Selamat Datang Artificial Intelligence

 .


Perangkat militer merupakan salah satu kunci kedaulatan sebuah bangsa. Dalam praktiknya, berbagai perlengkapan tersebut harus bisa jadi perangkat yang canggih dan efektif agar bisa memberikan "ancaman" bagi lawan.

Dikutip dari MIT Technology Review, pekan lalu, kini pengembangan perangkat militer pun mulai merangkul teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Sejak pertengahan 2010, beberapa analis telah mulai menangkap tren adanya persaingan global di industri militer yang memanfaatkan teknologi AI.

Tren ini pun semakin berkembang signifikan, dengan meletusnya perang antara Rusia dan Ukraina. Pada awal peperangan kedua negara itu, sebuah perusahaan analitik bernama Palantir, mencoba membuka mata sejumlah bangsa di Eropa.

CEO Palantir, Alexander Karp mengatakan, perang Rusia-Ukraina harus diantisipasi dengan melakukan pemutakhiran sejumlah perangkat perang. "Peralatan perang kini harus menerapkan teknologi," kata Karp.

Menurutnya, pemanfaatan teknologi di sektor militer sudah tak bisa lagi dihindari. “Saat ini, semua negara tengah mengevaluasi sistem militer yang dimilikinya. AI pun memainkan peranan yang krusial di masa-masa seperti sekarang,” katanya.

Karp meyakini, dalam waktu dekat, akan hadir teknologi perangkat lunak baru yang memungkinkan negara untuk secara efektif dan akurat memberikan keputusan berdasarkan informasi dari data yang bersumber secara etis.

Rekomendasi ini kemudian disambut hangat berbagai negara. Pada 30 Juni 2022, North Atlantic Treaty Organization (NATO) menggelontorkan dana sebesar satu miliar dolar Amerika Serikat (AS) untuk investasi pada usaha rintisan dan dana modal ventura bagi pengembangan teknologi prioritas. Mulai dari, AI, pemrosesan big-data. dan otomatisasi.

Kemudian, Inggris dan Jerman juga mengamini rekomendasi tersebut, dengan mengembangkan strategi pertahanan yang melibatkan AI. Secara spesifik, Jerman menyiapkan anggaran 500 juta dolar untuk penelitian dan pengembangan AI.

Tak mau kalah, AS juga mendapat dorongan dari National Security Commission on AI (NSCAI). Komisi tersebut menyebut, AS perlu melakukan terobosan agar AI bisa bisa banyak diterapkan pada perangkat perang pada 2025.

Jika hal itu tidak dilakukan, maka NSCAI memperkirakan nantinya AS akan tertinggal oleh Cina. Agar hal itu tak terjadi, maka AS dinilai perlu menyiapkan investasi sebesar delapan miliar dolar AS per tahun untuk pengembangan AI dalam militer.

Gayung bersambut, AS langsung menggubris dorongan tersebut dan menjalin kontrak dengan dua perusahaan rintisan, Anduril dan ScaleAI. Anduril mengantongi kontrak senilai satu miliar dolar AS untuk sistem pertahanan otonom seperti pesawat nirawak bawah air. Sedangkan ScaleAI mengantongi kontrak senilai 250 juta dolar untuk data labeling services for AI.

Selain itu, Prancis juga melakukan hal serupa. Dikutip dari The Defense Post, Prancis kini telah mulai membekali perangkat militernya dengan big data dan platform AI. Kedua teknologi ini, dikawinkan sebagai intelligent systems dalam platform komunikasi dan informasi yang digunakan oleh militer Prancis.

Pengembangan ini sendiri melibatkan 100 spesialis yang akan menghadirkan pemrosesan dan solusi informasi digital skala luas yang aman bagi militer Prancis. Lewat platform bernama Artemis yang mulai diterapkan tahun depan, Kementerian Angkatan Bersenjata Prancis akan memperoleh beragam informasi terkontrol dan aplikasi AI baru.

Selain itu, platform tersebut akan memungkinkan Prancis untuk bertindak secara mandiri di bidang intelijen, komando operasi dan di ruang digital.

Saat ini, beragam penerapan AI dalam perangkat peperangan masih dalam tahap eksperimen. Menurut Kenneth Payne, peneliti utama dalam studi pertahanan negara di King’s College, London Inggris, perang selalu menjadi katalis terjadi berbagai perubahan.

“Karena pemanfaatan teknologi dalam bidang militer, terbilang masih dalam uji coba, tak jarang perusahaan teknologi membuat janji-janji yang tak sesuai atau belum tentu memberikan hasil,” ujarnya.

Senada, Arthur Holland Michel yang merupakan ahli dalam pemanfaatan teknologi drone dan sistem teknologi pengawas lainnya mengungkapkan, kepemilikan data set yang masih begitu terbatas terkait perang, ditambah kompleksnya situasi di lapangan, membuat penggunaan teknologi di medan tempur begitu berisiko.

