Minyak Melonjak, Raksasa Migas Dunia Malah Ngerem Investasi

 


Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah perusahaan minyak dan gas (migas) dunia menahan investasinya meski harga minyak tengah terkerek naik.
Harga minyak dalam beberapa pekan terakhir mendekati US$ 78 per barel, menjadi yang tertinggi dalam tiga tahun, karena organisasi pengekspor minyak (OPEC) dan produsen migas besar lainnya gagal mencapai kesepakatan menaikkan produksi.

Kenaikan harga minyak ini diiringi dengan kenaikan harga gas global karena masalah pasokan. Ini akan menjadi pemasukan yang besar bagi perusahaan migas setelah mereka memangkas investasi di tengah pandemi tahun lalu.

Lantas, mengapa raksasa migas dunia seperti Exxon Mobil, BP, maupun Shell tetap menahan investasi mereka tahun ini?

Ketidakpastian pada permintaan energi akibat pandemi Covid-29 turut meredam suasana harga minyak yang sedang bullish (menguat). Sementara di jangka panjang akan banyak pergeseran dari pemakaian bahan bakar fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT).

Shell misalnya, dikutip dari Reuters, perusahaan asal Belanda ini menahan belanja modal mereka tidak lebih dari US$ 22 miliar pada 2021 ini.

"Perusahaan minyak internasional masih membangun kembali neraca keuangan mereka," kata Brian Gilvary, CEO divisi Minyak dan Gas INEOS INEOS Energy dan mantan Direktur Keuangan BP, seperti dikutip dari Reuters, Senin (12/07/2021).

Perusahaan migas seperti BP, Shell, Total, dan Repsol mengeluarkan strategi baru dalam menurunkan emisi karbon dan menumbuhkan bisnis energi baru terbarukan (EBT). Tidak seperti sebelumnya saat harga minyak naik investasi digenjot, kali ini perusahaan minyak fokus pada transisi energi.

CEO Repsol Josu Jon Imaz mengatakan bahwa harga minyak yang lebih tinggi memungkinkan Repsol untuk menghasilkan lebih banyak sumber daya ke arah transisi energi.

"Meningkatnya harga minyak memungkinkan kami menggali nilai yang lebih besar dari bisnis kami yang telah ada, yang mana pada gilirannya akan digunakan untuk transformasi bisnis transisi energi sesuai roadmap kami," tuturnya kepada Reuters.

Sementara BP akan fokus pada rencana pengurangan produksi minyak sebesar 40% atau sekitar 1 juta barel per hari (bph) pada 2030 mendatang, termasuk juga melalui penjualan aset minyak dan gas.

"Harga minyak yang kuat sangat positif untuk strategi kami. Aset yang akan dijual tersebut akan dijual dengan harga setinggi dampaknya pada lingkungan, dan bagaimanapun akan menghasilkan pendapatan lebih besar," kata CEO BP Bernard Looney dalam konferensi Reuters Energy Transition bulan lalu.

Namun demikian, belanja modal perusahaan-perusahaan migas besar ini kemungkinan akan naik mulai tahun depan karena perusahaan akan membayar utang dan diperkirakan industri ini akan sepenuhnya pulih dari pandemi, kata Joyner, analis dari Redburn.

"Akan ada lebih banyak capex pada tahun depan, tetapi tidak banyak peningkatan akan masuk ke hulu migas (produksi minyak dan gas), melainkan akan masuk ke energi terbarukan," ujarnya.

Produsen shale oil di Amerika Serikat juga telah berjanji kepada investor bahwa mereka akan mengendalikan pengeluaran dengan ketat pada 2021.

Berdasarkan data Redburn, dikutip dari Reuters, belanja modal sejumlah perusahaan migas dunia antara lain Shell, BP, Total, Eni, Equinor, OMV, pada 2021 diperkirakan mencapai US$ 59,9 miliar untuk hulu migas dan US$ 8,7 miliar untuk energi terbarukan. Sementara pada 2020 total belanja modal mereka sekitar US$ 62,5 miliar.

Berdasarkan catatan dan estimasi Reuters, berikut rencana investasi sejumlah perusahaan migas dunia pada 2021-2025:
1. Exxon Mobil US$ 103,79 miliar.
2. Shell US$ 99,5 miliar.
3. Chevron US$ 71,94 miliar.
4. BP US$ 63,5 miliar.
5. Total US$ 58 miliar.
6. Equinor US$ 38 miliar.
7. Eni US$ 37,05 miliar.

sumber :https://www.cnbcindonesia.com/news/20210712191536-4-260259/minyak-melonjak-raksasa-migas-dunia-malah-ngerem-investasi

Posting Komentar

0 Komentar