SMART CITY Butuh SMART GOVERNANCE dijalankan oleh SMART GOVERNMENT

 Tulisan ini mencoba menjelaskan Pengertian dan Hubungan antara SMART CITY, SMART GOVERNANCE, dan SMART GOVERNMENT dari ilmu Tata Kelola Teknologi Informasi dan Pengalaman Praktis Penulis sebagai Peneliti & Konsultan Smart City.

I. GOVERNANCE vs. GOVERNMENT: Apa Bedanya?

Sering kita mendengar 2 kata yang membingungkan, bahkan sering saling salah tertukar, yakni kata: “Governance” dan “Government“. Bahkan di dalam model Smart City Kemenkominfo salah satu dimensi dari enam dimensi Smart City adalah Smart Governance. Lalu mengapa bukan “Smart Government“? Emang apa bedanya Governance dengan Government? Adakah hubungannya? Bolehkah istilah “Smart Governance” saya ganti dengan “Smart Government”? Berikut ini penjelasan saya:

Arti “Governance
Menurut English Cambridge Dictionary, kata “Governance” berarti:
“The way that organizations or countries are managed at the highest level and the systems for doing this”

Sementara menurut Mariam-Webster Dictionary:
“The way that a city, company, etc., is controlled by the people who run it“

Dari dua definisi kata Governance atau di Bahasa Indonesia sering dialihbahasakan menjadi “Tata Kelola” atau “Tata Pamong” dapat diartikan sebagai cara sebuah organisasi, kota atau negara dikontrol dan dikelola pada level tinggi atau strategis. Ada 2 kata menarik di definisi ini, yakni bahwa Tata Kelola atau Tata Pamong atau Governance intinya adalah “cara sesuatu dikontrol & dikelola”, namun Bukan sampai ke detail operasional tetapi pada “level Strategis” (umumnya dilakukan pemimpin tertinggi atau Dewan Direksi).

Dalam konteks Tata Kelola Perusahaan atau Corporate Governance, Tata Kelola atau Governance adalah bagaimana pimpinan memastikan perusahaannya mampu mengoptimalkan 2 aspek yang seringkali saling bertentangan, yakni Unjuk Kerja Perusahaan (Performance) vs. Pemenuhan Peraturan & Pertanggungjawaban (conformance).  Saya pernah menjelaskan ini di: https://egovernmentindonesia.wordpress.com/2017/11/24/tata-kelola-e-government-performance-vs-conformance/

egov6

Pengertian “IT Governance”?
Dalam konteks Teknologi Informasi, istilah “Information Technology Governance” atau “IT Governance” telah didefinisikan oleh beberapa peneliti sebagai berikut:

  • is the responsibility of executives and the board of directors, and consists of the leadership, organizational structures and processes that ensure that the enterprise’s IT sustains and extends the organization’s strategy and objectives.” (ITGI, 2005)
  • is the organizational capacity exercised by the board, executive management and IT management to control the formulation and implementation of IT strategy and in this way ensure the fusion of business and IT(Van Grembergen, 2000)
  • is specifying the decision rights and accountability framework to encourage desirable behaviour in the use of IT” (Well & Woodham, 2002)
  • is defined as the processes that ensure the effective and efficient use of IT in enabling an organization to achieve its goals” (Gartner, 2019)

Dari 4 Definisi ini dapat disarikan bahwa Tata Kelola Teknologi Informasi atau IT Governance adalah wewenang dan tanggung-jawab yang dimiliki oleh Pimpinan Tinggi atau Dewan Direksi untuk memastikan Teknologi Informasi diadakan dan dimanfaatkan benar-benar secara efektif dan efisien mendukung pencapaian Tujuan Organisasi.

Governance BEDA dengan Management!

COBIT 5 bahkan sudah secara gamblang mendefinisikan bahwa Tata Kelola TI atau IT Governance BERBEDA dengan Manajemen TI atau IT Management, baik dalam Tujuan, Tanggung-Jawab, Proses dan Aktivitasnya, dan Struktur Organisasi Pendukungnya.  Dalam kajian dan definisi COBIT 5, Governance adalah kumpulan proses (di dalamnya ada aktivitas) yang dilakukan Dewan Direksi untuk memastikan IT benar-benar mendukung pencapaian Tujuan Organisasi (memastikan Manajemen melakukan hal-hal yang Benar atau “Do the RIGHT things) yakni melalui EDM:  EvaluateDirectMonitoring.

