Kondisi Saat Ini Mengenai Pencapaian Bauran EBT Sebesar 23% Pada Tahun 2025
Angka bauran EBT pada 2020 tersebut masih meleset dari target bauran energi baru terbarukan tahun 2020, yaitu 13,4%. Untuk mencapai target 23% pada 2025, minimal setiap tahun harus menambahkan 2000 MW pembangkit listrik energi terbarukan. Peningkatan tersebut tidak harus dilakukan dengan pembuatan pembangkit listrik EBT yang baru, tapi bisa juga dengan pemanfaatan biofuel dan biomassa untuk co-firing di PLTU yang sudah ada. Hal tersebut termasuk dalam langkah peningkatan pemanfaatan EBT yang sudah disiapkan oleh Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah yaitu substitusi. Substitusi yang dimaksud adalah peningkatan bahan bakar nabati di sektor-sektor yang masih belum menggunakan B30, Dengan dorongan Presiden RI, program B30 akan dinaikkan menjadi B40 atau B50. Substitusi lain juga dilakukan melalui program co-firing biomassa di PLTU batubara.
Langkah kedua pembangkit baru berbasis EBT akan ditambah setelah terjadi kebutuhan listrik yang lebih banyak. Setelah kondisi ekonomi negara kembali normal pasca pandemi, pemerintah akan memfokuskan pada penyediaan listrik yang murah dan bersih seperti PLTS. PLTS skala besar yang secara keekonomiannya paling menguntungkan adalah PLTS Terapung. Disebutkan bahwa besaran biaya pokok pembangkitan (BPP) dari PLTS Terapung tersebut dapat bersaing dengan BPP pembangkit listrik PLN di Jawa.
Dari kedua langkah tersebut, dapat dilihat bahwa pemerintah sudah menyiapkan langkah yang pasti untuk meningkatkan bauran EBT di Indonesia demi mencapai target 23% di tahun 2025. Tapi dengan ketiga langkah tersebut, apakah Indonesia masih optimis untuk mencapai target di tahun 2025?
Kondisi Pemanfaatan Solar PV di Indonesia Saat Ini
Pada tahun 2020, Solar PV di indonesia mencapai 30,4 MWp. Angka ini dicapai karena pada tahun tersebut terdapat penambahan Solar PV sebesar 13,7 MWp dimana 16,7% dari keseluruhan Solar PV dipasang pada atap bangunan. Enam puluh tiga persen pelanggan Solar PV di Indonesia juga di suplai oleh PLN. Pada periode pandemi saat ini, penambahan energi baru terbarukan di Indonesia didominasi oleh Solar PV dibandingkan sumber lain, tetapi tahun ini masih jauh dari target RUEN Indonesia untuk 2020 yang mencapai 900 MW.
Penambahan signifikan pada tahun 2020 diakibatkan oleh mayoritas pemasangan di berbagai situs industri seperti Coca Cola Amatil’s Cikarang (7.13 MWp), Danone-AQUA Klaten (2.91 MWp), Softex (0.63 MWp), dan Fonterra (0.38 MWp). Hal ini membuktikan komitmen serius dari sektor swasta untuk keberlanjutan dan efisiensi biaya operasional. Perusahaan Danone di Indonesia berencana memasang solar rooftop di 17 pembangkit lainnya dengan total kapasitas 15,6 MWp pada 2023 (Rahman, 2020). Selain itu alasan mengapa terdapat peningkatan yang signifikan dalam realisasi Solar PV pada sektor swasta adalah tersedianya skema leasing (zero CAPEX) dikombinasikan dengan pengurangan biaya kapasitas sebagaimana ditetapkan oleh Peraturan Menteri ESDM 16/2019.
