Smart Contract, Hukum Perjanjian 4.0 dalam Ekonomi Digital


Teknologi informasi dan komunikasi atau digitalisasi merupakan platform utama bagi umat manusia untuk menjalani New Normal yang aman dengan cara tetap produktif. Peradaban normalitas baru itu berpotensi atau bahkan telah menjelma menjadi platform digital yang berimplikasi terhadap kedaulatan virtual suatu negara dan bangsa. Situasi ini ditandai oleh begitu masifnya platform dan akselerasi aplikasi digital yang digunakan oleh individu, komunitas, korporasi, dan institusi. Pandemi COVID-19 juga telah membentuk peradaban normalitas baru dengan karakter personal, proporsional, dan virtual. Kemudahan dan kenyamanan dalam personalisasi atas aplikasi membuatnya menjadi pandemi virtual di masyarakat. Prof.
Klaus Schwab yang juga pendiri World Economic Forum (WEF) dan pakar futurikal mempercayai bahwa era Revolusi Industri 4.0 dibangun di sekitar “cyber-physical systems” dengan tanpa batasan fisikal, digital dan biologikal. Kita dihadapkan tantangan etika baru dan perlunya penyesuaian norma dan legislasi hukum perjanjian terhadap Adaptasi Kebiasaan Baru.
Pembentukan dari Hukum Perjanjian 4.0 di Indonesia sejalan dengan transformasi menuju Masyarakat 5.0 (Society 5.0). Masyarakat 5.0 adalah suatu terminologi faktual dan futurikal yang yang dipahami sebagai suatu konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based) sehingga kecerdasan buatan (Artificial Intelligence-A.I.) akan mentransformasi Big Data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan (the Internet of Things-IoT) termasuk pula melalui pemanfaatan Blockchain (cryptonomic), Learning Machine, dan Robotic sehingga menjadi suatu kearifan baru, yang akan didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan manusia membuka peluang-peluang bagi kemanusiaan. Transformasi menuju Masyarakat 5.0 akan membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

Hukum Perjanjian 4.0
Filsuf teoritikus Marcus Tullius Cicero memberikan maxim hukum Romawi yang tetap relevan pada perkembangan teknologi informasi yaitu “ubi societas ibi jus” bahwa masyarakat membentuk hukumnya. Sehingga masyarakat yang berinteraksi dinamis secara teknologis di ekosistem perjanjian atau kontrak membentuk rezim hukum yang sui generis yaitu Hukum Perjanjian (The Law of Contract, Lex Contractus, Contract Law), termasuk konseptual legal terhadap eksistensi dari pemanfaatan teknologi dan informasi digital dalam perjanjian atau kontrak. Perlu dipahami bahwa instrumen yang dapat mengantisipasi permasalahan yang muncul akibat pemanfaatan teknologi adalah sistem hukum (the legal system), bukan teknologinya itu sendiri. Gregory N. Mandel memberikan ketegasan hal dimaksud sebelum membahas uraian pemikirannya dalam History Lessons for a General Theory of Law and Technology yaitu

Hukum Ekonomi Digital dan Hukum Perjanjian 4.0 merupakan instrumen (as tools of social engineering) untuk mencapai tujuan masyarakat ekonomi digital di Indonesia yang bersumber kepada Pancasila dan berdasar Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hukum Ekonomi Digital (The Digital Economy Law) dan Hukum Perjanjian 4.0 (The E-Contract Law) serta Hukum Perdagangan dalam Sistem Elektronik (The E-Commerce Law) adalah platform legal untuk mengantisipasi pemulihan dan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan infrastruktur digital, model-model bisnis disrupsi, dan inovasi teknologi informasi yang masif di Indonesia.
