Adu Cepat Mengantisipasi Kebutuhan Industri

 

Ilustrasi dosen mengajar di kelas. Shutterstock/dok

Bingung. Itu yang ada di benak Nara Atthama (19) mengenang yang dirasakan saat mendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2020. Padahal, waktu untuk mendaftar, tinggal menyisakan hari. Ya, dia bingung akan pilihan yang ditentukan.

“Saya ingin ambil jurusan mekatronika. Saya tertarik dan ingin perdalam tentang robot,” ujar Nara kala berbincang dengan Validnews, Kamis (3/3).

Niat Nara teradang. Tak ada perguruan tinggi negeri di Indonesia, yang memiliki program studi seperti keinginannya. Kalaupun ada, hanya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang mengadakannya. Itupun jurusan pendidikan mekatronika, yang dekat dengan program keguruan, bukan terapan.

Dia berpikir, jika masuk UNY, tak sejalan dengan rencana berkarier di bidang Research and Development. Nara sempat berpikir mendaftar untuk jurusan lain.

Kemudian, dia peroleh informasi. Tepat di kota dia tinggal, Surabaya, Universitas Airlangga (Unair) telah membuka jurusan robotika dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Unair menjadi yang pertama membuka jurusan ini di antara perguruan tinggi lain di Indonesia.

Dari penggalian informasi, Nara menyimpulkan, banyak mata kuliah agak mirip dengan jurusan mekatronika yang diinginkan. Tanpa pikir panjang, dia menetapkan tekad, mendaftar di jurusan tersebut. Untung diraih, dia diterima di PTN bergengsi itu.

Setelah memasuki kuliah, Nara mengaku sempat kesulitan belajar. “Mungkin ini jurusan baru jadi sempat ada beberapa perubahan mata kuliah, tapi kalau sekarang saya sudah enjoy kok,” sebut dia.

Namun, seiring waktu, dia makin yakin. Lulusan dari jurusan yang diambilnya ini, akan memiliki peluang di dunia kerja.

Inovasi Prodi

Adanya program pendidikan (prodi) yang selaras dengan kemajuan zaman dan kebutuhan industri, bukan hanya diimpikan para siswa. Harapan agar perguruan tinggi berani membuka prodi yang inovatif disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2017 program studi yang inovatif.

Presiden ingin, perguruan tinggi menciptakan lulusan yang memiliki daya saing dan pengetahuan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja di Indonesia. Jokowi juga mendorong, agar perguruan tinggi bekerja sama dengan para praktisi dan pelaku industri.

Jokowi mengingatkan, pada masa depan akan banyak profesi baru. Profesi tersebut membutuhkan penggabungan berbagai disiplin ilmu.

Merespons itu, sejumlah perguruan tinggi mulai membuka prodi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja di Indonesia. Misalnya, di Universitas Negeri Jakarta dibuka jurusan Bisnis Digital, Unair menggarap jurusan Robotika, NanoTeknologi, dan Kecerdasan Buatan, serta ITS melansir jurusan game.

Direktur Pendidikan Universitas Airlangga (Unair), Sukardiman, menyebutkan pembukaan sejumlah jurusan baru di Unair dilakukan untuk menindaklanjuti kebijakan pemerintah. Yakni, agar mampu mencetak lulusan yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan pasar.

Saat ini Unair telah membuka sejumlah prodi baru seperti nanoteknologi, data science, robotika dan kecerdasan buatan. Universitas yang didirikan pada 10 November itu, ingin menguatkan positioning sebagai penggemblengan siswa dengan skill mumpuni dan up to date sesuai dengan perkembangan teknologi.

“Sejak awal di buka jurusan ini sudah menarik banyak sekali perhatian calon mahasiswa, khususnya bagi mereka yang memang tertarik untuk berkarier di bidang informasi teknologi. Apalagi jurusan ini paling banyak di butuhkan oleh industri saat ini,” papar Sukardiman pada Validnews, Rabu (2/3).

Dia juga yakin, meski baru dibuka pada 2020, lulusan dari jurusan baru itu akan mudah diserap oleh industri. Universitas ini juga bermitra dengan beberapa perusahaan yang potensial untuk menyerap lulusannya.

Menurut Sukardiman, inovasi terkait prodi sebetulnya bisa dilakukan secara simultan. Opsi membuka prodi baru atau meredesain ulang prodi yang sudah ada, bisa dilakukan.

Dia mengingatkan syarat mutlak untuk keputusan membuka sejumlah jurusan baru. Yakni, dilakukan guna melengkapi sejumlah rumpun keilmuan yang sudah ada sebelumnya.

Karenanya, saat akan membuka prodi baru, sejumlah tahapan dilewati lebih dahulu. Melakukan kajian prospek pasar serapan lulusan dari jurusan baru, serta potensi penyerapan mahasiswa, adalah diantaranya.

