Penyaluran Subsidi BBM Bisa Tepat Sasaran Kok, Asalkan..

 Peraturan mengenai penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi dan kompensasi yang ada saat ini dinilai masih belum efektif dalam memastikan distribusi BBM tepat sasaran.

 
Data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan, untuk komoditas LPG, kelompok rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah (desil 1-4 kelompok pengeluaran terkecil) hanya menikmati 33,1 persen dari total subsidi LPG. Sementara sebanyak 66,9 persen LPG subsidi dinikmati oleh kelompok yang lebih mampu.
 
Sementara untuk pertalite, hanya 38,8 persen nilai kompensasi BBM yang dinikmati oleh kelompok rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah (desil 1-4). Sedangkan 61,2 persen penerima manfaat kompensasi BBM pertalite adalah kelompok mampu.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyatakan tahun ini Indonesia dihadapkan dengan situasi yang cukup rumit karena perang Rusia dan Ukraina masih berlanjut, sehingga terjadi fluktuasi harga minyak dunia.
 
Implikasinya adalah ada penurunan dari upaya untuk menyediakan kapasitas subsidi dan kompensasi yang memadai, khususnya apabila terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi.
 
Di sisi lain, publik masih menunggu bagaimana perubahan pada Perpres Nomor 191 Tahun 2014 sebagai payung hukum penyediaan dan penyaluran BBM saat ini dapat berjalan dengan efektif atau tidak.
 
"Melihat sasaran-sasaran dari perpres ini mencakup kelompok pengguna kendaraan roda 2 dan juga roda 4," kata Tauhid, melalui keterangan yang diterima, Selasa, 28 Maret 2023.
 
Kemudian perlu dilihat juga dengan payung hukum yang baru, apakah rancangannya cukup relevan untuk pengurangan kebutuhan subsidi ke depan.
 
"Di lapangan, pembatasan subsidi tampaknya masih perlu kerja keras. Oleh karena itu, harus dilihat bagaimana penguatan regulasi ke depan dan apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah melalui Pertamina dengan pembatasan subsidi BBM melalui teknologi apakah bisa lebih tepat sasaran atau tidak," kata Tauhid.


Perubahan kebijakan BBM sensitif


Anggota DPR RI Kardaya Warnika menyatakan perubahan kebijakan BBM ini sangat sensitif dan menimbulkan gejolak publik. Maka, setiap perubahan kebijakan menyangkut BBM perlu didasarkan atas tiga poin utama, yaitu, ketersedian produk, aksesibilitas, dan keterjangkauan harga.
 
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Kementerian ESDM Maompang Harahap mengatakan, saat ini terdapat pembahasan mengenai perubahan Perpres 191/2014 yang baru.
 
Pembahasan perubahan ini banyak menerima masukan dari berbagai kementerian dan lembaga terkait, khususnya mengenai pengaturan pengendalian, termasuk penguatan pengawasan di lapangan, pada saat nanti substansi dari perubahan ini diimplementasikan.


Teknologi bisa bantu penyaluran secara tepat


Terkait pengawasan di lapangan, Kepala Penelitian Teknologi Energi untuk IEEFA Putra Adhiguna memaparkan saat ini konektivitas Pertamina dengan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) sudah elektronik.
 
Misalnya, sudah ada 520 SPBU per Februari 2023 yang memiliki konektivitas CCTV SPBU dengan data center Pertamina. Namun, total SPBU di Indonesia ada sekitar 4.000 hingga 5.000 unit.
 
Teknologi memang dapat membantu dalam membatasi penggunaan BBM subsidi. Namun, kunci utamanya yaitu komitmen untuk bisa berlanjut dalam pengendalian BBM.
 
"Yang sering terjadi, ketika harga BBM mulai turun, maka prioritas kebijakan bergeser. Publik masih akan ingat besarnya gaung program RFID pada tahun 2014 yang saat ini hilang begitu saja," kata Putra.

Regulasi harus diperkuat


Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Imaduddin Abdullah memaparkan beberapa urgensi reformulasi kebijakan BBM seperti posisi Indonesia yang saat ini merupakan net-importir minyak, konsumsi BBM JBKP yang cenderung tidak tepat sasaran, dan tingginya jumlah penyalahgunaan subsidi BBM.
 
Berangkat dari hal tersebut, maka penting menguatkan regulasi melalui revisi Perpres 191/2014. Ada empat opsi pembatasan BBM subsidi dan kompensasi yang dapat dilakukan. Pertama, seluruh mobil pelat hitam, mobil dinas, dan motor di atas 150 cc masuk daftar negatif atau dilarang mengonsumsi BBM subsidi dan kompensasi.
 
Opsi pertama itu bisa menghasilkan penghematan fiskal sebesar Rp5,78 triliun jika diimplementasikan setelah Lebaran, atau Rp2,89 triliun jika diimplementasikan pada awal September.
 
Kedua, seluruh mobil pelat hitam dan mobil dinas masuk daftar negatif. Penghematan sebesar opsi pertama, tetapi tidak ada biaya pengawasan yang harus dikeluarkan karena kebijakan tersebut tidak perlu meregulasi konsumsi pengguna motor yang berjumlah 120 juta kendaraan.
 
Opsi ketiga, seluruh mobil pelat hitam dan mobil dinas dan motor di atas 150 cc dapat mengakses Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) dengan kuota. Pilihan ini dapat mencegah konsumsi berlebihan tetapi sangat rawan penyelewengan.
 
Opsi keempat, mobil plat hitam di atas 1.400 cc, mobil dinas, dan motor di atas 150 cc masuk daftar negatif. Pilihan ini memiliki aspek tingkat keadilan yang tinggi. Akan tetapi, potensi penghematan lebih kecil dan biaya pengawasan berpotensi tinggi.
 
"Dalam mempertimbangkan opsi-opsi tersebut, perlu mempertimbangkan beberapa aspek seperti potensi penghematan fiskal, kemudahaan implementasi kebijakan, dan aspek keadilan, juga mempertimbangkan dampak terhadap daya beli masyarakat," kata Imaduddin.
 

Posting Komentar

0 Komentar