Hukum Perjanjian 4.0 memerlukan dasar teoritikal untuk memastikan dicapainya stabilitas (stability), dapat memprediksi (predictability), dan keadilan (fairness) dalam suatu keseluruhan sistem hukum, ekonomi, dan teknologi terhadap peradaban manusia Adaptasi Kebiasaan Baru. Hukum Perjanjian 4.0 dalam pendekatan Teori Hukum Pembangunan memiliki artikulasi sebagai Hukum Perjanjian yang meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta proses-proses yang mewujudkan Hukum Perjanjian ke dalam kenyataan kehidupan masyarakat Revolusi Industri 4.0 sebagai peradaban digital global.
Hukum Perjanjian 4.0 merupakan wujud nyata dari Teori Hukum Konvergensi sebagai pemahaman konseptual dan teoretikal Penulis dari penyatuan (convergence) variabel-variabel teknologi, ekonomi, dan hukum terhadap hubungan manusia dan masyarakat di Abad Informasi Digital, baik dalam tataran nasional, regional maupun tataran internasional. Hukum Perjanjian 4.0 sebagai Hukum Perjanjian yang meliputi asas-asas dan kaidah serta meliputi lembaga serta proses-proses yang mewujudkan Hukum Perjanjian ke dalam kenyataan kehidupan masyarakat Revolusi Industri 4.0 sebagai peradaban digital global secara teoritikal adalah sebagai berikut:
1. Hukum Perjanjian 4.0 berlaku universal dan abadi yang direfleksikan dengan asas dan prinsip sesuai dengan konseptual “asas” yang bersumberkan pemikiran dari Mazhab Hukum Alam dengan tokoh-tokohnya yaitu Thomas Aquinas, Dante, dan Hugo Grotius;
2. Hukum Perjanjian 4.0 adalah perintah (command), kewajiban, dan sanksi sebagaimana dimuat dalam norma peraturan perundang-undangan oleh yang memiliki kekuasaan (negara) sesuai dengan konseptual “kaidah” yang bersumberkan pemikiran dari Mazhab Positivisme Hukum dan Legisme dengan tokoh-tokohnya yaitu Jellinek, Hans Kelsen, dan John Austin;
3. Hukum Perjanjian 4.0 adalah jiwa bangsa (volkgeist) yang berbeda-beda menurut waktu dan tempatnya, serta bersumber pada pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (historikal, aktual, futurikal) tercermin melalui perilaku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks, dimana kesadaran hukum rakyat itu diartikulasikan para ahli hukumnya (doktrin) sebagaimana konseptual “lembaga” yang bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sejarah dengan tokoh-tokohnya yaitu Carl von Savigny dan Puchta; dan
4. Hukum Perjanjian 4.0 adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagaimana konseptual “proses” bersumberkan pemikiran dari Mazhab Sociological Jurisprudence dengan tokoh-tokohnya yaitu Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo selain juga bersumberkan pemikiran dari Mazhab Pragmatic Legal Realism dengan tokoh-tokohnya Oliver Wendell Homes, Karl Llewellyn dan juga Roscoe Pound, bahwa hukum itu merupakan “a tool of social enginnering” dan memahami pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum.
Hukum Perjanjian 4.0 sebagai adalah konseptual Sui Generis Lex Contractus dengan yurisdiksi virtual, Sui Generis berasal dari terminologi latin yaitu “of its own kind or class; unique or peculiar. The term used in intellectual property law to describe a regime designed to protect rights that fall outside traditional patent, trademark, copyright, and trade secret doctrines. For example, a database may not protected by copyright law if its content is not original, but it could protected by a sui generis statute designed for that purposes”. Hukum Perjanjian 4.0 didasarkan kepada pemahaman dari subjek Hukum Perjanjian yang melakukan perbuatan hukum perjanjian dan memiliki akibat hukum perjanjian yang terkoneksi, berinteraksi, dan bertransaksi data digital di ruang siber/maya (cyberspace).
