Indonesia Belum Punya Regulasi soal AI

 

Sudah sejak penerbitan dokumen Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045, sebagai acuan awal untuk mengembangkan dan memanfaatkan kecerdasan artifisial/artificial intelligence (AI) di Indonesia, namun belum ada regulasi khusus yang mengatur teknologi baru tersebut.

Ke depan diharapkan, pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur penggunaan, etika, dan keamanan AI, serta perlindungan terhadap tenaga kerja. Selama Indonesia belum memiliki aturan hukum khusus mengenai AI, pengembangan dan pemanfaatan AI di Indonesia diatur melalui beberapa undang-undang, peraturan presiden, dan peraturan pemerintah.

Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Ilham Habibie dalam Seminar Internasional WorldAI Show di Jakarta awal Juni lalu.

Ketua Dewan Teknologi, Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Ilham Akbar Habibie.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN

Ketua Dewan Teknologi, Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Ilham Akbar Habibie.

Dari sisi aspek legal, AI masih diatur dalam undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik No.11 tahun 2008 ataupun perubahannya UU. No 19 tahun 2016 serta Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2019. Dalam regulasi tersebut, kecerdasan artifisial disamakan sebagai “Agen Elektronik” yang didefinisikan sebagai perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.

Hal ini berarti segala kewajiban hukum serta pertanggungjawaban hukum agen elektronik melekat pada penyedia perangkat AI. Dari sisi aspek utilisasi, teknologi AI menurut Ilham diatur dalam Peraturan Presiden No. 95 tahun 2018 mengenai sistem pemerintahan berbasis elektronik, Peraturan Presiden No. 122 tahun 2020 mengenai pemutakhiran rencana kerja pemerintah tahun 2021, serta dokumen Making Industri 4.0 yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.

Adapun sebagai pendukung untuk penerapan kecerdasan artifisial, mengacu pada aturan mengenai satu data Indonesia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2019.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/1R0CxQ8DiTDIz7jEzV5mqPkdpgk=/1024x1203/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F02%2F15%2F20210215-ADI-Perkembangan-Kecerdasan-buatan-mumed_1613388590_png.png

Di sisi lain, pemanfaatan kecerdasan artifisial di Indonesia sudah di berbagai bidang. Belum ada pencatatan khusus di Indonesia mengenai berapa jumlah perusahaan atau Lembaga yang menggunakan AI.

Namun dari dokumen “Prosiding Use Cases Artificial Intelegence Indonesia” yang diterbitkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), diketahui ada 9 bidang yang telah menerapkan AI. Di antaranya, riset industry, pertahanan keamanan, layanan publik, kesehatan, kota cerdas dan kebencanaan, ketahanan pangan, serta maritim.

Pemanfaatan ekonomi dan kekayaan intelektual

Penulis filsafat dan pengajar Institut Kesenian Jakarta Martin Suryajaya menilai pemanfaatan ekonomi pada kekayaan intelektual bisa dijadikan salah satu aspek dalam penyusunan regulasi AI.

“Kekayaan intelektual ataupun yang sifatnya personal ataupun komunal yang dimiliki masyarakat tradisi itu kan bagian dari dataset AI. Kalau perusahaan-perusahaan besar dapat keuntungan dari pemanfaatan eksploitasi itu kan enggak fair. Artinya ada keuntungan yang dihasilkan, tapi keuntungan itu terjadi tanpa sepengetahuan dan tidak berdampak positif bagi penciptanya, dalam hal ini masyarakat,” jelas Martin saat dihubungi awal Juni lalu.

Sejarah Estetika - Kepala Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Sarasdewi (tengah) didampingi kurator seni rupa Enin Supriyanto (kiri) dan penulis buku Sejarah Estetika, Martin Suryajaya, saat berbicara dalam Bincang Buku Sejarah Estetika di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (17/3/2017).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Sejarah Estetika - Kepala Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Sarasdewi (tengah) didampingi kurator seni rupa Enin Supriyanto (kiri) dan penulis buku Sejarah Estetika, Martin Suryajaya, saat berbicara dalam Bincang Buku Sejarah Estetika di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (17/3/2017).

Menurut Martin sebenarnya soal pemanfaatan obyek kebudayaan untuk kepentingan komersial sudah diatur dalam UU no. 5 tahun 2017 mengenai pemajuan kebudayaan. Salah satu pasal menyebutkan pemanfaatan obyek kebudayaan untuk kepentingan komersial harus atas izin masyarakat yang selama ini mempraktikkannya dan ada kejelasan mengenai pembagian hasil manfaatnya.