  • “EVALUATE” berarti Dewan direksi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan pemangku kepentingan organisasi (dalam konteks Perusahaan adalah Pemegang Saham, dalam konteks Kota adalah Masyarakat dan Pemerintah Pusat) dan menterjemahkannya (menetapkan) dalam Tujuan-Tujuan yang harus dicapai/didukung oleh layanan dan sistem Teknologi Informasi.
  • DIRECT” berarti Dewan Direksi melakukan Prioritisasi dan Pengambilan Keputusan (Persetujuan atau Ketidaksetujuan) untuk Kebijakan-Kebijakan dan Perencanaan Jangka Panjang atau Strategis TI.
  • MONITORING” berarti Dewan Direksi secara periodik melakukan pengawasan terhadap Unjuk Kerja (Performance) dan Pemenuhan (Compliance) terhadap Tujuan, Target, dan Standar yang telah ditentukan (dapat dalam bentuk Critical Success Factors/CSF, Key Performance Indikators/KPI, Indikator Kinerja RPJMD, Kematangan Proses, dll)
Governance-COBIT

Sementara Manajemen TI atau IT Management adalah kumpulan proses (dan aktivitas di dalamnya) yang dilakukan oleh Manajemen Organisasi/Departemen TI untuk memastikan teknis operasional TI dikerjakan dengan cara benar (Do the things RIGHT), yakni melalui PBRM: benar dalam Perencanaan – Plan, benar dalam Pembangunan – Build, benar dalam Operasionalnya – Run, dan benar dalam mengawasi dan mengevaluasi operasionalnya – Monitor. Manajemen TI memastikan aktivitas-aktivitas yang dikerjakan fungsi-fungsi manajemen (umumnya level Manajer ke bawah) benar-benar sesuai dengan arahan atau kebijakan strategis Dewan Direksi (unit Governance).

Dalam kontek SMART CITY dan e-GOVERNMENT, Siapa Sih “Stakeholders”, Pelaksana “Governance” dan “Management”?

Dalam konteks kota, Stakeholders atau Pemangku Kepentingan sebuah kota mencakup Masyarakat (baik perusahaan swasta, akademisi, masyarakat umum, dll) dan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat, sementara Pelaksana IT Governance untuk  Smart City dapat berupa Dewan Smart City (termasuk di dalamnya Walikota/Bupati, Kepala OPD-OPD, Perwakilan tokoh Masyarakat, Perwakilan Perusahaan utama di kota/kab tersebut, LSM, Akademisi, & kelompok masyarakat lainnya) dan untuk e-Government dapat berupa Dewan TIK Kota (termasuk di dalamnya Walikota/Bupati, Sekda dan Kepala OPD-OPD). Sementara Pelaksana utama IT Management adalah Kepala Dinas Dinkominfo, Kepala Bidang, Kepala Seksi, hingga staf Dinkominfo lainnya.

Pengertian “Government” dan Hubungannya dengan IT Governance dan e-Government?

Menurut English Oxford Dictionary, kata “Government” memiliki arti:
“The group of people with the authority to govern a country or state; a particular ministry in office” yakni sekelompok orang yang memiliki wewenang atau kekuasaan untuk mengatur tata kehidupan sebuah wilayah (kota, kabupaten, provinsi, atau negara).

Dalam konteks SMART CITY dan e-GOVERNMENT atau Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) , Government atau Pemerintah merujuk pada semua orang yang secara formal masuk dalam struktur organisasi pemerintah kota, kabupaten, atau provinsi dan kelompok GOVERNMENT inilah yang bertanggung-jawab melaksanakan IT Governance dan Management untuk sistem dan layanan SPBE atau e-GOVERNMENT.

II. SMART CITY Butuh SMART GOVERNANCE yang Kuat!

Sebelum kita membahas tentang Hubungan Smart City dengan Smart Governance, kita ingat kembali definisi SMART CITY:

Dalam Buku “SMART CITY: Konsep, Model, & Teknologi – Bunga Rampai Pengetahuan, Gagasan, & Rekomendasi ITS untuk Indonesia” (Dapat Diunduh GRATIS di: http://aisindo.org/aisindo-store/store/), saya sudah mencoba mendefinisikan SMART CITY dari berbagai definisi Smart City dari banyak peneliti, yakni:

