Apakah Nol Deforestasi Bisa Tercapai di 2030?



 PADA 2021, 145 pemimpin negara berkumpul di Glasgow di sela Konferensi Iklim ke-26 (COP26). Mereka menekankan ketergantungan manusia terhadap hutan untuk menyeimbangkan emisi gas rumah kaca dan mempertahankan eksistensi manusia. Mereka kemudian mendeklarasikan komitmen mencapai nol deforestasi pada 2030.

Apa itu nol deforestasi? Angka "nol" atau "net" acap dipakai dalam kosa kata mitigasi krisis iklim. Seperti namanya, nol adalah kondisi keseimbangan antara positif dan negatif. Maka nol deforestasi adalah tercapainya keseimbangan antara kehilangan hutan dengan pembentukan hutan melalui reforestasi, aforestasi, atau rehabilitasi hutan.

Sama juga dengan net zero emission. Istilah ini merujuk pada pengertian tercapainya keseimbangan produksi emisi dengan penyerapannya. Sebab, krisis iklim terjadi akibat tak terserapnya emisi karbon oleh ekosistem bumi menjadi gas rumah kaca. Gas ini yang membuat atmosfer kehilangan dayanya melindungi bumi sehingga suhu pelan-pelan menjadi naik.

Menurut World Resources Institute (WRI), dunia kehilangan 3,7 juta hektare hutan primer sepanjang 2023. Itu artinya kita kehilangan hutan seluas 10 kali lapangan sepak bola setiap menit. Ada 2,4 gigaton emisi yang terlepas ke atmosfer akibat kehilangan jutaan hutan primer tersebut.

Angka tersebut menurun 9% dibanding deforestasi 2022. Meski begitu, laju deforestasi tersebut tetaplah besar dan jauh dari target. Jika digabungkan dengan hutan sekunder, deforestasi di 2023 sebesar 6,4 juta hektare. Sedangkan target deforestasi di 2023 seharusnya adalah 4,4 juta hektare atau 2 juta hektar lebih tinggi dibanding target.

Brazil menjadi negara pertama yang paling banyak kehilangan hutan primer di 2023. Negara ini kehilangan 1,14 juta hektare hutan primer. Nilai tersebut telah mengalami penurunan sebesar 36% dibanding tahun lalu. Serta merupakan kehilangan hutan primer terkecil sejak 2016.

Negara kedua dengan deforestasi hutan primer terbesar ditempati oleh Republik Kongo sebesar 0,53 juta hektare. Ketiga adalah Bolivia yang kehilangan 0,49 juta hektare, meningkat 27% dibanding tahun sebelumnya. Keempat adalah Indonesia yang kehilangan 0,29 juta hektare dan kelima adalah Peru yang kehilangan 0,15 juta hektar. Sisanya disusul oleh Laos, Kamerun, Madagaskar, Malaysia, Kolombia, dan negara non-tropis lainnya.

Deforestasi Indonesia meningkat 27% dibanding tahun sebelumnya. El Niño mengeskalasi risiko kebakaran hutan, seperti yang terjadi di tahun 2015. Kebakaran pada 2023 tidak separah seperti yang diperkirakan. Kondisi El Niño yang lebih basah dibanding 2015, investasi pemerintah dalam pencegahan kebakaran, dan inisiatif masyarakat setempat telah berkontribusi terhadap penurunan kebakaran hutan.

Ancaman tak hanya datang dari kebakaran hutan. Perluasan hutan tanaman industri, khususnya kelapa sawit dan pulp and paper, menurut WRI, juga mengancam, khususnya di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Papua Barat. Sebagian besar kehilangan hutan primer di Indonesia terjadi dalam skala kecil di lahan kurang dari 100 hektar.

Di Sumatera, deforestasi turut mengancam ekosistem Leuser yang telah menjadi warisan dunia. Pembabatan hutan seluas 192 hektare telah dilakukan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh elit lokal. Ekspansi perkebunan kelapa sawit juga turut mengancam ekosistem Rawa Singkil, ekosistem dengan populasi orangutan terpadat di dunia. 

Potensi deforestasi masih terbuka. Dalam sebuah studi oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) pada 2021, diperkirakan bahwa 4-6 juta hektare lahan harus dikonversi menjadi perkebunan sawit untuk memenuhi permintaan domestik dan ekspor bahan bakar nabati. Hutan primer tentu menjadi sasaran empuk untuk dikonversi.

sumber : https://www.forestdigest.com/detail/2566/nol-deforestasi-2030

Posting Komentar

0 Komentar