Ilustrasi self-driving enterprise |
Maraknya adopsi teknologi-teknologi canggih, seperti automation dan Artificial Intelligence, oleh perusahaan saat ini diprediksi pada akhirnya akan berujung pada sebuah endgame: self-driving enterprise. Apa saja kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah organisasi atau perusahaan yang self-driving?
Tak diragukan lagi bahwa pandemi telah mengubah cara kita bekerja, menjalani kehidupan, serta cara kita menggunakan layanan. Pada dua tahun terakhir, perusahaan harus beradaptasi dengan cepat atau mereka kehilangan bisnisnya.
Oleh karena itu, makin banyak perusahaan menerapkan sistem kerja remote, atau merilis tool layanan digital yang ekstensif untuk menjangkau pelanggannya. Proses pembaruan dan peningkatan infrastruktur yang sudah ada sejauh ini telah berjalan dengan agile dan reaktif.
Kami percaya bahwa saat ini kita berada di persimpangan. Para CIO menyadari bahwa untuk bertahan dan berkembang di era baru ini, mereka harus memikirkan kembali bagaimana perusahaan berevolusi dan memanfaatkan data, teknologi, serta proses secara strategis, agar dapat memberikan customer value dengan lebih self-sufficient (swasembada), otonom dan scalable.
Dibutuhkan banyak kemampuan untuk mendukung peralihan ke arah perusahaan yang ‘self-driving’, namun ada tiga tren fundamental yang patut dipertimbangkan dalam merencanakan transisi yang sukses.
Pertama, megatren data gravity akan mengakselerasi peralihan ke arsitektur data-centric yang terdistribusi dan memindahkan pemrosesan data ke edge.
Ketika interaksi yang dimungkinkan oleh teknologi digital menjadi satu kenormalan baru, didukung teknologi-teknologi baru seperti 5G dan perangkat IoT, perusahaan tidak hanya menghasilkan lebih banyak data, tapi data ini kebanyakan dihasilkan oleh sistem yang sensitif terhadap latensi di luar pusat data atau di public cloud.
Selain itu, kemajuan dalam analitik dan machine learning memungkinkan perusahaan untuk membenamkan workflow intelligence ke dalam solusi digital mereka, yang juga memicu produksi lebih banyak data melalui pengayaan, agregasi dan integrasi data.
Melihat tren ini, Gartner memperkirakan bahwa saat ini perusahaan menghasilkan dan memroses hanya 10% dari data mereka di luar fasilitas yang tersentralisasi seperti itu. Namun diprediksi pula bahwa persentase itu akan naik hingga 75 persen sampai tahun 2025[1].
Hal ini berarti, pemindahan data akan semakin sulit dan mahal. Arus data mengalir berbalik dan peningkatan pemrosesan serta penyimpanan data kini terjadi di edge.
Tren data gravity ini membutuhkan arsitektur yang bersifat data-centric, didukung oleh strategi infrastruktur hybrid IT yang dimodernisasi, yang memperluas cloud ke connected data exchange yang ada di edge[2] dan lebih dekat ke point of presence, sekaligus memanfaatkan model operasional yang konsisten untuk memudahkan transisi yang cepat.
Di Asia Pasifik khususnya, adopsi komputasi edge akan meningkat pesat pada tahun-tahun mendatang, dengan pertumbuhan terakselerasi 31,1 persen pertahun[3] untuk total addressable market cap sebesar US$45,32 miliar selama 2021-2030. Sebagian besar (adopsi ini) didorong modernisasi sektor manufaktur dan digitalisasi layanan keuangan yang semakin berkembang di kawasan ini.
Tren kedua adalah data dan AI/ML yang cepat akan mendukung peralihan menuju smart hyper automation dengan AIOps. Dengan bergeraknya operasional bisnis menuju edge, lebih banyak value bisa diperoleh dari streaming data mentah secara real time dan mengubahnya menjadi informasi yang bisa ditindaklanjuti.
Perusahaan yang ingin mendesain ulang workflow dan proses kerjanya dapat mengaplikasikan teknologi-teknologi canggih, termasuk Artificial Intelligence (AI) dan machine learning untuk mengotomatisasi proses dan meningkatkan (peran) manusia. Hal ini berlaku tidak hanya untuk proses customer engagement dan delivery yang inovatif, tetapi juga untuk fungsi-fungsi pendukung internal utama, seperti Operasional IT, Keuangan, Sumber Daya Manusia, dan Legal & Compliance.
Khususnya untuk Operasional IT, adanya sebuah platform tunggal yang ditenagai AI, mendukung konvergensi otomatisasi di berbagai bidang (ITOps, DevOps, DataOps, MLOps) dapat mendukung otomatisasi yang canggih, terintegrasi, dan self-learning untuk melakukan berbagai tugas seperti manajemen kapasitas, penyimpanan dan pencadangan, manajemen keamanan, manajemen konfigurasi aplikasi dan code deployment. Pada gilirannya hal ini mengurangi interaksi manusia dan meningkatkan level kualitas layanan serta peningkatan proses menuju pengelolaan lingkungan IT yang semakin rumit dan terdistribusi.
Ketiga, everything-as-code akan membantu memungkinkan compliance atau kepatuhan yang terus menerus dan self-driving. Secara tradisional compliance terhadap peraturan eksternal dan kebijakan internal sudah diraih melalui proses manual dan kompleks yang bersifat human-driven atau didorong oleh manusia.
Proses ini melibatkan berbagai panduan yang terdokumentasi, checklist, buku pedoman operasi dan otomatisasi parsial melalui manajemen konfigurasi dan pipeline DevOps, dan cenderung melibatkan beberapa fungsi di perusahaan.
Dengan pendekatan everything-as-code[4], perusahaan memperluas pendekatan pengembangan aplikasi ke semua aspek teknologi operasional dengan mendefinisikan dan mengkodifikasi infrastruktur, pipeline software delivery dan manajemen layanan aplikasi.
Sebagai contoh, rantai pasokan software yang makin dibidik oleh serangan siber, bisa diamankan dengan verifikasi otomatis dan pengesahan yang sudah built-in. Atau compliance rule bisa dikembangkan, ditentukan seperti apa baiknya, sehingga kondisi sistem yang relevan bisa terus dimonitor dengan proses yang self-correcting, ini akan memberikan efisiensi yang besar bagi organisasi IT.
Tahun-tahun yang akan datang seharusnya jadi titik balik bagi pembicaraan mengenai ekosistem hybrid cloud ketika semakin banyak perusahaan memperluas lingkungan teknologinya ke edge, melalui pendekatan arsitektur yang data-centric.
Teknologi dan standar open source yang tengah berkembang dan memungkinkan hyper automation cerdas melalui pendekatan terkelola dapat membantu para CIO menerapkan teknologi di mana saja dengan cara yang terstandardisasi.
Hal ini memungkinkan pengembangan inovasi digital dengan berada di tahap di mana pengguna bisnis memiliki pandangan operasional yang end-to-end dan real-time terhadap sistem internal mereka.
Ini akan membantu perusahaan dengan self-driving yang sukses untuk semakin mengotomatisasi pengambilan keputusan operasional dan fokus pada keputusan yang lebih strategis berdasarkan data, serta meraih efisiensi operasional yang jauh lebih besar untuk memberikan layanan yang superior kepada pelanggan mereka.
Sumber: https://infokomputer.grid.id/read/123129470/tiga-teknologi-di-balik-maraknya-tren-self-driving-enterprise?page=2
0 Komentar