Lex Digitalis Contractus
Kekuatan ekonomi baru telah menjadikan para ahli hukum untuk membuat satu pergeseran dalam perspektif analisis mereka ke arah perspektif normatif dari rasionalitas baru, dimana terjadi re-karakteristik fakta yang menurut hukum relevan sebagai permasalahan normatif terhadap kerangka biaya dan manfaat dalam konteks sempit dari teori ekonomi mikro. Pergeseran dalam perspektif analisis telah memungkinkan ahli teori hukum untuk melakukan restrukturisasi kategori hukum dalam cara yang fundamental. Para ahli hukum memanfaatkan pemahaman yang mendalam dari ahli hukum-ekonomi yang berpendapat bahwa subjek yang nampaknya tidak bertalian, seperti dalam kontrak, hukum benda, keperdataan, dan hukum pidana dapat diteliti dari suatu perspektif yang lebih universal. Para ahli hukum dapat mengakui bahwa perkara penipuan surat-surat berharga tidaklah kemudian menjadi sama tingkatannya dengan perkara gangguan yang disebabkan oleh polusi udara.
Perkembangan teknologi informasi yang berbasis digital dan menjadikan pemahaman teoritikal dan pratikal Prof. C.F.G Sunaryati Hartono tentang Hukum Ekonomi Indonesia sangat relevan. Hukum Ekonomi Indonesia dalam Revolusi Industri 4.0 adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan putusan-putusan hukum yang secara khusus mengatur kegiatan dan kehidupan ekonomi digital di Indonesia yaitu Hukum Ekonomi Digital. Hukum Ekonomi Digital untuk mencapai tujuan masyarakat ekonomi digital di Indonesia yang bersumber kepada Pancasila dan berdasar Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hukum Ekonomi Digital (Digital Economy Law) dan Hukum Perdagangan dalam Sistem Elektronik (E-Commerce Law) adalah platform legal untuk mengantisipasi pemulihan dan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan pemanfaatan infrastruktur digital, model-model bisnis disrupsi, dan inovasi teknologi informasi yang masif di Indonesia.
Hukum Perjanjian 4.0 sebagai Lex Digitalis Contractus merupakan revolusi dari sistem Hukum Perjanjian. Suatu kebiasaan dan praktik terus menerus yang berevolusi menjadi lembaga hukum dikenal dalam Sejarah Hukum dengan "Lex Mercatoria" atau Hukum Para Pedagang. Lex Mercatoria secara independen melembagakan kedaulatan yurisdiksional dan memberikan keyakinan bagi para pelaku komersial tentang keadilan hakiki dalam hubungan transaksional mereka. Teori Hukum Perjanjian mengartikulasikan Lex Contractus sebagai hukum yang mengatur perjanjian yang disepakati oleh para pihak dalam wilayah suatu negara terkait yuridiksi teritorial.
Hal dimaksud memiliki identifikasi yang serupa dengan pembentukan norma Hukum Perjanjian 4.0 dalam evolusi teknologikal yang dijelaskan dalam evolusi konseptual sui generis, yaitu

Hukum Perjanjian 4.0 dalam menerapkan yurisdiksi virtual tetap mendasarkan kepada prinsip-prinsip utama perjanjian yang relevan sebagai fundamental kaidah atau norma legislasi perjanjian sebagai Lex Digitalis Contractus. Hukum Perjanjian 4.0 secara konseptual dibentuk prinsip atau asas yang berlaku universal dan abadi bersumberkan pemikiran dari Mazhab Hukum Alam dengan tokoh-tokohnya yaitu Thomas Aquinas, Dante, dan Hugo Grotius.
