologi ini pakai energi tinggi hingga perlu peningkatan efisiensi.

Untuk mengatasi konsumsi energi yang besar, ada konsep proof of stake (PoS) yang berhasil menekan konsumsi listrik dengan menghasilkan energi efisien bagi blockchain.

Hal lain yang perlu disoroti, yakni, blockchain memerlukan infrastruktur baru dan mahal untuk digunakan dalam p2p.

Game theory, meski bisa membantu memahami perilaku manusia namun ini kompleks dan tidak akurat.

”Jadi, ia tak bisa berdiri sendiri, harus menyertakan model lain seperti motivational psychology.”

Blockchain Climate Institite usul, agar blockchain sebagai teknologi yang bisa diterapkan dalam pemerataan listrik di negara kepulauan seperti Indonesia, secara off grid yang tersebar di tiap daerah.

“Teknologi ini mendapat perhatian khusus dalam pembuatan prototipe untuk disertasi saya,” katanya.

Saat ini, akan ada tiga pilot project yakni di Jakarta, Lampung dan Morotai.

Lantas bagaimana sikap pemerintah Indonesia terhadap teknologi ini? Pemerintah Indonesia, katanya, melalui Kementerian Riset dan Teknologi tahun lalu secara informal mengakui kegunaan blockchain sebagai alat yang mendukung industri secara efisien.

Sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum merumuskan kebijakan atau strategi blockchain apapun. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang menggantikan Kemenristek belum jelas apakah jadikan blockchain sebagai agenda penting atau tidak.

Kata Yusuf, jual beli listrik pintar p2p dengan menggunakan blockchain harus diadopsi di Indonesia kalau pemerintah serius mau meningkatkan akses pemerataan listrik.

Untuk itu, katanya, perlu kebijakan khusus mengatur hal yang bersifat inovasi dalam kelistrikan ini.

Blockchain, katanya, bisa turut serta dalam mereduksi emisi CO2 dan GHGs, membantu pemenuhan target pemerintah dalam penggunaan energi terbarukan dan menekan laju kerusakan lingkungan dan dampak turutannya.

sumber : https://www.mongabay.co.id/2021/07/15/begini-usul-bci-untuk-pemerataan-akses-energi-di-daerah-kepulauan/

Posting Komentar

0 Komentar