Smart City adalah sebuah kategorisasi kota sekaligus sebuah konsep pengembangan dan pengelolaan kota dengan memberdayakan (memanfaatkan secara optimal) teknologi terkini secara intensif (termasuk jaringan komputer, sensor, internet of things, cloud computing, big data, data analytic, space/geographical information integration, dan lain-lain) guna mengintegrasikan sistem manusia dengan sistem fisik kota dan sistem digital sehingga mampu secara kreatif dan inovatif:
– merasakan, mendengar, menangkap, memahami dan merespon kebutuhan warganya secara proaktif, cepat, dan tepat;
– memonitor, mengontrol, mengkomunikasikan, menyampaikan, dan meningkatkan kualitas layanan publik dan layanan kota lainnya seperti transportasi, listrik, lingkungan hidup, keamanan, dan layanan kondisi darurat;
– memonitor kondisi-kondisi infrastruktur penting kota, merencanakan aktivitas-aktivitas perawatan, dan meningkatkan keamanannya;
– mengoptimalkan pemanfaatan sumber-daya kota secara efisien dan berkelanjutan;
– meningkatkan efisiensi operasional dan layanan kota;
– meningkatkan kenyamanan untuk tinggal (livable);
– meningkatkan kualitas hidup/kesejahteraan warganya (quality of life);
menjaga kesetaraan bagi semua warga masyarakat (equity);
– memastikan perkembangan dan keberlangsungan kota di masa mendatang dan memenuhi kebutuhan generasi saat ini maupun mendatang (sustainable) baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan;
– meningkatkan kemampuan bersaing kota (competitiveness);
– meningkatkan ketangguhan kota dalam mengantisipasi dan segera pulih dari akibat bencana, kriminalitas, dan berbagai potensi resiko lainnya (resilience). (Susanto, 2019)

Sementara SMART GOVERNANCE merupakan salah satu dari 6 Dimensi SMART CITY menurut Model Smart City Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia:

smartcityModel-Kemenkominfo

SMART GOVERNANCE atau tata kelola pemerintahan kota yang pintar adalah konsep sekaligus praktik bagaimana mengelola manajemen dan tata pamong/kelola pemerintahan dan layanan publik secara lebih cepat, efisien, efektif, responsif, komunikatif, dan terus melakukan peningkatan kinerja birokrasi melalui inovasi dan adopsi teknologi yang terpadu. Salah satu ciri Smart Governance adalah pola, budaya, dan proses bisnis birokrasi internal pemerintah dan layanan publik yang menjadi lebih ringkas, cepat, mudah, responsif dan komunikatif, serta efisien waktu, biaya, dan usaha. Smart Governance direkomendasikan menjadi basis bagi keberhasilan pembangunan dimensi-dimensi Smart City lainnya. Konsep Smart Governance harus diterapkan sekaligus diukur dalam 3 sub-dimensi, yakni: Layanan publik (Service)Birokrasi (Bureaucracy), dan Kebijakan publik (Policy).

Untuk mampu menerapkan SMART GOVERNANCE, pemerintah daerah membutuhkan bantuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta berbagai teknologi terkini. Implementasi TIK untuk berbagai kebutuhan organisasi Pemerintah (baik untuk operasional internal organisasi maupu layanan publik) inilah yang disebut e-GOVERNMENT atau Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Jadi dalam konteks SMART CITY, e-Government atau SPBE adalah satu dari 6 Dimensi SMART CITY menurut Model Kemenkominfo. SPBE harus diimplementasikan untuk mendukung kualitas Layanan Publik (Services), Operasional Birokrasi (Bureaucracy), dan Kebijakan Publik (Policy). Salah satu kelompok aplikasi e-Government untuk mendukung SMART GOVERNANCE adalah berbagai aplikasi GOVERNMENT RESOURCE PLANNING (GRP) yang telah saya jelaskan ditulisan saya sebelumnya: https://egovernmentindonesia.wordpress.com/2018/10/26/government-resource-planning-grp-di-indonesia-apa-yang-ada-hubungan-antar-modul-grp-manfaat-permasalahannya/#more-374

Dalam berbagai pengalaman dan penelitian saya merekomendasikan bahwa untuk syarat wajib sebuah Kota/Kabupaten mampu membangun SMART CITY/REGENCY  adalah dibutuhkan SPBE atau e-GOVERNMENT yang Baik dahulu karena dengan SPBE yang baik (baik secara sistem/teknologi, proses bisnis, tata kelola dan manajemen, SDM, dan penerimaan staf pemerintah dan masyarakat) maka Pemerintah Daerah akan memiliki pengalaman dan sumber-daya yang kuat untuk membangun kelima dimensi Smart City yang lainnya.

e-GOVERNMENT (SPBE) adalah Sistem yang dibutuhkan untuk membangun SMART GOVERNANCE, dan SMART GOVERNANCE adalah PONDASI bagi Pembangunan Semua Dimensi SMART CITY lainnya 