Prinsip Itikad Baik (Good Faith) sebagai asas mendasar dari para pihak atau subjek hukum perjanjian sangat ensensial dalam Lex Contractus sehingga hampir seluruh legislasi dan ketentuan internasional memuatnya sebagai norma dan kaidah yang mengikat para pihak. Pasal 1338 ayat (3) KUPerdata Indonesia mengatur bahwa a contract must be perform in good faith. KUH Perdata Belanda memperluas cakupan itikad baik ini dengan mengaturnya di Pasal 6:2 KUH Perdata Ayat (1) dari pasal tersebut menyatakan bahwa a creditor and debtor must, as between themselves, act in accordance with the requirements of reasonableness and equity. Perbedaan utama antara dua ketentuan tersebut adalah tentang ruang lingkup kewajiban beritikad baik. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata Indonesia tidak menjelaskan apakah kewajiban beritikad baik juga mencakup kewajiban-kewajiban yang tidak ditimbulkan dari kontrak. Pasal 6:2 KUH Perdata Belanda menjawab keraguan tersebut. Kewajiban beritikad baik tidak saja wajib bagi para pihak sebagai akibat dari hubungan kontrak, tetapi juga hubungan yang ditimbulkan dari sumber lain. Kata-kata “as debtor and creditor: menunjukkan bahwa ketentuan tersebut berlaku hanya untuk kewajiban dan hak tambahan (ancillary) sebagai akibat dari tuntutan reasonableness and equity, yang kemudian menentukan posisi hukum dari para pihak terhadap kewajiban tersebut. Kewajiban berdasarkan reasonableness and equity timbul tidak saja bagi debitur tetapi juga bagi kreditur. KUH Perdata Belanda juga memperbaiki KUH Perdata Indonesia dalam hal berlakunya ketentuan di luar kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas berlakunya ketentuan lain selain yang diperjanjikan oleh para pihak ini diatur dalam Pasal 1339 KUH Perdata Indonesia yang pada prinsipnya menyatakan bahwa “the parties are bound not only by what is specifically provided in the contract, but also by that which, according to the nature of the contract, is required by reasonableness, custom and statute. " KUH Perdata Belanda memberikan tambahan bahwa kontrak, selain tunduk oleh ketentuan yang dibuat oleh para pihak, juga tunduk kepada itikad baik (reasonableness and equity), tidak saja tunduk kepada kepatutan saja (reasonableness). Lihat Pasal 6:248 ayat (2) KUH Perdata Belanda yang menyatakan bahwa “A rule binding upon the parties as a result of the contract does not apply to the extent that, in the given circumstances, this would be unacceptable acoording to the criteria of reasonableness and equity."
Selain itu, KUH Perdata Belanda juga memastikan bahwa asas reasonableness dan equity menduduki kedudukan tertinggi di atas ketentuan-ketentuan, atau perbuatan hukum, baik yang dibuat oleh para pihak, hukum, dan kebiasaan (usage). Hal ini tercermin dari isi Pasal 6:2 ayat (2) KUH Perdata Belanda yang menyatakan bahwa: a rule binding upon them by virtue of law, usage or a juridical act does not appy to the extent that, in the given circumstances, this would be unacceptable according to criteria of reasonableness and equity.
Prinsip Otonomi Para Pihak (Parties Autonomy) yang dikenal juga dengan asas “the law of the parties” yang diartikulasikan sebagai “hukum” atau Lex Contractus karena kesepakatan yang disepakati oleh para pihak adalah hukum (norma, kaidah, undang-undang) bagi para pihak. Forum penyelesaian sengketa arbitrase mengilustrasikan secara faktual legal tentang Lex Contractus. Brazolo menegaskan “the law of the parties” sebagai eksistensi yang absolut dari para subyek hukum arbitrase yaitu:
arbitration is archetypical realm of party autonomy. Not only is it creation of party autonomy in the sense that arbitration can only exist if it is willed by the parties, it is also increasingly governed by rules which the parties are free to fashion as they chose.”
Prinsip Pacta Sunt Servanda sebagai asas yang oleh para ahli dari sistem hukum Common Law diartikulasikan sebagai kesakralan suatu perjanjian (sanctity of the contract). Kewenangan atau yurisdiksi arbitrase bersumber utama karena eksistensi perjanjian atau klausul arbitrase yang disepakati oleh para pihak. Konstruksi hukum dari ‘perjanjian” merupakan instrumen dari berlakunya Hukum Arbitrase (Prinsip Instrumental) sebagaimana yang ditegaskan oleh Thomas E. Carbonneau bahwa “…arbitration law relies heavily upon contract principles to establish its content. In fact, freedom of contract (pacta sunt servanda)…is instrumental to the law of arbitration…”.

