Urgensi Structural Health Monitoring System (SHM) dalam rangka mewujudkan Safety Environtment

 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 adalah Undang-Undang tentang Bangunan Gedung yang berlaku di Indonesia. Undang-undang ini bertujuan untuk mengatur tentang persyaratan dan tata cara pembangunan bangunan gedung serta pengawasan terhadap bangunan gedung tersebut. Beberapa hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 antara lain adalah:

  • Persyaratan perizinan: Pembangunan bangunan gedung harus memenuhi persyaratan perizinan dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
  • Persyaratan teknis: Pembangunan bangunan gedung harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi tata letak, arsitektur, struktur, listrik, sanitasi, kesehatan, keselamatan kerja, dan lain-lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  • Pengawasan dan penertiban: Pemerintah daerah atau pemerintah pusat wajib melakukan pengawasan dan penertiban terhadap pembangunan bangunan gedung untuk memastikan bahwa bangunan gedung tersebut memenuhi persyaratan perizinan dan persyaratan teknis.
  • Sanksi: Undang-undang ini juga mengatur sanksi bagi pelanggaran terhadap persyaratan perizinan dan persyaratan teknis yang diatur dalam undang-undang ini.
  • Tujuan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 adalah untuk mewujudkan pembangunan bangunan gedung yang aman, layak huni, dan berwawasan lingkungan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Hal ini dilakukan dengan menjamin keamanan, kenyamanan, dan keamanan penghuni bangunan gedung serta memperhatikan aspek lingkungan dan konservasi sumber daya alam.

Salah satu turunan dari UU no 28 tahun 2022 adalah Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726:2019, dengan judul “Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan nongedung”, merupakan revisi dari SNI 1726:2012 Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan nongedung. Standar ini didukung dengan pengembangan referensi dan riset oleh perumus standar yang terdiri dari pakar dan praktisi yang tergabung dari berbagai perguruan tinggi, asosiasi, lembaga penelitian, dan instansi pemerintah terkait. Standar ini memberikan persyaratan minimum perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan nongedung. SNI 1726 tahun 2019 adalah standar nasional Indonesia (SNI) yang terkait dengan Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non-Gedung. SNI ini memberikan pedoman untuk merencanakan struktur bangunan yang mampu bertahan dan mengurangi kerusakan akibat gempa bumi.

Dalam SNI 1726 tahun 2019, terdapat beberapa poin penting yang harus dipenuhi dalam perencanaan ketahanan gempa, antara lain:

  • Penentuan kategori bangunan berdasarkan jenis dan fungsi bangunan.
  • Penentuan wilayah gempa dan kategori desain gempa yang berlaku pada wilayah tersebut.
  • Penentuan faktor beban gempa dan faktor modal berdasarkan kategori bangunan dan kategori desain gempa.
  • Penentuan metode analisis struktur dan penggunaan faktor perilaku struktur.
  • Penentuan kriteria desain untuk masing-masing elemen struktur bangunan.

SNI 1726 tahun 2019 juga menekankan pentingnya penggunaan material bangunan yang berkualitas dan memenuhi standar serta pengawasan yang ketat selama proses pembangunan untuk memastikan keamanan dan ketahanan struktur bangunan terhadap gempa bumi.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memuat tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur tentang keamanan bangunan dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa hal yang diatur dalam undang-undang ini terkait dengan keamanan bangunan antara lain:

1. Pasal 12 ayat (2) menyatakan bahwa dalam hal RPPLH (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
2. Rencana Tata Ruang: Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa tata ruang wilayah harus memperhatikan aspek keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup, termasuk dalam hal penetapan fungsi dan pemanfaatan lahan.
4. AMDAL: Pasal 22 ayat (1,2) menyatakan bahwa kegiatan usaha dan/atau kegiatan lainnya yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan harus memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang.
5. Analisis Risiko Lingkungan Hidup: Pasal 47 ayat (1) menyatakan Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. Ayat (2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengkajian risiko; b. pengelolaan risiko; dan/atau c. komunikasi risiko.

Dalam hal ini, keamanan bangunan menjadi faktor penting yang harus diperhatikan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat diperoleh melalui perencanaan dan pembangunan bangunan yang memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan, serta memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Selain itu, keberadaan regulasi yang terkait dengan izin lingkungan dan AMDAL juga dapat menjadi alat untuk memastikan bahwa bangunan dibangun dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup dan keamanan.

Sesuai UU 32 tahun 2009, Proses analisis risiko terhadap bangunan gedung juga harus dilakukan secara berkala, untuk menjamin aspek keselamatan, kesehatan dan kenyamanan, untuk itu diperlukan bantuan teknologi untuk membantu proses audit secara real-time, teknologi Internet of Things (IoT) merupakan teknologi yang tepat untuk dimplementasikan pada konstruksi bangunan, untuk mendapatkan parameter lingkungan secara cepat dan tepat.***

sumber: https://krakatoa.id/2023/06/12/urgensi-structural-health-monitoring-system-shm-dalam-rangka-mewujudkan-safety-environtment/

Posting Komentar

0 Komentar