100 Smart Cities: Antara Indonesia and India

Memulai tahun baru 2019, Indonesia saat ini sedang memiliki program digitalisasi perkotaan yang ambisius: Gerakan 100 Smart City. Program ini diprakarsai oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, juga didukung oleh Kementerian Dalam Negeri, Keuangan, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemberdayaan Aparatur Negara dan BAPPENAS. Smart City atau kota pintar dipahami sebagai kota yang mampu mengelola sumber daya mereka dengan efektif dan efisien, serta menggunakan teknologi untuk memecahkan masalah perkotaan dan memberikan solusi yang inovatif, terintegrasi dan berkelanjutan untuk meningkatkan mata kualitas hidup masyarakatnya. [1]
Namun, kota pintar memiliki kecenderungan untuk hanya menekankan pada aspek teknologi saja, sementara kapabilitas instituisi pemerintah kota di negara-negara global south atau dunia selatan seperti Indonesia dan India masih belum mampu mengadopsi dan mengintegrasikan teknologi ke dalam kebijakan perkotaan dengan baik karena manajemen kebijakan yang tidak berkelanjutan. Sebagai refleksi kritis dari program Smart City yang sedang berlangsung di Indonesia, artikel ini akan membandingkan implementasi "Gerakan 100 Smart City" di Indonesia dengan program 100 kota pintar serupa lainnya yang dijalankan oleh Pemerintah India.

Indonesia dan Pola Pikir Negara Berkembang akan Smart City
Dalam rangka mencari model tolak ukur untuk strategi nasional tentang smart city, Indonesia telah memulai kerjasama terkait smart city dengan India sejak pertengahan 2016, sementara India sendiri telah memulai program 100 Smart Cities Mission dan telah mendirikan 60 kota pintar pada waktu itu.[2]  Meskipun tidak ada bukti empiris tentang bagaimana kerja kota pintar dengan India mempengaruhi strategi kota pintar Indonesia, melihat dari nama program yang serupa, kerja sama ini tampaknya menginspirasi peluncuran Gerakan 100 Smart City di Indonesia pada tahun 2017. Indonesia memulaipilot project dari Gerakan 100 Smart City dengan memilih 25 kota di Indonesia pada Mei 2017. Sementara itu 50 kota pintar lainnya telah dipilih pada tahun 2018, dan 25 kota lainnya akan dipilih pada tahun 2019. [3]  Seleksi dimulai dengan meninjau kesiapan kota dari visi para walikota terkait pengembangan kota pintar, infrastruktur dan sumber daya manusia. Kota- kota tersebut memiliki wewenang untuk memilih prioritas pengembangan kota pintar yang beragam, seperti. smart economy, smart people, atau smart governancePada akhir 2018 telah terpilih 50 kota pintar yang telah menerapkan program ini. Namun, isu problematik dari implementasi program ini adalah tidak adanya standar nasional yang ditetapkan untuk memandu penerapan program ini. Sampai saat ini, pedoman tersebut masih dibahas oleh pemerintah.[4]

Perbandingan dengan Smart Cities Mission India
Program 100 Smart Cities India dimulai pada pertengahan 2015 dengan nama Smart Cities Missiondari Kementerian Pembangunan Perkotaan, dua tahun lebih awal dari Indonesia. India dapat menjadi studi kasus yang relevan untuk program Smart City Indonesia didasarkan pada alasan-alasan berikut ini, (1) India dan Indonesia memiliki karakteristik khas negara-negara berkembang dengan populasi tinggi di dunia, (2) program yang berbasis kuantitas dari 100 kota pintar ini dapat dipahami sebagai cara beradaptasi terhadap sistem negara, misalnya karena India terdiri dari negara-negara bagian dan Indonesia terbagi menjadi sistem pemerintah provinsi sebagai konsekuensi dari karakteristik negara kepulauannya. Wacana yang diperdebatkan dalam implementasi program kota pintar di negara-negara selatan adalah mengenai bagaimana kota pintar memanfaatkan teknologi dalam layanan publik sebagai sarana untuk mencapai kualitas hidup masyarakat yang lebih baik, bukan teknologi hanya sebagai tujuan akhir dari kota pintar itu sendiri.

Meninjau dari titik awal dimulainya program ini, India telah memulai programnya ketika jumlah penduduk kota hanya 32,7% pada tahun 2015, sementara Indonesia memiliki 54,6% penduduk kota di seluruh negara pada tahun 2017[5]. Ditinjau dari aspek ini, bisa dikatakan hal ini merupakan perkembangan yang baik karena Indonesia sudah memiliki jumlah penduduk perkotaan yang lebih tinggi ketika program ini dilaksanakan. Selain itu, Indonesia telah memiliki 25 kota sebagai proyek percontohan. Prioritas utama dari Smart Cities Mission adalah menyediakan kebutuhan dasar melalui fitur teknologi inovatif, termasuk sanitasi, listrik, perumahan, transportasi, dan energi[6]. India juga menggunakan urbanisasi sebagai peluang untuk membuat kemajuan cepat dari program kota cerdasnya, dengan memberikan akses ke ekonomi inklusif dan memanfaatkan kewirausahaan dan kebutuhan bisnis untuk mendukung pertumbuhan kota.[7] Sementara dalam implementasinya, orientasi India untuk membuka kemitraan bisnis dalam Smart Cities Mission menghasilkan urban entrepreunalism[8], yang mana mengabaikan tujuan awal dari kota pintaryaitu untuk bisa mengatasi masalah sosial-perkotaan dan meningkatkan layanan publik melalui penggunaan teknologi. Dengan mempelajari kekurangan program kota pintar India, maka Indonesia dapat belajar bagaimana menyusun standar nasional pengukuran kota pintar agar tidak jatuh ke dalam pola urban entrepreunalism. Standar nasional mengenai konsep kota pintar dapat didasarkan pada karakteristik dan spesifikasi lokal.

