Dilema Batubara: Musuh Bersama yang Dicinta

 


Dua minggu lalu, akun instagram saya cukup ramai dengan unggahan beberapa teman yang memuat ulang (repost) berita dari Greenpeace Indonesia, sebuah non-government organization (NGO) yang fokus pada kampanye lingkungan. Organisasi tersebut menyatakan bahwa Indonesia bersama Cina, India, Vietnam dan Jepang dapat menjadi negara penyebab gagalnya Perjanjian Paris. Kelima negara Asia tersebut dinilai mengancam upaya pembatasan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C.

Pernyataan Greenpeace tersebut didasari oleh kebijakan Indonesia dan empat negara lainnya yang masih mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sebagaimana yang kita ketahui, sumber energi utama dari PLTU adalah batubara yang memiliki nilai faktor emisi CO2 tinggi. Merespons dampak perubahan iklim yang semakin nyata, banyak negara maju yang menyatakan keberatan terhadap komoditas batubara, salah duanya adalah Inggris dan Kanada.
Inggris dan Kanada merupakan dua negara yang masuk dalam kelompok G7, atau tujuh negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di dunia. Kedua negara tersebut telah menyatakan penolakan terhadap proyek berbasis batubara. Hal senada juga dinyatakan oleh Asian Development Bank (ADB) yang akan menghentikan pembiayaan kepada kegiatan pertambangan batubara, minyak dan gas bumi.

Batubara telah menjadi musuh bersama bagi negara-negara pemegang modal, uniknya kecuali Amerika Serikat dan Jepang yang masih mendukung penggunaan energi fosil. Ketidakberpihakan terhadap energi fosil relatif lebih mudah dilakukan oleh negara maju karena tidak terlalu memusingkan dampak ekonomi. Sementara bagi Indonesia, batubara tidak bisa semata-mata dilihat sebagai lawan.

Komoditas Dibuang Sayang
Di balik ratifikasi Indonesia terhadap Perjanjian Paris serta strategi penurunan emisi yang telah disusun pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), para regulator tetap saja tidak bisa mengorbankan energi fosil secara drastis. Ibarat dibuang sayang, cadangan batubara di negeri ini tercatat masih tinggi dan pemerintah membutuhkan penerimaan dari sektor tersebut.
Berdasarkan publikasi Direktorat PNBP Kementerian Keuangan tahun 2020, industri batubara merupakan kontributor PNBP terbesar dari sektor sumber daya alam non migas sub sektor minerba yaitu sebesar 70-80%. Dengan demikian, dari total 34,6 triliun penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara di tahun 2020, minimal 24 triliun rupiah disumbang industri batubara. Sungguh bukan angka yang sembarangan.

Batubara telah menjadi musuh bersama bagi negara-negara pemegang modal, uniknya kecuali Amerika Serikat dan Jepang yang masih mendukung penggunaan energi fosil. Ketidakberpihakan terhadap energi fosil relatif lebih mudah dilakukan oleh negara maju karena tidak terlalu memusingkan dampak ekonomi. Sementara bagi Indonesia, batubara tidak bisa semata-mata dilihat sebagai lawan.

Komoditas Dibuang Sayang
Di balik ratifikasi Indonesia terhadap Perjanjian Paris serta strategi penurunan emisi yang telah disusun pada dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), para regulator tetap saja tidak bisa mengorbankan energi fosil secara drastis. Ibarat dibuang sayang, cadangan batubara di negeri ini tercatat masih tinggi dan pemerintah membutuhkan penerimaan dari sektor tersebut.
Berdasarkan publikasi Direktorat PNBP Kementerian Keuangan tahun 2020, industri batubara merupakan kontributor PNBP terbesar dari sektor sumber daya alam non migas sub sektor minerba yaitu sebesar 70-80%. Dengan demikian, dari total 34,6 triliun penerimaan negara dari sektor mineral dan batubara di tahun 2020, minimal 24 triliun rupiah disumbang industri batubara. Sungguh bukan angka yang sembarangan.

Dilema pemanfaatan batubara memaksa pemerintah untuk mencari jalan tengah. Kementerian ESDM sebagai pengampu sektor pertambangan dan ketenagalistrikan dituntut menyusun strategi terbaik di tengah pro kontra yang ada. Saat ini, solusi yang sedang banyak dibahas adalah integrasi PLTU dengan teknologi lain, misal co-firing atau dengan teknologi Carbon Capture Utilization Storage (CCUS).
Co-firing merupakan penambahan pelet biomassa sebagai bahan substitusi sebagian batubara pada operasi PLTU. Sementara CCUS merupakan teknik penginjeksian emisi CO2 ke dalam reservoir lapangan minyak dan gas bumi. Semua cara tersebut tentunya memiliki konsiderasi yang perlu dipikirkan matang, baik dari sisi biaya, infrastruktur dan keberlanjutan.
Pengaturan energi fosil di Indonesia terutama batubara memang sangat dilematis. Barang ini bisa jadi musuh bersama di banyak negara, tapi faktanya masih dicintai di Indonesia. Harus ada solusi untuk mengakomodasi berbagai kepentingan: kebutuhan masyarakat akan listrik, potensi PNBP, tuntutan perubahan iklim dan desakan masyarakat global. Kompleksitas ini yang sering dilupakan oleh sebagian besar orang yang cenderung memandang permasalahan dari sudut tunggal.

Isu perubahan iklim memang humanis dan protagonis, tapi kebijakan yang benar tidak bisa hanya berat di satu sisi. Perlu pandangan yang menyeluruh dan mempertimbangkan setiap risiko yang ada. Pemerintah tetap harus mendengarkan masukan dari semua pihak, termasuk NGO, negara maju, atau development bank sekalipun, tapi pada akhirnya tidak semua masukan harus ditelan mentah-mentah.
Bagaimanapun juga perkara batu bara bukanlah soal sederhana, atau kalau boleh meminjam istilah generasi milenial, batubara ini statusnya ‘it’s complicated’.

sumber : https://kumparan.com/alliavenessa/dilema-batubara-musuh-bersama-yang-dicinta-1w9nl31iJaK/full

Posting Komentar

0 Komentar