III. Butuh SMART GOVERNMENT untuk Melaksanakan SMART GOVERNANCE

Apakah jika sebuah Pemda telah memiliki berbagai aplikasi dan infrastruktur teknologi terkini pasti pemda tersebut akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan daerah dan mencapai visi dan misi pemerintah daerah dengan lebih efisien dan efektif hingga menjadi Smart City? Jawabannya adalah BELUM TENTU. Pengalaman saya sebagai Konsultan Smart City menunjukkan ada sebuah Pemerintah Daerah yang Sangat Kaya, saking kayanya berbagai infrastruktur TIK dan aplikasi e-government telah dimilikinya, namun fakta di lapangan menunjukkan semua aplikasi dan layanan berbasis TIK tersebut tidak jalan. Berbagai permasalahan kota masih belum terpecahkan, apalagi visi misi pimpinan daerah dan kualitas kehidupan kota masih jauh panggang dari api.

Dari pengalaman ini saya setuju dengan pendapat pak Jusuf Kalla:

Teknologi dalam smart city hanya sebagai penunjang. Yang terpenting adalah kepala daerah yang mampu memaksimalkan teknologi dan berinovasi. Teknologi bisa dibeli, tapi kecerdasan harus timbul daripada kemampuan wali kota itu untuk mengelola segala macam teknologi yang kemudian bermanfaat untuk masyarakat. Jangan hanya terpukau dengan istilah kota cerdas, yang penting dikembangkan adalah wali kota dan warga yang cerdas” (Jusuf Kalla)

Jadi pemilikan sistem e-Government yang canggih BELUM MENJAMIN terwujudnya SMART GOVERNANCE. Smart Governance membutuhkan SMART GOVERNMENT. Apa itu SMART GOVERNMENT?  Dalam definisi saya, SMART GOVERNMENT adalah SDM-SDM pemerintah yang Cerdas, Inovatif, Inisiatif/Proaktif dan Berjiwa Melayani. SMART GOVERNMENT pada level Pimpinan Daerahadalah SDM-SDM dalam struktur Pimpinan Organisasi Pemerintah Daerah yang harus memiliki IT Leadership yang tinggi, yakni memiliki wawasan terhadap teknologi terkini dan memandang Teknologi sebagai Strategic Asset atau Stategi untuk mampu terus berkompetisi dan mencapai tujuan organisasi (Bukan melihat Teknologi hanya sekedar sebagai Pos Biaya atau Cost Center).

SMART GOVERNMENT membutuhkan berbagai program Peningkatan Wawasan dan Kompetensi SDM Pemerintah Daerah secara periodik. SMART GOVERNMENT membutuhkan pengembangan kerja-sama Pemda dengan berbagai institusi Pendidikan dan Pengembang Teknologi secara terus-menerus. SMART GOVERNMENT membutuhkan pembangunan budaya dan atmosfer Selalu Ingin Belajar & Selalu Ingin Lebih Baik di kalangan SDM Pemda.

Inovasi-inovasi di Sistem Internal dan Layanan Pemerintah Bukan hanya berupa pengembangan Sistem e-Government (SPBE), melainkan juga Inovasi-Inovasi Proses Bisnis operasional internal dan layanan publik pemda (Process Re-Engineering) agar berbagai prosedur kerja dan layanan dapat lebih singkat, efisien waktu, efisien biaya dan sumberdaya, serta terintegrasi dengan sistem lainnya.

Dengan kompleksitas permasalahan daerah dan keterbatasan periode kepemimpinan daerah di satu sisi, dan di sisi lain keterbatasan anggaran dan sumber daya daerah yang ada, jelas tidak mungkin Pemimpin Daerah dan Kepala OPD memakai pendekatan biasa. Setiap Pemimpin Daerah dan Kepala OPD perlu strategi dan pendekatan INOVATIF (keluar dari pakem kebiasaan) dan SOLUTIF namun tetap sesuai dengan Peraturan yang ada.

Setiap Pemimpin Daerah wajib memaksimalkan berbagai sumber daya daerah yang dimilikinya, memberdayakan berbagai komponen masyarakat dan potensi daerah yang ada, serta mengundang dan mengembangkan berbagai mitra-mitra daerah nasional maupun internasional untuk berinvestasi dan ikut membantu pembangunan daerahnya.

Akhirnya, tulisan ini saya akhiri dengan sebuah kalimat kesimpulan dan ilustrasi bahwa SMART CITY membutuhkan Syarat Wajib SMART GOVERNANCE, dan Smart Governance membutuhkan Syarat Wajib SMART GOVERNMENT:

mayor2



sumber tulisan: https://notes.its.ac.id/tonydwisusanto/2020/08/03/smart-city-butuh-smart-governance-dijalankan-oleh-smart-government/

Posting Komentar

0 Komentar