Industri 4.0 Potensial Perlebar Defisit Transaksi Berjalan

JAKARTA – Alih-alih mampu meningkatkan produksi dan ekspor barang olahan, revolusi industri 4.0 justru mengancam neraca transaksi berjalan Indonesia. Revolusi industri ini dinilai bisa memperlebar defisit neraca transaksi berjalan. Ini karena kemampuan teknologi Indonesia belum mumpuni sehingga harus membeli teknologi dari luar untuk mendukung revolusi ini.

“Ketika kita memanfaatkan teknologi 4.0, pada satu sisi kalau kita tidak memiliki kecakapan teknologinya, maka semuanya kita beli dari luar,” kata Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta, dalam press briefing di Jakarta, Kamis (27/6).

Berdasarkan data UN Comtrade, pada tahun 2018 saja nilai impor komoditas mesin dan peralatan elektronik (HS85), menempati posisi ketiga terbesar. Nilainya mencapai US$21,45 miliar atau setara dengan 11,37% dari total impor Indonesia tahun 2018 lalu.

Total impor komoditas telepon, termasuk telepon untuk jaringan seluler atau untuk jaringan nirkabel lainnya, juga peralatan lain untuk transmisi atau penerima suara, gambar, atau data lain, termasuk jaringan kabel/nirkabel (HS8517) mencapai nilai US$5,81 miliar. Angka itu setara 27,07% dari total impor komoditas mesin dan peralatan elektronik.

Padahal menurut Arif, dalam 5—10 tahun ke depan dengan terbangunnya Palapa Ring, pemerintah berencana meningkatkan persentase masyarakat yang menggunakan internet hingga mencapai 100%. Teknologi untuk industri pun diyakini kian berkembang.

“Kalau menjadi 100%, kita bisa bayangkan, kalau ada komponen lain yang tidak disiapkan di dalam negeri, ini akan memperlebar defisit,” katanya.

Tantangan serupa juga akan datang tatkala teknologi 5G akan diterapkan. Teknologi informasi dan komunikasi pun akan berkembang dengan cepat sehingga dia menyarankan pemerintah menyiapkan road map terkait hal tersebut.

“Karena kita mengarahnya selalu e-commerce, internet of things, industri 4.0, dan 5G, dan itu mau enggak mau harus kita ikuti kalau mau menjadi negara maju,” ucapnya.

Ia pun berharap pemanfaatan industri 4.0 ke depan harus dapat menghasilkan devisa bagi negara. Karena itu, pengembangan industri 4.0 harus dapat menghasilkan produk ekspor atau produk yang menjadi substitusi impor.

Dengan demikian, kehadiran industri 4.0 dapat mempersempit defisit neraca transaksi berjalan yang pada kuartal I 2019 tercatat sebesar US$7 miliar. Di mana nilai tersebut setara 2,6% dari produk domestik bruto (PDB).

Dalam kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Nunung Nuryantoro mengatakan, ke depan masyarakat tidak akan bisa lepas dari internet. Untuk itu, menurutnya, industri pengembangan peranti lunak development harus dikembangkan di Indonesia dengan cara memasifkan lagi insentif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan.

Terkait dengan impor barang, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk komponen teknologi informasi dan komunikasi yang telah mencapai 30%, menurutnya bukan suatu non-tariff barriers.

“Tapi sekali lagi yang tidak kalah penting adalah transfer knowledge-nya, kita harus mampu menangkap itu. Kalau tidak, kita hanya sebagai pekerja saja, tidak memperoleh pengetahuan apapun, dan suatu saat kita tidak bisa memproduksi barang yang sama,” katanya di Jakarta, Kamis (27/6). (Sanya Dinda)


Posting Komentar

0 Komentar