Electronic Contract, Digital Contract, Smart Contract
Terminologi perjanjian elektronik atau kontrak elektronik (electronic contract/e-contract) memiliki beragam pengertian dengan variabel teknis, bisnis, dan yuridis. UU ITE sebagai lex digitalis di Indonesia memberikan artikulasi legislasi untuk kontrak elektronik sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 Angka 17 yaitu Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik. Sistem Elektronik diberikan pula pengertian tekno-yuridis sebagai serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Kontrak Elektronik atau e-contract dikategorikan oleh UU ITE sebagai Transaksi Elektronik, konstruksi legislasi dari Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Kontrak Elektronik sebagai Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
1. Asas Kepastian Hukum bahwa landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan;
2. Asas Manfaat bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
3. Asas Kehati-hatian bahwa landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
4. Asas Iktikad Baik bahwa asas yang digunakan para pihak dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut; dan
5. Asas Kebebasan Memilih Teknologi atau Asas Teknologi Netral bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.
Kontrak Elektronik atau e-contract sebagai konstruksi yuridis dari pemanfaatan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Pengertian “Digital Contract” secara legislasi ditemui dalam jurisdiksi Uni Eropa (European Union) sebagai kontrak terkait transaksi jual beli barang digital, konten digital, dan layanan digital dari negara-negara Uni Eropa dalam membentuk pasar tunggal digital. Komisi Eropa pada tahun 2015 mengusulkan acuan atau pengarahan (directive) tentang kontrak untuk penyediaan konten digital dan layanan digital (misalnya streaming musik atau akun media sosial) dan kontrak penjualan barang (misalnya membeli kamera atau jam cerdas). Parlemen Eropa dan Dewan mengadopsi directive ini pada tanggal 20 Mei 2019. Negara-negara Anggota Uni Eropa memiliki tenggat waktu hingga tanggal 1 Juli 2021 untuk mengadopsi dalam hukum nasional mereka. Pengarahan atau acuan (directive) dimaksud menyelaraskan legislasi dari hukum kontrak di seluruh UE. Hal ini akan memastikan tingkat pelindungan konsumen yang tinggi dan meningkatkan kepastian hukum baik bagi konsumen maupun pedagang dalam jutaan transaksi sehari-hari terkait barang digital, barang cerdas (smart goods), konten digital, dan layanan digital. Pada tanggal 1 Januari 2022, mulai diterapkan Directive (EU) 2019/770 tentang Aspek-aspek tertentu terkait kontrak untuk penyediaan konten digital dan layanan digital dan Directive (EU) 2019/771 tentang aspek-aspek tertentu terkait kontrak penjualan barang.
Blockchain adalah jenis atau subset tertentu yang dikenal dengan teknologi pencatatan transaksi di buku besar secara terdistribusi (distributed ledger technology-DLT). Teknologi Blockchain sebagi DLT adalah cara merekam dan berbagi data di beberapa penyimpanan data (juga dikenal sebagai “buku besar”), yang masing-masing memiliki catatan data yang sama persis dan secara kolektif dipelihara dan dikendalikan oleh jaringan peladen (server) komputer terdistribusi, yang disebut simpul jaringan (node).
Blockchain adalah mekanisme yang menggunakan metode enkripsi yang dikenal sebagai kriptografi (cryptography) dan menggunakan (satu set) algoritma matematika yang spesifik untuk membuat dan memverifikasi struktur data yang terus berkembang serta data ekisting tidak dapat dihapus dikarenakan adanya bentuk rantai “blok transaksi” yang berfungsi sebagai buku besar (ledger) terdistribusi. Teknologi Blockchain berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai platform dalam beberapa aplikasi dengan variabel yang relevan yaitu Mata Uang Digital (Digital Currency); Penyimpanan Data (Record Keeping); Penjaminan-Sekuritas (Securities); dan Kontrak Cerdas (Smart Contract).

