Pertamina NRE Beberkan Tantangan di Masa Transisi Energi


Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) dunia saat ini tengah berbondong-bondong melakukan transisi ke energi terbarukan. Tak ketinggalan juga PT Pertamina (Persero) turut berupaya melakukan transisi energi.


CEO Pertamina NRE Dannif Danusaputro mengatakan, dalam melakukan transisi ada tantangan yang dihadapi, salah satunya yaitu sektor transportasi masih didominasi oleh bahan bakar fosil.

Di sisi lain, masyarakat juga belum beralih ke kendaraan listrik dikarenakan harga kendaraannya masih lebih mahal dibandingkan dengan kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM). Pun ada konversi, menurutnya masyarakat juga belum mau karena terbilang masih mahal.

Namun demikian, dia meyakini, dengan adanya perkembangan teknologi, maka diperkirakan biaya transportasi dan juga investasi di sektor energi baru terbarukan akan lebih murah ke depannya.

"Saya percaya dengan perkembangan teknologi terkait transportasi dan investasi EBT, dengan teknologi yang semakin canggih, maka cost of energy equivalent akan semakin turun," ungkapnya dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia, Rabu (08/09/2021).

Dia memperkirakan, transisi energi nantinya akan berlangsung secara natural, di mana energi fosil ke depan akan membayar pajak melalui carbon tax dan energi terbarukan akan mendapatkan insentif.

"Fosil harus bayar tax, akan ada carbon tax dan lainnya, dan orang akan natural transisi ke energi terbarukan," imbuhnya.

Seperti diketahui, pemerintah berencana memberlakukan pajak karbon mulai tahun depan. Tarif pajak karbon rencananya ditetapkan minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Usulan besaran pajak karbon tersebut akan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, usulan besaran pajak karbon minimal Rp 75 per kg tersebut masih jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan Lembaga Pendanaan Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF).

Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35 hingga US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 sampai Rp 1,4 juta (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) per ton.

"Dari sisi harga, sejumlah rekomendasi menyatakan untuk carbon pricing yang ideal berkisar antara US$ 35 sampai dengan US$ 100/ton, sehingga benar-benar efektif dampaknya," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (29/06/2021).

"Jadi, dengan harga Rp 75/kg seperti yang diusulkan, sepertinya masih jauh dari rekomendasi World Bank atau IMF untuk negara berkembang," ujarnya.

Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/news/20210908194000-4-274787/pertamina-nre-beberkan-tantangan-di-masa-transisi-energi

Posting Komentar

0 Komentar