Konsep Smart City Tingkatkan Kualitas Hidup Warga

 



akarta – Humas BRIN.  Smart city atau kota cerdas adalah konsep pengembangan perkotaan yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan kualitas hidup warganya  menjadi  lebih baik. Konsep smart city saat ini tidak hanya diadopsi oleh kota-kota di Indonesia tetapi juga kota-kota di seluruh dunia.

Hal itu diungkapkan Kurnia Novianti, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan (PRW) Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN)  dalam Diskusi Forum PRW dengan tema “Adopting and Adaptation: Implementing Smart City in Surabaya, Indonesia”. Acara berlangsung di Kantor BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (16/01).

Kurnia  memaparkan penelitiannya yang menginvestigasi bagaimana kelompok aktor (groups of actors) yang terlibat dalam kompetisi Surabaya Smart City (SSC) 2019. Ia fokus pada adopsi dan adaptasi konsep smart city (kota cerdas). Dalam melakukan riset, ia mengumpulkan informasi melalui percakapan/wawancara yang dilakukan secara informal dengan mengikuti kegiatan sehari-hari warga di kampung - kampung. Hal itu dilaksanakan selama kompetisi tentang ide smart city diadopsi dan diadaptasikan dengan cara yang unik yang berlangsung di Surabaya.

Lebih jauh Kurnia mengutarakan, kompetisi SSC menunjukkan sebuah program pembangunan yang diimplementasikan secara top-down dari pemerintah kota. Itu membuka peluang bagi masyarakat di level kampung untuk menciptakan inovasi-inovasi yang bersifat lokal, tetapi memberikan manfaat langsung bagi kehidupan warga di kampung.

Ia menyebutkan beberapa inovasi yang muncul pada SSC 2019, antara lain kostum warna-warni yang unik dan cantik yang merupakan hasil daur ulang sampah plastik atau bahan-bahan lainnya, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), arang organik dari batok kelapa, barcode untuk mengetahui nama dan manfaat tanaman, dan beberapa inovasi lain.

Kurnia bercerita tentang penerapan smart environment (cerdas lingkungan), pilar smart society (masyarakat cerdas), dan smart economy (cerdas ekonomi), yang juga disosialisasikan oleh pemerintah kota Surabaya dalam kompetisi tersebut. Inovasi – inovasi yang diciptakan kebanyakan adalah alat-alat dengan teknologi sederhana, termasuk produk-produk UMKM yang sangat variatif.

Di sana, Smart city diinterpretasikan dengan cara yang sangat kontekstual. Lalu ia menguraikan dua konsep utama yang digunakan untuk menganalisis kasus Surabaya Smart City 2019, yakni governmentality dan improvisation. Hal itu sangat relevan untuk menjelaskan bagaimana SSC 2019 sebagai program pemerintah kota yang bersifat top-down di satu sisi. Namun di sisi lain memunculkan improvisasi berupa respon-respon yang bersifat khas kampung Surabaya.

Kurnia berujar, riset ini berkontribusi untuk menghadirkan perspektif lain dalam penelitian tentang smart city di Indonesia. Lebih luas riset ini berkontribusi untuk memahami transformasi perkotaan dengan mengkaji interaksi faktor budaya, sosial, ekonomi, dan politik dalam komunitas perkotaan tertentu (specific urban communities). “Konsep ini secara umum menjadi solusi dari permasalahan urban atau perkotaan terhadap segala masalah infrastruktur dan ketidakmampuan kota untuk memberikan ruang atau tempat yang nyaman bagi masyarakat,” tuturnya.

Menurutnya, pemanfaatan teknologi digital bisa efektif membantu masalah demografi ekonomi lingkungan dan keamanan. Jadi, konsep tersebut sangat baik sehingga kota itu bisa menyelesaikan masalah demografi kependudukan,  ekonomi,  sosial, serta keamanan.

Ia lalu berpendapat, secara ideal pemerintah kota Surabaya mempunyai strategi perencanaan kota. Strategi tersebut dari sisi akademisi bukan pemerintah kota. Ia melihat hal itu bukan hanya di Surabaya saja tapi juga di kota-kota lain di manapun di dunia. ”Ini tidak bisa serta-merta otomatis mengambil konsep smart city. Untuk itu harus menyesuaikan dengan konteks lokal-nya yang berbeda,” tegasnya. Misalnya, kemacetan di Surabaya yang bisa jadi kondisinya berbeda dengan kemacetan di Jakarta.  

Dari segi instrumentasi, konsep ini jika diterapkan di sebuah kota menjadi kompleks. Karena asalnya dari pelaku, yang artinya, institusi yang terlibat juga bermacam-macam. Kemudian respon dari  warga kota juga bermacam-macam, juga kebutuhan-kebutuhan warga kota yang tidak sama. Pada kesimpulannya, menurut Kurnia, semua bisa diselesaikan. (suhe/ed: And)

Posting Komentar

0 Komentar