Ini bertujuan untuk mengkonsolidasikan dan merampingkan berbagai aplikasi layanan publik menuju Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) atau sistem pemerintahan elektronik (egovernment).
Inisiatif ini merupakan bagian dari kerangka hukum untuk layanan egovernment—Peraturan Pemerintah No. 95/2018 (PP 95).
Sayangnya, adopsi komputasi awan di Indonesia, khususnya di sektor publik, masih terbatas dan jauh tertinggal dari negara-negara lain. Menurut peringkat E-Government Development Index (EGDI) E-government negara ini masih dalam tahap awal adopsi.
Survei E-Government 2020 Perserikatan Bangsa-Bangsa 2020 menunjukkan bahwa EGDI Indonesia berada di peringkat 88, dari 193 negara. Fakta ini mengindikasikan bahwa digitalisasi pelayanan publik di Indonesia perlu lebih ditingkatkan.
Studi ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang adopsi cloud computing di sektor publik Indonesia, membahas beberapa keuntungan penting, dan tantangan yang dihadapi oleh sektor publik, mengukur dampak ekonomi dari teknologi cloud, dan merumuskan rekomendasi kebijakan.
Penelitian ini diharapkan memperlihatkan bagaimana Indonesia dapat membuka potensi penuh dari komputasi awan, khususnya dalam meningkatkan pelayanan publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan metode campuran (mixed-method) yang meliputi pendekatan kuantitatif dan kualitatif.
Studi ini melakukan survei, kelompok diskusi terfokus (focus group discussion), dan wawancara dengan personel IT dan pengambil keputusan di sektor publik, termasuk instansi pemerintah daerah dan pusat, perguruan tinggi dan rumah sakit yang berlokasi di 5 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Gorontalo.
Hanya 30 persen, dari 169 lembaga publik yang disurvei, menunjukkan bahwa mereka telah menggunakan layanan cloud, dengan yang terendah ada di sektor kesehatan atau rumah sakit (8,8 persen) dan pemerintah daerah (25 persen).
Namun, prospek adopsi cloud di sektor publik Indonesia cukup cerah, karena ada hampir 40 persen organisasi publik yang berencana untuk menggunakannya di masa depan.
Lembaga publik mengadopsi teknologi cloud hanya sebagai tambahan atau perpanjangan dari server lokal dan colocation, yaitu, hanya ketika mereka menganggap kapasitas yang ada tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan tidak melibatkan data sensitif.
Sebagian besar organisasi sektor publik yang menggunakan cloud telah menggunakan server lokal (63 persen) atau colocation (23 persen) sebelumnya.
Lembaga publik yang menggunakan cloud telah memperoleh berbagai manfaat seperti pengurangan biaya, peningkatan efisiensi dan produktivitas, kelincahan dan skalabilitas, serta ketahanan.
Lebih dari 27 persen dan hampir 10 persen, lembaga publik yang menggunakan cloud menunjukkan bahwa lembaga mereka masing-masing mendapatkan penghematan biaya sekitar 0-10 persen dan 11-20 persen.
Setelah adopsi cloud, jumlah aplikasi yang dikembangkan dalam satu tahun meningkat dari hampir 4 aplikasi menjadi lebih dari 6 aplikasi dan rata-rata waktu yang dihabiskan oleh masyarakat untuk mengakses aplikasi meningkat dari sekitar 7 jam menjadi lebih dari 8 jam.
Studi ini juga memperlihatkan bagaimana rata-rata waktu henti yang tidak direncanakan (unplanned downtime) per bulan menurun dari 3,7 jam menjadi 0,5 jam dan jumlah insiden waktu kritis (critical time incidents) turun dari hampir 2 kali per bulan menjadi 0,3 kali per bulan.
Sementara itu, insiden keamanan (security incidents) per bulan juga menurun dari 1,7 jam per bulan menjadi 0,6 jam per bulan.
Akhirnya, pemanfaatan layanan cloud di lembaga publik mengurangi waktu yang diperlukan untuk mengelola server/database/aplikasi sekitar 21 persen, meskipun jumlah staf yang diperlukan untuk mengelola server/database/aplikasi meningkat sebesar 33 persen karena sebagian besar institusi ini tetap menjalankan server/pusat data lokal mereka.
Adopsi cloud computing di sektor publik Indonesia juga bermanfaat bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Adopsi cloud di lembaga publik diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan PDB negara sebesar 0,03 hingga 0,37 poin persentase atau setara dengan penambahan PDB sebesar Rp35 triliun.
Cloud computing juga meningkatkan kesempatan kerja sebesar 0,02 hingga 0,08 poin persentase, atau menciptakan hingga 95 ribu lapangan kerja baru. Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan penurunan ICOR sekitar -0,1 hingga -1,23 poin persentase, yang menyiratkan peningkatan efisiensi dalam perekonomian secara keseluruhan.
Terlepas dari potensi manfaat tersebut, adopsi komputasi awan di sektor publik Indonesia menghadapi beberapa hambatan dan tantangan serius.
Faktor-faktor hambatan ini termasuk mispersepsi mengenai risiko keamanan dan masalah privasi data, ketidakpastian peraturan dan dukungan hukum, sistem pengadaan di pemerintahan, serta kurangnya keterampilan dan mendukung infrastruktur broad band.
Misalnya, mayoritas non-pengguna dan pengguna cloud (atau masing-masing lebih dari 55 persen dan hampir 65 persen) menyebutkan kekhawatiran tentang keamanan dan privasi data sebagai faktor utama yang mencegah atau membatasi mereka untuk menggunakan cloud.
Sementara, hambatan ketidakpastian tentang hukum dan peraturan yang ada ditunjukkan oleh 33 persen non-pengguna menunjukkan lebih dari 25 persen pengguna cloud dan hambatan ini juga sebagian besar terkait dengan persepsi risiko keamanan dan masalah perlindungan data.
Indonesia perlu menunjang kembali peraturan yang ada saat ini, seperti Peraturan Pemerintah No. 71/2019 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 5/2020 untuk sejalan dengan praktik terbaik di tingkat internasional untuk memudahkan pengadopsian teknologi cloud di sektor publik.
Kebijakan yang disusun perlu memberikan ekosistem yang memudahkan untuk berinovasi serta memastikan keamanan dan perpindahan data yang stabil dan baik. Menjadi penting untuk mencari titik keseimbangan dalam kerangka regulasi yang dibuat sehingga tidak berpotensi memperlambat transformasi digital dan modernisasi TIK.
“Untuk benarbenar memanfaatkan potensi cloud dalam meningkatkan layanan publik Indonesia dan sepenuhnya meningkatkan pembangunan ekonomi negara, Pemerintah Indonesia harus menciptakan lingkungan peraturan yang kondusif untuk cloud," kata Kepala Departemen Ekonomi CSIS, Fajar Hirawan.
"Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pemahaman di antara pejabat pemerintah tentang keamanan dan perlindungan data di cloud; menerapkan mekanisme akuntabilitas data dan mengembangkan kerangka klasifikasi data; dan mencegah potensi konflik antara pemerintah pusat dan daerah.”
Ia menambahkan bahwa Pemerintah Indonesia juga harus mengembangkan strategi cloud dan rencana adopsi yang baik dan bisa diterapkan.
Ini dapat diimplementasikan dengan mengidentifikasi prioritas dan menentukan ruang lingkup migrasi cloud pemerintah; dimulai dengan proyek percontohan kecil dan tidak perlu menciptakan yang baru dari awal; dan membangun fondasi cloud yang kuat dan unit koordinasi baru untuk cloud.
0 Komentar