Solusi Pengembangan Solar PV di Indonesia Guna Mencapai Target Bauran EBT 2025
Penggunaan solar PV untuk skala besar saat ini masih dinilai mahal, bersifat intermittent, butuh space yang besar, dan efisiensi yang tidak semaksimal sumber energi lainnya (sekitar 20%). Menurut data dari MedcoEnergi Power, Indonesia mempunyai potensi energi surya sebesar 207,9 GW. Selain itu, dalam pengembangan solar PV terdapat tantangan terkait dampak ke lingkungan yaitu, materialnya yang tidak ramah lingkungan. Hal ini dikarenakan kandungan seperti silikon, selenium, dan lainnya yang merupakan gas rumah kaca. Namun, hal tersebut tidak masalah pada saat proses konversi energi matahari, hanya bermasalah pada manufaktur dan daur ulang materialnya.
Dengan solar irradiation yang bagus, seharusnya Indonesia dapat memaksimalkan keuntungan geografis ini. Maka dari itu, dibutuhkan solusi – solusi untuk mengoptimalkan solar PV ini. Salah satunya dengan memanfaatkan solar PV di tiap rumah untuk dijadikan energi listrik tambahan serta energi panas tambahan untuk kebutuhan rumah tangga.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Tropical Renewable Energy Center (TREC) atas 1000 responden di Jabodetabek, sebanyak 66% dari responden ingin memasang solar PV di atap rumah mereka yang mereka yakin bahwa penggunaannya dapat memangkas biaya listrik bulanan meskipun dalam instalasi awal cukup mahal. Penghematan yang dapat terlihat dengan adanya pemasangan solar PV pada atap ini memang cukup berarti. Contohnya saja pak menteri ESDM yang sudah memasang panel surya di rumah pribadinya sebesar 15,5 kWp dengan harga sekitar Rp 200 juta, yang sebelumnya harus bayar tagihan listrik setiap bulan sebesar Rp 4,5 jutaan, sekarang setiap bulan cukup membayar sekitar Rp 1 juta. Pelanggan PLN yang sudah memasang solar PV di rumah dapat menjual listrik yang dihasilkan dari sistem ini ke PLN, dengan cara mengelola harganya sesuai dengan peraturan yang ada dalam penggunaan solar panel atap rumah.
Tentunya apabila solusi ini dapat disosialisasikan dengan baik para penduduk, maka akan banyak yang tertarik karena akan menguntungkan mereka dari segi pengeluaran biaya dan juga mendapatkan cadangan energi listrik kala PLN sedang padam listrik. Adapun solusi lain untuk mencapai target kebijakan energi nasional, solusi ini termasuk skala yang lebih besar dibanding rumah tangga yang disebut sebelumnya yaitu pembangkit listrik hybrid antara tenaga surya dan angin (potensi energi angin di Indonesia menurut MedcoEnergi Power sebesar 60,6 GW), yang dapat digunakan untuk penerangan di jalan raya. Sistem penerangan jalan raya dari pembangkit hybrid ini sangat efektif digunakan karena sangat cocok untuk meminimalisir kenaikan beban daya yang diserap.
Pembangkit listrik ini diharapkan dapat dikembangkan lebih optimal di Indonesia untuk menekan kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat. Sistem hybrid ini sebaiknya dipasang di area pantai karena di pantai memiliki kecepatan angin yang baik dan solar irradiation yang baik juga. Menariknya, saat ketika energi surya dan angin dalam kondisi terbaiknya adalah kebalikan dari satu sama lain. Energi surya adalah yang terbaik selama siang hari di musim panas. Sementara itu, turbin angin cenderung menghasilkan listrik paling banyak pada malam hari di musim dingin, terutama pada saat angin lepas pantai. Hal ini membuat turbin angin plus sistem hybrid panel surya menjadi kombinasi alami. Sistem hybrid ini dapat menghasilkan sumber listrik yang konsisten sepanjang tahun, dengan kekuatan masing – masing sumber menyeimbangkan kelemahan satu sama lain. Namun, ada beberapa pertimbangan yang harus dipersiapkan sebelum instalasi sistem hybrid ini yakni, harus tahan terhadap cuaca ekstrim, mudah & murah di maintenance, desain yang kokoh, jaringan distribusi energi listriknya, dan desain yang dapat memaksimalkan konversi energi.
sumber : https://jurnalpost.com/dapatkah-pengembangan-solar-pv-mendorong-target-bauran-ebt-tahun-2025/23602/
0 Komentar