Ada 215 juta pengguna internet di Indonesia pada 2022. Mereka rata-rata menghabiskan waktu delapan jam dalam sehari di ruang online.
Aktivitas ini mencakup kegiatan minim data seperti akses aplikasi online dan mengirim email, hingga pemakaian yang intens seperti streaming video ataupun pengolahan big data.
Data dan internet memang memudahkan kehidupan kita, tapi dampak lingkungannya kerap diabaikan. Penyimpanan dan pemrosesan informasi digital sebenarnya tak tersimpan di 'awan' atau cloud, melainkan di fasilitas raksasa bernama pusat data (data centre) yang rakus energi dan air.
Kehidupan manusia yang kian bergantung pada data membuat kebutuhan pusat data terus naik.
Ada sekitar 94 pusat data di Indonesia dengan kapasitas listrik hingga 727,1 megawatt (MW). Sebagian di antaranya milik raksasa teknologi seperti Alibaba dari Cina, ataupun Google Cloud dari Amerika Serikat. Ada juga fasilitas punya perusahaan pelat merah, PT Telkom Indonesia.
Sebagai ilustrasi, pusat data 'kecil' berkapasitas 1 MW saja membutuhkan energi setara dengan listrik untuk seribu rumah. Fasilitas ini juga membutuhkan 26 juta liter air setahun-untuk mendinginkan mesin-mesin yang mudah panas.
Di Indonesia, pesatnya aktivitas digital bisa mendongkrak pertumbuhan pusat data hingga 20% setiap tahun. Untuk mengantisipasi angka tersebut, pemerintah merencanakan pembangunan empat Pusat Data Nasional masing-masing berkapasitas 40 MW pada 2026.
Jakarta pun menjadi salah satu kota dengan pertumbuhan pusat data tercepat di Asia Pasifik. Posisinya kedua tercepat setelah Melbourne, Australia.
Pertumbuhan pusat data di Indonesia juga dapat menjadi lebih laju dikarenakan Singapura, sebagai pasar data center terbesar di Asia Tenggara, saat ini membatasi pembangunan pusat baru karena pertimbangan kelestarian bumi.
Mengingat pesatnya tren ini, penting bagi Indonesia untuk menerapkan praktik pusat data berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungannya. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan.
Operasional yang Transparan dan Efisien
Pemerintah dan industri harus merumuskan rencana operasional data center yang ramah lingkungan, berikut mekanisme pelaporannya. Ini dibutuhkan agar maraknya pusat data tak membawa mudarat lanjutan bagi lingkungan.
Saat ini, pemerintah hanya mewajibkan pelaporan pemakaian energi bagi pengguna yang menghabiskan listrik di atas 70 gigawatt jam (GWH) setiap tahun.
Namun, sejauh ini tidak ada data centre manapun yang menggunakan energi sebesar itu. Pusat data berskala besar hyperscale saja hanya memakan energi sekitar 20-50 MWH saban tahun. Angka itu jauh dari batasan 70 GWH versi pemerintah.
Batasan yang kelewat tinggi tersebut membuat kita tidak bisa mengetahui berapa sebenarnya pemakaian energi data centre di Indonesia. Padahal, kita membutuhkan transparansi dalam pemakaian energi data centre.
Pemerintah dapat membuat mekanisme khusus supaya para pengelola dapat melaporkan konsumsi energinya secara berkala-paling tidak setiap tahun. Laporan semestinya juga bisa diakses publik.
Pemerintah juga perlu mewajibkan pengelolaan pusat data yang efisien dan hemat energi.
Di Singapura, misalnya, data centre wajib memenuhi rasio Power Usage Effectiveness (PUE) hingga 1,3. Rasio PUE 1 menjadi yang patokan efisiensi energi yang ideal.
Kewajiban tersebut akhirnya memaksa operator untuk mendesain dan mengelola data centre seefisien mungkin. Langkah ini dapat dimulai dengan pemakaian peralatan hemat energi sehingga konsumsi listrik maupun biaya operasional bisa ditekan.
Pemerintah juga harus mendukung pengelola data centre memakai energi dari sumber-sumber yang ramah lingkungan. Saat ini, baru beberapa data centre di Indonesia yang memperoleh Sertifikat Energi Terbarukan (REC). Sertifikat yang diterbitkan PT PLN ini menjadi bukti suatu pelanggan menggunakan energi terbarukan untuk fasilitas mereka.
Pemakaian sertifikat ini dapat diperluas ke berbagai pelanggan. Jika perlu, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi pengelola data centre yang menggunakan energi terbarukan.
Di Eropa, sejumlah grup pengelola data centre seperti Amazon dan Google bahkan berkomitmen menggunakan energi terbarukan untuk memenuhi 70% kebutuhan listrik mereka pada 2025 dan 100% pada 2030.
Mengubah Perilaku Digital juga Penting
Meski penting, upaya memastikan pengelolaan data centre yang hemat energi baru menyelesaikan separuh masalah. Emisi gas rumah kaca dari aktivitas ini bukanlah satu-satunya sumber perkara.
Kita juga harus memperhitungkan dampak lingkungan yang lebih sulit diukur dari penggunaan data digital.
Misalnya, masalah lingkungan yang terjadi akibat peningkatan konsumerisme karena big data dan algoritma yang semakin mampu membanjiri pengguna internet dengan iklan yang 'tepat'. Algoritma data juga semakin efisien untuk membuat masyarakat kian bergantung pada media sosial ataupun platform e-commerce (lokapasar).
Pusat data yang efisien juga bisa memicu "Jevons Paradox". Artinya, operasi yang efisien justru mendongkrak pertumbuhan data center, hingga berujung pada penggunaan sumber daya yang lebih banyak dalam jangka panjang.
Inovasi teknologi dan efisiensi memang tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk pembangunan berkelanjutan dalam ekonomi digital. Keduanya harus disokong dengan penyesuaian perilaku masyarakat di ranah digital secara terus menerus. Langkah penting yang bisa dilakukan adalah edukasi masyarakat bahwa aktivitas mereka di ranah daring mempunyai konsekuensi yang nyata pada lingkungan.
0 Komentar