Jika kajian menyimpulkan mendukung ada prodi baru, Unair tak ragu untuk membuka jurusan baru. Akan tetapi jika sebaliknya, inovasi dilakukan dengan menambah mata kuliah ke salah satu prodi yang berkaitan.

“Misalnya ada teknologi blockchain dan metaverse, kalau untuk membuka jurusan baru rasanya tidak memungkinkan, maka akan kita tambahkan ke kurikulum prodi berkaitan misalnya di jurusan IT,” kata dia.

Dia mengungkapkan, sejauh ini telah melakukan 64 redesan kurikulum pada sejumlah prodi yang ada di Unair.

Kuliah ‘Game’
Seperti Unair, Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu perguruan tinggi negeri ini juga punya jurusan unik. Bahkan, diskusi pembukaan prodi baru di bidang teknologi di ITB sudah dibahas 15 tahun lalu.

Namun, ITB tak gegabah untuk langsung buka jurusan baru. Hal yang dilakukan adalah mengamati perkembangan teknologi, di antaranya IoT (Internet of Things), AI, sampai dengan human content interaction.

“Salah satu yang menarik adalah interactive digital media application, berupa game,” kata dosen ITB, Ary Setijadi Prihatmanto, yang juga ketua Prodi Game, pada Validnews, Rabu (2/3).

Ary melanjutkan, setelah melalui tahap pengkajian, jurusan Teknologi Media Digital dan Game di ITB dibuka pada 2019.

Sekaligus ini menjadi proyek yang dipimpin Kemendikbudristek. Saat itu, selain ITB, saudaranya yakni ITS sama-sama memiliki prodi Game.

Ary menyebutkan, di perguruan tinggi yang diresmikan 2 Maret 1959 itu, prodi Game khusus untuk jenjang S2. Karena, pada jenjang S1 pihaknya memfokuskan mahasiswa pada pemograman dan pembuatan aplikasi.

Selain itu, ia juga melihat sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) juga mulai membuka jurusan Game, sehingga pihaknya lebih memilih untuk memfokuskan pada S2.

“Jangan sampai kebanyakan kampus yang membuka di level S1, dengan begini kan lebih fokus kalau di ITB dan bisa melahirkan lebih banyak inovasi,” urai Ary.

Menurut dia, sejak awal masuk ke prodi ini, mahasiswa akan diminta untuk membangun interactive media application dengan membuat game ataupun simulator. Mereka tidak hanya belajar untuk membuat game saja, tetapi juga interactive media, animasi, augmented reality, dan virtual reality.

“Karena interactive media application menjadi kebutuhan di semua industri, pasar untuk lulusan ini begitu besar,” kata Ary.

Sedangkan, untuk mahasiswa S1, meski belum belajar secara spesifik tentang game, ITB tetap mendorong mahasiswa berani membuat aplikasi permainan.

ITB mendirikan UKM Ganehsa Interactive Media (GIM), yang bisa dimanfaatkan para mahasiswa untuk membuat dan mengikuti sejumlah perlombaan gim skala nasional dan internasional.

ITB juga membuka peluang mahasiswa S1 mengikuti program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) untuk membuat gim. Kampus ini bekerja sama dengan sejumlah institusi untuk microcredential technology game.

Mereka yang memilih MBKM, akan belajar tentang membangun game dengan bobot 20 SKS. Jadi, teori, dan nilai akademis mereka dapatkan. Program MBKM ini bisa diikuti seluruh mahasiswa dari jurusan apa saja.

Misalnya, mahasiswa jurusan kesehatan, akan bisa memanfaatkan ilmu kesehatan dan pengetahuannya soal interactive media untuk membuat sebuah aplikasi kesehatan yang akan bermanfaat bagi masyarakat.

Adaptasi

Ary menilai, inovasi itu tak dipandang sempit dengan sekadar membuat prodi baru. Proses pembelajaran perguruan tinggi penting untuk beradaptasi. Sebaliknya, mahasiswa juga harus digerakkan untuk tidak hanya sekadar belajar apa yang ada pada prodinya saja. Mesti mengasah skill yang dimiliki agar bisa mendukung kariernya pada masa depan.

Dia mengakui, membuka jurusan baru, bukan hal mudah bagi perguruan tinggi negeri. Proses kajian yang tak sebentar dan memadupadankan kebutuhan industri dan minat calon mahasiswa juga tak gampang.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Nizam, sependapat dengan Ary. Yakni, inovasi sejumlah prodi penting bagi perguruan tinggi. Meski tak melulu dengan membuka prodi baru, redesain kurikulum dengan menyesuaikan perkembangan yang ada jangan dilewatkan.

Dia meyakini, membuka prodi baru dan menciptakan lulusan dengan skill tertentu memerlukan waktu lama. Harus melakukan riset pasar lebih dulu dengan menyesuaikan minat masyarakat dan kebutuhan industri.

