Masyarakat 5:0, Apakah kita Subjek atau Objek?

 


Sejak adanya kehidupan manusia bermasyarakat, telah terjadi proses perubahan yang terus menerus, yang sejalan juga dengan perkembangan temuan teknologi/industry. Secara umum (Fukuyama,2018), perkembangan masyarakat (transformasi industri) bergerak dari mencari penghidupan dari alam (hunting society), penemuan irigasi untuk pertanian (agrarian society), penemuan mesin untuk produksi masal (industrial society), penemuan komputer dan jejaring informasi (information society) dan akhirnya memasukan era yang disebut dengan era masyarakat sangat pintar (super smart society/society 5.0). Pada era yang terakhir ini, kecanggihan teknologi seakan sudah menyatu dalam keseharian individu masyarakat, dimanapun ia berada.

Era masyarakat 5.0 disimbolkan dengan harmoninya hubungan manusia dengan teknologi. Kecanggihan teknologi ‘ditaklukkan’ untuk sebesar-besarnya maslahat manusia, untuk membuat kehidupan jauh lebih baik. (Fukuyama, 2018). Jepang, -sebagai salah satu negara super power dalam perkembangan teknologi- sedang masif mempromosikan ini. Inilah visi terkait kehidupan ‘ideal’ masa depan, dimana kemanusiaan berpadu dengan kecanggihan teknologi yang hampir tanpa batas.

Pertanyaannya, apakah (individu) masyarakat negara berkembang (seperti Indonesia) sudah secara merata disiapkan untuk menghadapi ini? Atau, haruskah kita pasrah, menunggu jatuhnya korban dari percepatan perkembangan ini?

Subjek atau Objek

Ketika era Internet of Things (IoT), big data dan kecerdasan artifisial sudah hadir di keseharian masyarakat, maka pertayaannya, apakah masyarakat Indonesia akan menjadi subjek yang mendapatkan manfaat atau justru objek penderita? Inilah pekerjaan rumah kita. Seberapa besar negara menyiapkan masyarakat untuk menjadi subjek (pemain utama/penerima manfaat) dari -meminjam istilah Renald Kasali (2018) perubahan besar ini (great shifting)?

Masihkah kita menjadi tujuan konsumtif dari negara-negara produktif? Masihkah tenaga kerja kita hanya menjadi pekerja nomor 3 atau 4 dibawah kepemimpinan asing? Masihkan anak-anak dan remaja kita hanya menjadi objek konsumtif (baca: penderita) dari kemajuan teknologi komunikasi (gadget)? Berapa persenkah yang akan menjadi pemain utama, perancang aplikasi, pemilik modal, serta perancang model bisnis?

Hampir tidak terhitung korban revolusi industri (khususnya bidang teknologi komunikasi) di Indonesia. Terjadinya kasus bullying dunia maya, prostitusi daring, penipuan barang via platform belanja on-line, ujaran kebencian, hoaks yang memecah belah persatuan dan lain sebagainya adalah kejadian sehari-hari. Tidak terhitung masyarakat yang baru hanya menggunakannya sebagai ajang pamer kemewahan, kecantikan dll, yang berpotensi menimbulkan hasad, iri dan dengki. Juga, sulit dihitung, berapakah generasi muda yang hanyut dalam bermain games online yang menyajikan adegan kekerasn, serta berbumbu seksualitas? Belum lagi transaksi berbau ghoror yang dapat melipatgandakan dan atau menghilangkan uang dalam sekejap.

Artinya, secara umum masyarakat masih hanya menjadi pengguna (pasif) dari kemajuan kecanggihan teknologi, sekaligus objek darinya. Euforia kecamggihan teknologi masih artifisial. Pemahaman terkait mudharatnya, juga relatif masih dangkal

Kehadiran Agent of Change

Maka, negara harus hadir untuk, secara khusus membangun kapabilitas individu. Transformasi beragam bentuk teknologi adalah keniscayaan. Mereka akan datang terus dan mengubah setiap dimensi hidup manusia. Maka, hanya yang menyiapkan diri dengan baiklah yang akan mendapatkan maslahat dan manfaat optimal.

Agent of Change perlu hadir mewakili kamu berpendidikan. Sebagian komponen masyarakat perlu terus berada di garis depan untuk mengingatkan potensi mudharat dari kemajuan teknologi ini

Pilihannya, mahasiswa sebagai penghuni kasta tertinggi pendidikan, seyogianya maju di garis depan untuk membangun konstruksi perilaku positif dan bijak dalam menyikapi kemajuan teknologi. Mahasiswa dengan kapasitas kedewasaan, serta ekosistem keilmuan, wajib hadir untuk membangun aksi pemasaran sosial, yakni ajakan positif untuk bijak dalam berteknologi dan dewasa dalam mengoptimalkan media sosial.

Upaya untuk menghadirkan edukasi ini, sudah barang tentu, wajib mengikuti payung aturan yang paling tinggi, yaitu ajaran ilmu agama. Sehingga diharapkan segala langkah kecil manusia ini terus berada di bawah ridho-Nya.

Maka, pertanyaan kiritisnya, sudahkah disusun rancang bangun atau peta jalan optimalisasi teknologi ini untuk membangun peradaban manusia yang berakhlak dan beretika? Sudahkah direncanakan bagaimana cara menggunakan kemajuan ini dengan bijak untuk membangun moral bangsa?

#peradaban#teknologi#masyarakat50#manusiamodern
Sumber: https://retizen.republika.co.id/posts/53709/masyarakat-50-apakah-kita-subjek-atau-objek

Posting Komentar

0 Komentar