Teknologi Blockchain memiliki keeratan dengan Cybersecurity termasuk pelindungan data digital yang menjadi arsitektur utama dalam ekonomi digital. Filsuf teoritikus Cicero memberikan maxim hukum Romawi yang tetap relevan pada perkembangan teknologi informasi yaitu “ubi societas ibi jus” bahwa masyarakat membentuk hukumnya. Sehingga masyarakat yang berinteraksi dinamis secara teknologis di ekosistem dan industri ekonomi digital ipso facto membentuk rezim hukum yang sui generis yaitu Hukum Ekonomi Digital (Digital Economy Law) termasuk eksistensi dari Lex Digitalis Contractus sebagai konstruksi konseptual legal terhadap pemanfaatan teknologi Blockchain khususnya kontrak cerdas (smart contract). Lex Digitalis Contractus harus memberikan kecukupan, kekuatan, validitas, dan sanksi untuk prinsip-prinsip hukum dalam kontrak cerdas (smart contract) sebagai disiplin yang berkembang.
Kebutuhan akan legislasi dan regulasi di dunia siber tidak dapat terlalu ditekankan karena kemajuan teknologi yang telah mengubah dunia menjadi suatu pedesaaan global (a global village). Lex Digitalis Contractus mencakup pengumpulan, retensi, pemrosesan, transmisi, dan penggunaan data pribadi yang aman serta sah secara hukum. Lex Crypto sebagai sistem hukum yang otonom dan swa-eksekutorial (self-executing), seperti jaringan kontrak pintar (smart contracts) yang melakukan tindakan independen dari kode-kode algoritma yang telah diprogram. Revolusi Industri 4.0 yang melahirkan teknologi Big Data, Blockchain, Internet of Things (IOT), Artificial Intelligence, Learning Machine, dan Robotic menjadikan perlunya lembaga hukum baru yaitu Lex Cryptographia atau Lex Crypto. Lex Crypto didefinisikan sebagai

Lex Crypto memiliki kesamaan tertentu dengan cara regulasi yang lebih tradisional dengan kode. Keduanya dimaksudkan untuk mengatur individu dengan memperkenalkan seperangkat kemampuan dan kendala tertentu yang tertanam langsung ke dalam struktur sistem teknologi. Lex Crypto membedakan dirinya dari rezim berbasis kode saat ini karena beroperasi secara mandiri yang terlepas dari pemerintah atau otoritas terpusat lainnya. Hanya waktu yang akan menentukan apakah pemanfaatan Blockchain akan berubah dan meresap ke dalam struktur masyarakat, membentuk berbagai interaksi sosial dan transaksi pasar yang semakin meningkat. Jika masa depan seperti itu terjadi, cita-cita disintermediasi, pasar bebas, anarki, dan kolaborasi terdistribusi dapat saling mengaburkan, dengan Lex Crypto memfasilitasi munculnya sistem berbasis Blockchain yang kurang bergantung pada pemerintah, memungkinkan modal dan nilai untuk mengalir di seluruh dunia dengan cara yang lebih tidak dibatasi.
Hukum dan kode algoritma adalah dua mekanisme pengaturan yang penting, karena masing-masing memiliki manfaat dan batasannya sendiri. Kelemahan utama undang-undang atau legislasi adalah dalam hal ambiguitas dan ketidakpastian yang juga merupakan kekuatan terbesarnya, karena undang-undang atau legislasi tersebut memberikan aturan hukum dan kontraktual dengan tingkat fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi yang lebih tinggi. Demikian pula, keuntungan utama dari kontrak cerdas (smart contract) utamanya dalam hal otomatisasi dan eksekusi yang terjaminm, juga merupakan batasan terbesarnya dan yang dapat menyebabkan kekakuan yang berlebihan dan ketidakmampuan untuk mengikuti perubahan keadaan.

Posting Komentar

0 Komentar