“Perubahan di dunia kerja begitu cepat dan dinamis, tak secepat membuka prodi baru,” kata Nizam kepada Validnews, Selasa (1/3).

Dinamisnya bidang kerja ini diungkapkan pula oleh Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan, dan UMKM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mohammad Rudy Salahuddin pada kesempatan berbeda.

Dengan kemampuan SDM yang minim pada aspek digital rendah dan angkatan kerja masih didominasi oleh low skill worker, berpotensi terimbasnya 23 juta pekerja di Indonesia kehilangan pekerjaan oleh otomatisasi.

Nizam mengamini, ini. Pemerintah mendorong perguruan tinggi berinovasi pada prodi yang sudah ada. Bila memang harus membuka prodi baru, kebutuhan masyarakat dan pembangunan bangsa saat ini dan pada masa mendatang harus menjadi pertimbangan.

“Baik prodi bidang sosial humaniora maupun bidang sains, teknologi, engineering, mathematics (STEM),” kata Nizam.

Tak Gelap Mata

Tidak hanya itu saja. Kemendikbudristek mendorong perguruan tinggi melakukan inovasi pembelajaran melalui kolaborasi dengan industri. Melalui pendekatan project based learning, mahasiswa tidak hanya belajar tentang suatu kompetensi. Mereka bisa menerapkan kompetensi dengan proyek nyata di dunia kerja.

Terkait upaya akselerasi pemenuhan kompetensi dunia kerja yang cepat berubah, pemerintah mengembangkan program microcredentials. Yakni, sebagai bagian dari program MBKM (merdeka belajar-kampus merdeka).

Melalui program ini, mahasiswa yang saat ini sudah duduk di satu prodi, bisa mendapatkan kompetensi spesifik yang ingin dia kuasai di luar prodinya. Mahasiswa bisa mendapatkan sampai 40 SKS di luar perguruan tingginya melalui program kampus merdeka.

“Program microcredentials ini dirancang dan diselenggarakan bekerja sama dengan perusahaan teknologi global serta industri di dalam negeri. Jadi di samping membuka prodi kekinian, kita juga mengakselerasi pengembangan talenta masa depan melalui skema kampus merdeka,” urainya.

Nizam menyebutkan, saat ini kebutuhan SDM sangat luas cakupannya, tidak sebatas bidang teknologi. Ekonomi ke depan akan semakin dinamis, sehingga akan banyak pekerjaan-pekerjaan baru yang lahir.

Dia mengamini, lulusan perguruan tinggi harus bisa lebih adaptif, kreatif, inovatif.

Pengamat pendidikan, Indra Charismiadji menyebutkan, inovasi prodi memang menjadi kewajiban bagi perguruan tinggi. Terutama, yang berkaitan erat dengan teknologi.

Tetapi, pembukaan prodi atau inovasi prodi harus memperhatikan akan kebutuhan dari masyarakat dan industri. Dia mengusulkan perlunya peta tata kelola program SDM unggul masa depan. Peta ini menunjukkan kompetensi apa saja yang dibutuhkan dan berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan.

Selayaknya, pemerintah dan perguruan tinggi bersama membuat blueprint pendidikan tinggi di Indonesia. Agar perguruan tinggi mampu menyiapkan lulusan yang siap kerja dan mampu memenuhi kebutuhan industri di Indonesia.

“Jadi, dalam tata kelola porgam SDM unggul itu harus berbarengan antara demand dan supply-nya, sehingga bisa di petakan di tahun 2045 nanti kita butuhnya talenta dengan skill seperti apa?” kata Indra.

Indra melihat salah satu masalah yang dihadapi Indonesia adalah kurangnya talenta digital untuk mendukung proses transformasi digital di Indonesia. Anehnya, meski banyak perguruan tinggi dengan jurusan yang terkait dengan TIK, Indonesia justru kekurangan talenta digital.

Salah satu yang diamatinya, adalah talenta di bidang geothermal dan geologi maritim yang penting untuk mengeksplor potensi geologi di Indonesia.

Sayangnya, hingga kini tidak ada perguruan tinggi di Indonesia yang fokus pada bidang ini. Banyak mahasiswa yang tertarik dengan bidang ini akhirnya belajar di luar negeri.

Yang juga tak kalah penting, adalah tidak mendasari pembukaan prodi baru berdasar keinginan gelap mata, karena memenuhi kebutuhan industri saja. Ada hal pelik lain yang perlu dipertimbangkan.

“Harus kita pikirkan, anak-anak Indonesia ini mau kita didik seperti apa? Jangan sampai mereka punya gelar tapi tidak memiliki skill yang dibutuhkan oleh Indonesia,” sebut Indra.

Sumber: https://validnews.id/nasional/adu-cepat-mengantisipasi-kebutuhan-industri

Posting Komentar

0 Komentar