Potensi dan Tantangan Penerapan Kecerdasan Buatan dalam Diagnosis Kesehatan

 


#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik

Bicara tentang kecerdasan buatan, penulis jadi teringat saat awal-awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Waktu itu masyarakat sangat panik. Kepanikan itu mengejawantah dalam perilaku panic buying hingga hoaks yang berseliweran.

Di tengah kondisi panik itu, penulis mendapatkan pesan siaran tentang tautan diagnosis dini gejala Covid. Alat itu berupa sebuah machine learning (ML) sederhana berbasis website.

Ada beberapa pertanyaan yang diajukan di halaman situs tersebut, pertanyaannya seputar gejala yang dialami. Setelah semua pertanyaan dijawab dan dikirim, mesin akan menyimpulkan apakah pengguna didiagnosis memiliki gejala Covid-19 atau tidak.

Aplikasi tersebut saat itu cukup membantu, setidaknya untuk mengurangi kepanikan dan over thinking. Namun sayangnya, secara umum, hasil diagnosis dari mesin atau kecerdasan buatan saat ini hanya bisa dianggap sebagai deteksi dini. Artinya butuh pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter untuk penanganan atau pengobatan.

Tapi itu berarti bukan tidak mungkin jika di masa depan profesi dokter bisa digantikan oleh robot atau kecerdasan buatan. Mari kita bahas ini lebih lanjut.

Potensi Penerapan Kecerdasan Buatan dalam Diagnosis Kesehatan

Faktanya, penerapan kecerdasan buatan dalam bidang kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Khususnya dalam diagnosa medis, kecerdasan buatan, atau yang lebih populer dengan artificial intelligence (AI)--berikut dengan bagiannya seperti machine learning (ML) dan deep learning (DL)--sudah digunakan sejak puluhan tahun lalu.

Davenport dan Kalakota (2019) menyebutkan bahwa penggunaan AI dalam diagnosis penyakit sudah ada sejak 1970-an. Saat itu peneliti di Stanford, Amerika Serikat, mendiagnosis infeksi bakteri yang ditularkan melalui darah.

Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa sistem buatan itu menunjukkan potensi dalam mendiagnosis dan mengobati penyakit. Namun akhirnya, hal itu tidak dipakai untuk praktik klinis. Saat itu, peneliti menilai hasil bacaan mesin tidak lebih baik dari pada diagnosa manusia. Tantangan lainnya adalah belum terintegrasinya sistem dengan alur kerja klinis serta rekam medis.

Puluhan tahun berlalu, penelitian tentang penerapan kecerdasan buatan dalam diagnosis medis terus dilakukan. Mulai dari aplikasi sederhana sebatas deteksi dini, hingga ke penerapan yang lebih kompleks.

Nyatanya, aplikasi AI telah dipakai dalam berbagai riset untuk mengidentifikasi gambar di berbagai bidang seperti radiologi, neurologi, ortopedi, patologi, hingga gastroenterologi.

Joo Yang dan Seok Bang (2019) melaporkan bahwa AI mampu menghasilkan diagnosis dengan akurasi yang baik dalam bidang gastroenterologi. Hanya saja, mereka menilai bahwa masih banyak tantangan dan penyempurnaan yang harus dilakukan ke depan.

Tantangan Penerapan AI dalam Bidang Kesehatan

Sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa butuh bertahun-tahun lagi agar AI bisa dipakai secara luas dalam bidang kesehatan. Hal ini tidak terlepas dari beragam tantangan yang dihadapinya.

Challen, dkk (2019) menilai ada banyak tantangan yang harus diatasi sebelum AI dapat digunakan secara luas di bidang kesehatan. Mereka membagi isu tersebut menjadi 3 bagian, yaitu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Pertama, jangka pendek. Saat ini akurasi hasil diagnosis AI masih belum baik. Hasil menjadi lebih tidak akurat ketika pola penyakit berubah. Selain itu, ada kemungkinan untuk terjadinya false positive karena prediksi yang berlebih serta false negative karena salah prediksi. Hal ini dapat membahayakan pasien jika prediksi yang dibuat AI tidak akurat.

Kedua, jangka menengah. Bagaimanapun sistem kecerdasan buatan harus dilatih, hal ini membuat ia dapat bekerja sebagaimana data historis yang diasup padanya. Dengan kata lain, aplikasi diagnosis AI tidak bisa beradaptasi dengan hal ataupun kebijakan baru.

Ketiga, jangka panjang. Penggunaan AI dalam diagnosis penyakit dapat membawa pasien pada efek samping yang berbahaya. Efek ini berkenaan dengan sistem yang tidak bisa melakukan diagnosis dalam konteks yang lebih luas. Selain itu, teknologi selalu punya celah berupa bugs atau rentan diretas.

Tidak seperti bidang lainnya, penggunaan AI dalam bidang kesehatan benar-benar harus aman. Hal ini dikarenakan ia sangat berkaitan dengan keselamatan jiwa seseorang. Oleh karena itu, masih banyak PR yang harus diselesaikan di beberapa masa yang akan datang. Tidak hanya oleh ilmuwan di bidang medis, tetapi juga profesi lainnya.

Perlu Kerja Sama Antara Saintis dan Insinyur Teknologi

Terlepas dari seberapa banyak tantangan yang menghadangnya, bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti AI benar-benar bisa menggantikan manusia dalam bidang kesehatan. Sepintas ini seperti cerita-cerita fiksi, tapi itu adalah impian yang hanya butuh waktu untuk mewujudkannya.

Agar AI dapat digunakan dengan baik dan aman dalam diagnosis kesehatan, tentu butuh pengembangan yang dilakukan berbagai pihak. Saintis dan insinyur bertanggung jawab dalam mengembangkan alat. Di samping itu, investor juga sangat dibutuhkan lantaran biaya penelitian dan pengembangan sangat besar.

Lebih lanjut, pemangku kepentingan juga mesti turut membantu agar proses penelitian dan pengembangan berjalan dengan baik. Talenta-talenta muda juga diharapkan terlibat aktif dalam pengembangan proyek jangka panjang tersebut. Ini menjadi bidang yang menarik untuk dipelajari oleh generasi muda, khususnya generasi muda Indonesia.

Kesudahannya, teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dan pisahkan dalam kehidupan kita. Terlebih di dunia digital ini, manusia terus berupaya menciptakan alat-alat yang dapat memudahkan kehidupan mereka. Kecerdasan buatan atau AI adalah salah satu di antaranya.

Sumber: https://digitalbisa.id/artikel/kecerdasan-buatan-dalam-diagnosis-kesehatan-6BmTB

Posting Komentar

0 Komentar