Etika menjadi salah satu bagian terpenting dalam teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Hal itu diungkapkan oleh President Director Microsoft Indonesia Haris Izmee.
"Selain itu, di tingkat sosial, karena AI terus meningkatkan proses pengambilan keputusan kita, bagaimana kita dapat memastikan bahwa AI dapat memperlakukan semua orang dengan adil? Dan bagaimana kita dapat memastikan setiap orang dan organisasi untuk tetap bertanggung jawab atas sistem yang digerakkan oleh AI, yang tidak hanya menjadi lebih luas, tetapi juga lebih cerdas dan kuat?" ujar Haris dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (23/4).
"Ini adalah beberapa pertanyaan kunci yang harus direnungkan, dianalisis, dan diuraikan oleh setiap individu, pelaku bisnis, dan pemerintah, melihat perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang semakin cepat."
Untuk memaksimalkan potensi teknologi AI, semua pihak, kata dia, harus membangun landasan kepercayaan yang kuat. Pengguna tidak akan menggunakan solusi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI-enabled solution) jika mereka tidak percaya bahwa solusi-solusi tersebut memenuhi standar tertinggi untuk keamanan, privasi, dan keselamatan.
"Untuk merealisasikan manfaat penuh AI, semua pihak perlu bekerja sama untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dan menciptakan sistem yang dapat dipercaya oleh masyarakat," kata dia.
Ada enam prinsip yang menjadi jantung pengembangan dan penyebaran solusi yang didukung oleh AI. Pertama, privasi dan keamanan. Seperti teknologi awan lainnya, sistem AI harus mematuhi undang-undang privasi yang mengatur tentang pengumpulan, penggunaan, dan penyimpanan data, dan memastikan bahwa informasi pribadi yang digunakan sesuai dengan standar privasi dan dilindungi dari penyalahgunaan atau pencurian.
"Kedua, transparansi. Karena AI semakin memengaruhi kehidupan setiap orang, kita harus memberikan informasi kontekstual tentang bagaimana sistem AI beroperasi sehingga masyarakat dapat memahami bagaimana keputusan dibuat dan lebih mudah dalam mengidentifikasi potensi bias, kesalahan, dan hasil yang tidak diinginkan," tutur dia.
Ketiga, keadilan. Ketika sistem AI membuat keputusan tentang perawatan medis atau pekerjaan, misalnya, mereka harus membuat rekomendasi yang sama untuk semua orang dengan gejala atau kualifikasi serupa.
Kemudian, keandalan. Sistem AI harus dirancang untuk dapat beroperasi dalam parameter yang jelas dan menjalani pengujian yang ketat untuk memastikan bahwa mereka merespons dengan aman dalam situasi yang tidak terduga dan tidak berevolusi dengan cara yang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Masyarakat harus memainkan peran penting dalam membuat keputusan tentang bagaimana dan kapan sistem AI harus dikerahkan. "Kelima, inklusivitas. Solusi AI harus dapat mengatasi berbagai kebutuhan dan pengalaman manusia melalui praktik desain yang inklusif dalam mengantisipasi hambatan potensial dalam produk atau lingkungan yang dapat secara tidak sengaja mengucilkan seseorang," ujarnya.
Keenam, akuntabilitas. Orang yang mendesain dan memasang sistem AI harus bertanggung jawab bagaimana sistem mereka beroperasi.
"Untuk mengubah Indonesia menjadi negara yang kompetitif, diperlukan pengembangan dan integrasi konektivitas, teknologi, informasi dan komunikasi, dan semua yang harus didasarkan pada kepercayaan dan panduan etika," ucap dia.
AI juga merupakan salah satu bagian terpenting dalam agenda nasional "Making Indonesia 4.0", yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada pekan lalu.
Revolusi Industri 4.0 diharapkan dapat menghasilkan transformasi yang pesat dan menyeluruh. Dengan demikian, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, harus bersiap untuk itu.
Sumber: https://www.republika.co.id/berita/p7mu96284/etika-disebut-bagian-terpenting-dalam-kecerdasan-buatan
0 Komentar