Indonesia Dalam Pembangunan Rendah Karbon Oleh : Iik Ikhwan Puadin

 


Perubahan sering kali dianggap sebagai suatu hal yang sulit dilakukan dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena hal itu, masyarakat menjadi kurang peduli terhadap rencana perubahan kearah yang lebih baik, karena sudah terbiasa dan nyaman dengan kondisi saat ini.



Sementara itu, kurang dari dua puluh tahun yang lalu, hampir seperlima penduduk Indonesia mengalami kemiskinan ekstrem. Saat ini, angka tersebut sudah turun menjadi kurang dari 10%. Kemajuan luar biasa seperti ini tidak terjadi tanpa sengaja. Kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia didorong oleh sebuah visi dan diwujudkan melalui kebijakan nyata yang telah meningkatkan taraf hidup dan mata pencaharian bagi jutaan penduduk.

Akan tetapi, Indonesia berada di jalur pembangunan yang sulit untuk dipertahankan. Eksploitasi sumber daya alam secara terus menerus, penerapan pembangunan yang tinggi karbon, penggunaan energi dan sistem transportasi yang tidak efsien, telah berdampak pada kondisi lingkungan. Polusi udara dan air terutama di kota-kota besar, penyusutan hutan Indonesia dalam frekuensi dan intensitas yang mengkhawatirkan karena pola pertanian yang tidak berkelanjutan, proses urbanisasi tidak teratur yang menimbulkan kemacetan dan perluasan perkotaan yang tidak terkendali, hingga terus berkurangnya sumber perikanan, sumber daya air, dan kekayaan keanekaragaman hayati negara.



Dampak negatif dari perubahan iklim global, termasuk kenaikan permukaan laut, peristiwa cuaca ekstrem, dan penurunan produktivitas karena suhu yang meningkat. Pendekatan pembangunan yang ditempuh Indonesia ini dinilai tidak berkelanjutan dan berpotensi membatasi pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan potensi Indonesia untuk memberantas kemiskinan. Akan tetapi kisah pertumbuhan Indonesia masih terus berlanjut.

Kondisi lingkungan Indonesia yang seperti ini jelas sangat memprihatinkan. Penduduk miskin dan hampir miskin paling terkena dampak buruk akibat perubahan iklim. Pembangunan kota begitu pesat dan sarat berbagai kepentingan telah berdampak pada degradasi kualitas lingkungan kota. Jika tidak ada upaya serius dalam menata ulang kota, kota akan menuju ke bunuh diri ekologis. Perlu adanya strategi pemulihan ekonomi yang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan dampak serta manfaat jangka panjang dan menghindari kondisi kerentanan akibat perubahan iklim.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Pembangunan rendah karbon menjadi salah satu solusi paling ampuh untuk masalah ini. Lingkungan yang rusak harus segera diperbaiki. Sebenarnya, pembangunan rendah karbon bukanlah hal baru. Rencana ini bahkan sudah digagas sejak beberapa tahun lalu di beberapa negara sebagai penanggulangan perubahan iklim dunia.

Ada lima kegiatan prioritas untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon, yaitu pembangunan energi berkelanjutan, pemulihan lahan berkelanjutan, penanganan limbah, pengembangan industri hijau, dan rendah karbon pesisir laut. Perlunya transisi menuju energi terbarukan dan efisiensi energi, perbaikan kelembagaan dan tata kelola, meningkatkan produktivitas lahan pertanian, perlindungan hutan, moratorium gambut dan meningkatkan reforestasi, dan penanganan sampah dan pengelolaan industri.



Saat ini kita masih menggantungkan pada fosil fuel dimana hal ini menghasilkan emisi yang besar dan jumlah yang terbatas. Dan sudah saatnya memulai untuk mendorong pembangunan dengan energi yang berkelanjutan dan memanfaatkan energi terbarukan. Selain itu efisiensi energi juga diperlukan. Kita cenderung boros karena masih berpikir bahwa pemanfaatan terhadap sumber energi yang tersedia masih melimpah. Namun kita harus memikirkan dalam penggunaan jangka panjang agar bisa dimanfaatkan kedepannya dan dan mempertimbangkan emisi yang dihasilkan.

Disisi lain Hutan dan gambut juga yang merupakan potensi besar di sektor lahan, morotarium gambut sangat penting krn gambut ekosistem yang khas dengan dampak emisis yag besar, sehinggag kita harus menjaga ekosistem gambut. Melalui pengembangan ekonomi masyarakat menerapkan strategi rewetting, revegetation dan revitalization untuk merestorasi gambut.

Restorasi lahan gambut tidak hanya berhenti pada pemulihan ekologi dan revegetasi, tetapi juga harus memikirkan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal (revitalisasi). Pelaku restorasi harus senantiasa berdiskusi dengan warga untuk mencari cara dalam meningkatkan taraf kehidupan melalui pengolahan lahan gambut, seperti penanaman sagu, karet, kopi, dan kelapa atau mennggalakkan perikanan dan pariwisata alam.

Usaha lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca adalah usaha untuk mereduksi sampah baik di sumber sampah (rumah tangga), TPS (Tempat Penampungan Sementara), maupun TPA (Tempat Pemrosesan Akhir).

Pengelolaan sampah di tingkat masyarakat akan menimbulkan emisi dan pencemaran sehigga perlu mendapat perhatian dari masyarakat. Merubah gaya hidup masyarakat dengan mengurangi jumlah sampah dan memilah sampah. Sektor limbah merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca yang penting. Sehingga aksi nasional dalam mitigasi perubahan iklim di sektor limbah sangat penting.



Bagaimana cara Indonesia menurunkan emisi karbon di sektor energi adalah pertanyaan besar. Seperti diketahui, pada masa pandemi, emisi pembuangan karbon dioksida terbilang menurun akibat berkurangnya aktivitas pabrik, industri, dan operasional kendaraan bermotor. Akan tetapi, kondisi ini tidak akan bertahan lama.

Masyarakat tidak akan benar-benar berhenti melakukan aktivitas, terutama saat merasa keberlangsungan hidupnya sudah terancam. Harus ada suatu pergerakan yang membuat masyarakat percaya, bahwa kondisi alam sudah cukup buruk untuk kita terlalu santai menikmati hidup dengan cara yang tidak bersih. Pemerintah harus bekerja keras untuk hal ini. Indonesia harus segera membuat keputusan sebuah tindakan dan kebijakan. Dan pembangunan rendah karbon, jelas bukan sebuah pilihan, melaikan keharusan.

sumber : https://terasmaluku.com/indonesia-dalam-pembangunan-rendah-karbon-oleh-iik-ikhwan-puadin/

Posting Komentar

0 Komentar