Santri di Era Revolusi Masyarakat 5.0

MALANG – Diskusi kecil terjadi di antara beberapa orang santri. Besok kamu mau jadi apa?

Masing-masing santri beda cita-cita. Ada yang ingin menjadi dokter, dosen, pendidik. Pula yang kiai, dan bahkan wartawan.

Ada seorang santri yang hanya menjawab dengan jawaban sederhana namun transendental. "Aku gantungkan cita-citaku setinggi langit ke tujuh agar nanti jika jatuh tidak langsung jatuh ke bumi, tetapi bisa nyantol pada apa yang ada pada takdir Allah SWT nantinya."

Mengapa menjadi serius cita-cita itu dalam diri santri? Apa memang sudah menjadi tuntutan zaman sekarang? Padahal zaman akan terus berubah sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Terlebih para futurolog telah memberikan gambaran masa depan perkembangan peradaban manusia akan masuk babak baru yaitu masyarakat 5.0.

Dalam perkembangannya, santri saat ini sedang vis a vis memasuki era revolusi masyarakat 5.0. Masyarakat 5.0 memiliki konsep teknologi big data yang dikumpulkan oleh Internet of things (IoT), lalu ditransformasikan oleh Artificial Intelligence. Sehingga menjadi sesuatu yang dapat membantu orang menjalani kehidupan yang lebih baik.

Seperti halnya Industry 4.0, Society 5.0 juga akan mempengaruhi semua aspek kehidupan, dan pendidikan, termasuk kehidupan santri. Santri sebagai komponen kehidupan umat manusia akan selalu diuji seiring dengan perkembangan zaman.

Tuntutan penguasaan bahasa asing, kewirausahaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), keterampilan digitalisasi, kompetensi keahlian pemahaman Al-Qur'an dan Hadits.

Artikel ini akan menganalisis tentang santri di era revolusi masyarakat 5.0, baik secara empiris induktif, deduktif, dialogis, maupun fenomenologis-sosiologis-literasi.

Pertama, tentang integrasi penanaman nilai-nilai moral spiritual dan akhlak mulia. Di era masyarakat 5.0, santri didorong untuk memanfaatkan teknologi, terutama untuk mendapatkan informasi yang akurat secara cepat.

Dengan teknologi ini, transfer pengetahuan dapat digantikan oleh mesin yang di dalamnya tertanam sistem kecerdasan buatan. Dengan teknologi ini, proses transfer pengetahuan dapat digantikan oleh mesin, tetapi tidak untuk penerapan soft skill dan hard skill.

Jika tidak diantisipasi, pembentukan moral spiritual dan akhlak mulia masyarakat di luar pesantren lambat laun akan terkikis. Sebagai bagian dari masyarakat, santri memiliki tujuan tafaqquh fi ad-din (transfer dan transmisi ilmu agama) dan penekanan moral dan keteladanan.

Dengan demikian, santri dapat menjadi bagian dari struktur sosial masyarakat yang memiliki nilai-nilai moral yang tinggi dan semakin dibutuhkan. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai moral dan sikap keagamaan tidak hanya bagi santri tetapi juga bagi masyarakat di luar masyarakat pesantren.

Kedua, tentang santri berbasis teknologi. Konsep masyarakat 5.0 berfokus pada internet of things, big data, dan AI untuk mengumpulkan informasi dan mentransfer pengetahuan. Jika Santri melek teknologi dalam proses pembelajaran, akan sangat membantu dan mempercepat pemahaman secara komprehensif.

Setidaknya dengan memanfaatkan teknologi ini dalam kajian sanad dan matan dalam ilmu hadits, asbabun-nuzul, dan kategorisasi ayat-ayat dalam ilmu tafsir, dll, akan membantu dalam pembelajaran istidlal (menggali argumentasi) dan memecahkan masalah berdasarkan prinsip, kaidah fiqih (hukum fiqh) dan penyelesaiannya secara cepat dan tepat.

Dalam konteks ini, santri dituntut memiliki kemampuan untuk menggunakan dan mengelola teknologi.

Ketiga, tentang literasi dan etika digital. Salah satu dampak perkembangan teknologi (era industri 4.0 dan masyarakat 5.0) adalah meningkatnya literasi digital. Dampaknya kemudahan akses informasi secara online, termasuk informasi tentang agama.

Selain sebagai anggota masyarakat yang kompeten dalam agama, santri juga berfungsi sebagai tokoh agama dan pendakwah agama. Oleh karena itu, media dakwah dan pendidikan berbasis teknologi menjadi sangat vital.

Kondisi ini perlu menjadi perhatian untuk menyeimbangkan literatur Islam yang tersebar melalui media sosial. Terutama pesan-pesan yang mengandung bias ideologis yang intoleran, liberal, dan konservatif radikal.

Oleh karena itu, santri juga dituntut memiliki kemampuan untuk menghasilkan karya tulis ke-Islam-an yang rahmatan lil alamin, wasathiyah/moderat, humanis, dan toleran berbasis teknologi. Selain itu, literasi digital juga mengarah pada penetrasi informasi yang bebas dan tidak terkendali.

Kondisi ini mendorong meningkatnya hoaks, kejahatan digital, radikalisme digital, dan sedikitnya klarifikasi dan validasi sumber. Di sini penanaman etika digital sangat diperlukan. Berpikir kritis dan tabayun merupakan hal mutlak yang harus menjadi perhatian untuk dikuasai oleh santri.

Ketrampilan tersebut untuk menjaga budaya intelektual santri dan pesantren, yang memiliki standar sumber otentik (mu'tabar) dan transmisi ilmiah (sanad, baik secara riwayatan maupun dirayatan) yang valid.

Selamat Hari santri. Maju menjadi santri yang siap vis a vis revolusi masyarakat.


Sumber : https://www.timesindonesia.co.id/read/news/377545/santri-di-era-revolusi-masyarakat-50

Posting Komentar

0 Komentar