Standar Nasional Pengukuran Smart City
Terkait dengan aspek lokalitas, pemerintah Indonesia dapat mengintegrasikan program Smart City Nusantara, yang dibentuk oleh Telkom, yang memprioritaskan kearifan lokal sebagai konsiderasi dalam implementasi kota pintar. [9] Smart City Nusantara juga memberikan penghargaan Smart City Readiness ke kota-kota dengan pencapaian digital yang luar biasa. Penghargaan ini didasarkan pada indikator konektivitas, konten dan kolaborasi. Penghargaan ini juga diberikan kepada kota-kota di bawah Gerakan 100 Smart City. Namun, Gerakan 100 Smart City ini tidak memiliki standar nasional yang berlaku pada pengukuran implementasi kota pintar.
Pada akhir 2017, Indonesia di bawah Badan Standar Nasional juga sedang mengembangkan standar sendiri terkait Smart City, termasuk smart information system, smart tourism, smart energy, smart card and smart care berdasarkan ISO 37120 dan ISO 37151. Standar ini akan menjadi landasan untuk membentuk pembangunan masyarakat yang berkelanjutan, melalui indikator pelayanan kota, tingkat kualitas hidup dan pengukuran infrastruktur cerdas. [10] SCCIC ITB telah membentuk penilaian smart city di bawah Indeks Kota Cerdas Indonesia dan Rating Kota Cerdas Indonesia untuk memetakan perkembangan kota-kota pintar di Indonesia berdasarkan enam aspek: lingkungan, mobilitas, ekonomi, masyarakat, tata kelola pemerintah dan kualitas hidup. [11] Kedua standar di atas diharapkan dapat diintegrasikan dan memandu pelaksanaan Gerakan 100 Smart City di Indonesia.
Saat program ini berakhir pada 2019, diharapkan akan ada kemajuan yang signifikan jika Indonesia dapat menetapkan standar nasional kota pintar. Standar nasional diharapkan juga dapat mempertimbangkan karakteristik kota dan ragam masalah perkotaan sehingga smart city dapat menjadi solusi bagi kehidupan perkotaan yang lebih baik.
Baca tulisan lain yang dibuat oleh Anggika Rahmadiani atau tulisan lain mengenai Kota Pintar.
 
[1] Supangkat, S.H. (2018). Smart Province. [Online] SCCIC ITB. Tersedia di  https://jatengprov.go.id/wp-content/uploads/2018/20180208-Smart-Province-4.pdf [Diakses pada21 Des. 2018]
[2] Caesario, E. (2016). Indonesia dan India Jajaki Kerjasama Pengembangan Smart City [Online] Kabar 24 Bisnis.com. Tersedia di  https://kabar24.bisnis.com/read/20160930/19/588342/indonesia-dan-india-jajaki-kerjasama-pengembangan-smart-city [Diakses pada24 Des. 2018].
[3] Sanjaya, et al. (2017). Research Trends of Smart City in Indonesia: Where Do We Go from Here? [Online] Tersedia di  https://www.researchgate.net/publication/322288301 [Diakses pada24 Des. 2018]
[4] Dwi Prihadi, S. (2016). Mencari Standar Definisi Smart City [Online] CNN Indonesia. Tersedia di  https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161130134019-185-176347/mencari-standar-definisi-smart-city [Diakses pada24 Des. 2018]
[5] United Nations Population Division. (2018) Urban population (% of total) [Online] World Bank. Tersedia di https://data.worldbank.org/indicator/SP.URB.TOTL.IN.ZS [Diakses pada24 Des. 2018]
[6] Datta, A. (2016). Will India’s experiment with smart cities tackle poverty – or make it worse? [Online] The Conversation. Tersedia di  https://theconversation.com/will-indias-experiment-with-smart-cities-tackle-poverty-or-make-it-worse-53678 [Diakses pada27 Des. 2018]
[7] Datta, A. (2015). The smart, entrepreneurial city: Dholera and 100 other utopias in India. In Marvin,
S., Luque-Ayala, A., & McFarlane, C. (Eds.). (2015). Smart urbanism: Utopian vision or false
dawn?. Routledge.
[8] Istilah ini dipopulerkan oleh David Harvey dalam bukunya, From Managerialism to Entrepreneurialism (1989) untuk menggambarkan perubahan dalam kota-kota di Barat pada tahun 1980an. Istilah ini mendefinisikan bentuk pemerintahan urban yang berfokus pada mempromosikan pertumbuhan ekonomi dengan membuka kesempatan keterlibatan sektor bisnis, yang berbeda dengan urban managerialism yang berfokus pada penyediaan pelayanan publik bagi masyarakat.
[9] Sanjaya, et all. (2017). Research Trends of Smart City in Indonesia: Where Do We Go from Here? [Online] Tersedia di  https://www.researchgate.net/publication/322288301 [Diakses pada24 Des. 2018]
[10] Badan Standardisasi Nasional. (2017). Pengembangan SNI dalam Mendukung Smart City di Indonesia, [Online] Badan Standardisasi Nasional Tersedia di http://www.bsn.go.id/uploads/download/PENGEMBANGAN_SNI_DALAM_MENDUKUNG_SMART_CITY_DI_INDONESIA1.pdf[Diakses pada24 Des. 2018]
[11] Smart City and Community Innovation Center ITB. (2018). Hasil Rating Kota Cerdas Indonesia 2017 [Online] SCCIC ITB. Avaible at http://www.sccic.id/news/hasil-rating-kota-cerdas-indonesia-2017/ [Diakses pada28 Des. 2018]

Posting Komentar

0 Komentar