“Medan perang merupakan wilayah yang sangat menantang untuk implementasi teknologi AI. Hal ini, tak lepas dari banyaknya faktor yang tak menentu dan dapat berujung pada kefatalan yang berbahaya,” ujar Michel.

Namun, terlepas dari berbagai kekhawatiran, melalui penerapan AI, pasukan militer memang bisa dimudahkan dalam berbagai hal. Mulai dari, memproses data dari satelit sampai mengenali pola dalam data untuk membantu tentara membuat keputusan lebih cepat di medan perang.

Selain itu, pemanfaatan image recognition software juga bisa berperan untuk membantu mengidentifikasi target. Sedangkan drone otonom dapat digunakan untuk pengawasan atau serangan di darat, udara, atau air. Kemudian, bisa pula membantu tentara mengirimkan pasokan logistik dengan lebih aman daripada melalui jalur darat.

Tumpukan Kekhawatiran

Sama seperti penerapan teknologi pada umumnya, di industri militer, AI berpotensi memberikan sistem perang yang canggih. Tujuannya, tentu agar memberikan kejayaan bagi negara manapun yang menggunakannya.

Namun, ada berbagai kekhawatiran yang mengintip dalam upaya pemanfaatan teknologi dalam militer secara luas. Salah satunya, terkait etika.

Sejumlah negara pun telah menyiapkan pedoman khusus yang memastikan bahwa perangkat perang mutakhir yang mereka gunakan, tetap mempertimbangkan hak asasi manusia. Di AS, Departemen Pertahanan telah meluncurkan pedoman "kecerdasan buatan yang bertanggung jawab" untuk pengembang AI.

Selain itu, AS juga memiliki pedoman etika sendiri untuk penggunaan AI. Sementara itu, NATO membatasi strategi AI dengan menetapkan pedoman etika sukarela untuk negara-negara anggotanya.

Lewat semua pedoman ini, militer diminta untuk menggunakan AI dengan cara yang sah, bertanggung jawab, andal, dan dapat dilacak. Kemudian, ada pula kekhawatiran terkait dana besar yang selalu menjadi bagian dari pengadaan sistem pertahanan negara.

Penasehat senior dari AI Now Institutes di New York, AS, Meredith Whittaker menyampaikan, penggunaan teknologi di industri militer, lebih berpotensi memperkaya perusahaan teknologi, ketimbang memajukan sistem pertahanan. Dalam tulisannya di majalah Prospect, Whittaker menegaskan, narasi yang bersifat mendesak terkait pemanfaatan AI, saat ini memang semakin kuat.

Namun, kata dia, sejatinya, negara tetap masih memiliki kesempatan untuk secara aktif memilih apakah akan menggunakan teknologi atau tidak dalam industri militernya. Mengingat betapa besar dan kompleks, dampak yang mungkin akan muncul dalam penerapannya.

Perang Virtual

Selain menunjang pertempuran sungguhan, teknologi mutakhir juga bisa berperan dalam sesi latihan bagi para tentara militer. Penerapan teknologi kini, menjadi sangat krusial karena pelatihan militer karena merupakan salah satu kontributor biaya terbesar bagi sebuah negara.

Saat ini, berbagai pelatihan perang pun telah melibatkan simulator, augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). Semuanya dilakukan agar sesi latihan bisa berjalan dengan lebih efisien dan tetap optimal.

Beragam teknologi ini telah diterapkan selama beberapa tahun belakangan melalui pelatihan penggunaan senjata, atau latihan penerbangan.

Bahkan, AS pun mulai meningkatkan sistem pelatihan dengan melibatkan teknologi metaverse. Dikutip dari Cyber Talksimmersive virtual environments yang disajikan dengan hadirnya dunia metaverse, kini bisa memberikan pengalaman yang lebih komprehensif dalam latihan militer.

Hal ini, karena metaverse hadir melalui penggabungan teknologi AR, VR, dengan video game graphics. Militer AS mengemas penerapan teknologi mutakhir itu lewat Metaverse-adjacent virtual reality programs.

Program ini, mencakup penerapan helm berteknologi tinggi untuk para penerbang F-35. Diberi nama, Project BlueShark latihan ini bertujuan membantu angkatan laut mengemudikan kapal.

Defense Advanced Research Projects Agency (DARPA) AS menilai, penerapan metaverse dilakukan untuk memadukan dunia fisik dan virtual. Teknologi ini pun diyakini mampu  menghadirkan evaluasi yang lebih akurat dari perangkat pelatihan yang digunakan sebelumnya.


SUMBER     : https://www.republika.id/posts/30620/selamat-datang-intelijen-artifisial

Posting Komentar

0 Komentar