Namun, saat regulasi khusus mengenai AI belum ada, pemanfaatan ekonomi pada kekayaan intelektual dari dataset AI akan menjadi masalah ke depannya. Persoalan hak cipta dataset yang digunakan AI juga menjadi fokus Martin untuk dijadikan salah satu bahasan dalam regulasi AI ke depan. Martin berharap, tidak akan ada pelarangan riset mengenai AI jika untuk kepentingan penelitian.

“Karena keterbukaan informasi, penggunaan data set copywrited enggak boleh dilarang. Orang juga enggak boleh dilarang melakukan riset AI yang tujuannya untuk penelitian, misal publikasi di jurnal ilmiah. Tapi jika digunakan langsung untuk keperluan penjualan, itu akan menimbulkan persoalan lain,” jelasnya.

Kekayaan intelektual ataupun yang sifatnya personal ataupun komunal yang dimiliki masyarakat tradisi itu kan bagian dari dataset AI. Kalau perusahaan-perusahaan besar dapat keuntungan dari pemanfaatan eksploitasi itu kan enggak fair

Penggunaan kekayaan intelektual untuk kepentingan komersial menurut Martin sudah diatur dalam undang-undang hak cipta. Misal bagaimana suatu karya boleh diadaptasi menjadi karya lain asalkan terjadi penggunaan yang adil/fair use, yakni membolehkan penggunaan secara terbatas terhadap karya yang dilindungi hak cipta, tanpa memerlukan izin dari pemegang hak.

Namun menurut Martin, menentukan kriteria fair use di era AI akan semakin sulit dan menjadi bahan perdebatan di Amerika Serikat. “Apakah informasi dari AI baru atau enggak akan sulit ditentukan. Apakah AI mentransformasi atau sekedar mengubah-ubah susunan gitu. Apakah AI masuk dalam kategori fair use atau penggunaan AI untuk penciptaan karya itu disebut fair use?” jelas Martin.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/WKZ4BUTWnxYGDZT2MZLV3TaqpeQ=/1024x1666/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F07%2Fca049565-20ee-4a1a-a9b4-2b746e80b521_png.png

Perlindungan tenaga kerja

Perlindungan tenaga kerja dari disrupsi teknologi AI juga dianggap Martin sebagai salah satu aspek penting dalam regulasi AI di Indonesia. Ke depan saat gaji tenaga kerja semakin tinggi dan sebaliknya biaya penggunaan AI lebih murah, perusahaan bisa saja mengganti tenaga kerjanya dengan mesin AI.

“Kalau upah terlalu tinggi, kemudian perusahaan atau vendor merasa lebih untung untuk menggunakan AI, maka perusahaan tersebut akan mengambil jalan tersebut untuk pertimbangan konsep efisiensi. Misal mengalihkan bujet membiayai tenaga kerja ke biaya untuk AI,” jelas Martin.

Kepala Center of Digital Economy and SMEs Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha M Rachbini juga menyebutkan regulasi perlindungan tenaga kerja sangat diperlukan di era pemanfaatan AI. Regulasi tersebut mengatur pemberian bantuan bagi tenaga kerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja/PHK pada sektor ekonomi yang rawan terpapar AI.

“Misal dengan memberikan pelatihan pada tenaga kerja yang terdampak ataupun menarik tenaga kerja tersebut ke sektor yang lebih berkembang,” jelas Eisha.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/JEOzcCoBORmGFTruLos9lNDSoSA=/1024x2370/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F15%2Fe216f73a-82d5-4502-826c-27367f08faf6_jpg.jpg

Keamanan Data Wakil Ketua Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia Arif Ilham Adnan mengingatkan soal sistem keamanan data menjadi tantangan bagi perusahaan atau institusi di era transformasi digital sekarang ini.

“Berdasarkan pengalaman dalam asosiasi saya, 95 persen masalah keamanan berasal dari kesalahan manusia. Jadi bukan tentang seberapa baik sistem Anda, melainkan seberapa baik Anda mengelola orang-orang Anda,” jelas Arif saat menjadi salah satu pembicara dalam seminar WorldAI Show di Jakarta awal Juni lalu.

Di Indonesia sendiri, sudah beberapa kali terjadi kasus kebocoran data, dari yang dialami asuransi BPJS Kesehatan, pelanggan Indihome, nasabah BRI Life, hingga data pengguna Tokopedia. Diharapkan undang-undang khusus mengenai AI ini segera tersusun dan jangan hanya berhenti pada wacana yang tertuang dalam dokumen Stranas KA.

Aspek etika dan keamanan dari penggunaan AI, serta perlindungan tenaga kerja dari disrupsi AI, mendesak untuk diatur dalam pengembangan kecerdasan artifisial di Indonesia.

sumber: https://www.kompas.id/baca/investigasi/2023/06/27/vakum-regulasi-kecerdasan-artifisial-di-indonesia

Posting Komentar

0 Komentar