Pemain IoT Tunggu Kelengkapan Permenkominfo


Fanky Christian, Wakil Ketua Umum (Waketum) Asosiasi Sistem Integrator dan Sekuriti Indonesia (Asisindo) paling kiri berbaju batik coklat bersama para narasumber ‘Seminar Peluang IoT di Indonesia di Jakarta, Rabu (18/12/2019).

Kementerian Komunikasi dan Infornatika (Kemkominfo) belum menerbitkan aturan Internet of Thing (IoT) secara lengkap sampai sekarang. Padahal, bisnis ini terus mengeliat di Tanah Air sejak 10 tahun terakhir.
Ketentuan yang dimaksud seperti persyaratan teknis perangkat sensor dan gateway, biaya sertifikasi perangkat radio, dan International Mobile Equipment Identity (IMEI) peramgkat.
Sebelumnya, aturan yang telah ditetapkan Kemkominfo adalah spektrum frekuensi radio berdasarkan kelas. Hal ini dialokasikan pada frekuensi 350 Mega Hertz (Mhz).
Pada saat itu juga diputuskan perangkat  telekomunikasi yang beroperasi pada spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas yaitu Wireless Local Area Network (WLAN).
Kemudian, Peranti Jarak Dekat (Short Range Device) dan Low Power Wide Area Nonseluler (LPWA Nonseluler). Terakhir, Licensed Assisted Access (LAA) dan Dedicated Short Range Communication (DSRC).
Aturan IoT yang belum lengkap dan belum jelas berakibat sebagian pemain belum dapat menjalankan, bahkan memperoleh kue ini sesuai targetnya. Karena, ukuran suatu pemain mampu memberikan layanan ini kepada penggunanya berupa sejauhmana dia bisa memenuhi ketentuan pemerintah.
Yustinus Kristianto Wididarmono, Direktur Pengembangan Standar Mekanika, Energi, Elektroteknika, Transportasi, dan Teknologi Informasi Badan Standarisasi Nasional (BSN),  menanggapinya standarisasi IoT juga belum banyak dilakukannya.
Karena, implementasi ini masih dinilai baru di Indonesia. “Kita belum punya SNI (Standar Nasional Indonesia) yang terkait IoT,” katanya dalam ‘Seminar Peluang IoT di Indonesia di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Melihat itu standarisasi yang diberlakukan BSN bagi IoT mengacu kepada International Organization  Standardization (ISO).
Organisasi ini memiliki Technical Management Board yang membawahi Technical Meeting dengan 326 Technical Committee telah memutuskan  SC41 yang mengatur berkaitan dengan IoT yang memberlakukan 21 standar.
Dari standar-standar tadi yang terbaru adalah framework interoperability oleh SC41. Kemudian, SC42 memberlakukan sesuatu yang baru bagi IoT adalah artificial intelligence.
“Kita sudah membentuk komite baru untuk bekerja mulai tahun baru yang berkaitan dengan SC41 dan SC42,” tuturnya.
Walaupun demikian BSN menunggu Peraturan Menteri (Permen) Kominfo terkait IoT seperti keamanan perangkat dan interoperabilitas perangkat.
Sambil menunggu itu BSN telah mengadopsi standar keamanan dari organisasi internasional berupa ISO 27001 yang memuat sistem keamanan informasi.
Konsumen dan Pebisnis
Kristianto meneruskan standarisasi IoT penting tidak saja bagi pengguna untuk perlindungannya. Namun, ini juga dibutuhkan bagi dunia usaha guna memenuhi kebutuhan konsumen dan pengelolaan bisnis yang baik.
“Di dunia internet dikenal PCIP (Program and System Information Protocol), kalau ini tidak diberlakukan, maka satu devide (perangkat) tidak bisa berkomunikasi dengan device lainnya,” jelasnya.
Meskipun, satu perangkat IoT bisa saling mengirim dan menerima sinyal dari perangkat IoT lainnya, tapi ini tidak dibaca oleh perangkat masing-masing secara otomatis. Itu yang dimaksud tidak bisa berkomunikasi satu sama lain.
“Apakah sinyal itu satu atau nol, harus ada kesepakatan antara device yang satu dengan device lainnya,” ujarnya.
Standarisasi perangkat juga memperhatikan perlindungan bagi konsumen yaitu apakah perangkat ini dapat memberikan jaminan perlindungan data yang dikirimkan dan diterima secara aman.
Artinya, data ini tidak bisa dicuri oleh pihak lain dengan pemakaian perangkat tadi. Standar lainnya adalah berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan pengguna, serta lingkungan hidup pengguna.
Untuk mencapai suatu standarisasi suatu perangkat harus melewati sejumlah tahapan penilaian seperti physical layer (lapisan fisik), data layer (lapisan data), application layer (lapisan aplikasi).
Dari lapisan-lapisan ini bisa dipadukan dalam empat lapisan yakmi lapisan perangkat, lapisan jaringan, lapisan platform, dan lapisan aplikasi.
Pembagian lapisan ini guna memudahkan penilaian lantaran suatu perusahaan belum tentu menjajakan produknya di semua bidang IoT secara penuh.
Ukuran Kemampuan
Pada kesempatan yang sama Andriyono Hutagalung, M.Kom selaku Senior Expert IoT and Digital Business PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk, mengungkapkan standarisasi komponen IoT mulai dari aspek Protocol Interoperability (Devices, Network, dan Application), Security dan Data Privacy menjadi hal penting yang diperlukan guna memenuhi jaminan keamanan dan kualitas bagi para konsumen maupun untuk memberikan kepastian ruang gerak bagi produsen/penyelenggara layanan IoT untuk mengkomersialkan produk dan layanan mereka dengan baik.
Beberapa Corporate Customers Telkom yang ditawarkan layanan IoT, kerap menanyakan sejauh mana Telkom memiliki perangkat sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia atau industri pada umumnya, baik dari sisi Interoperabilitas maupun Security dan Data Privacy.
Sementara itu Kemkominfo hingga saat ini sepertinya belum menerbitkan aturan perangkat IoT secara lengkap sesuai kebutuhan layanan. Penerapan layanan IoT setidaknya akan melibatkan tiga unsur yakni Devices (Sensors/Actuators/Gateways), Network, dan Application atau disingkat DNA.
“Dukungan regulasi terkait ekosistem layanan IoT mulai dari Framework/Roadmap IoT di Indonesia, Infrastructure (ijin Frekuensi non-seluler) dan sertifikasi Perangkat IoT menjadi tantangan kami masuk bisnis ini. Harapan kami, pemerintah dapat menjadi fasilitator yang dapat menjembatani kebutuhan para stakeholders terkait agar ekosistem IoT di Indonesia dapat tumbuh dengan pesat,” jelasnya.
Contohnya, ketika Telkom hendak mengimplementasikan layanan IOT berbasis Teknologi Konektivitas Low Power Wide Area Network (LPWA) LoRa sebagai alternatif solusi konektifitas IoT massive jarak jauh (sekitar 15 kilo meter di rural area) dan berdaya rendah (5–10 tahun baterai), masalah regulasi spektrum frekuensi yang dapat digunakan apakah di pita frekuensi unlicensed 433-868 Mhz atau 915-923 MHz menjadi isu yang perlu diputuskan oleh pemerintah dengan melibatkan para stakeholders terkait, agar kami dan para pemain IoT di Indonesia dapat bergerak lebih jauh menggarap potensial usecases yang telah dinantikan oleh customers. Telkom sendiri memiliki target Deployment Network LoRa di sejumlah kota besar nasional sekitar 1100 Gateways hingga akhir 2020, untuk mengakomodir internal dan eksternal usecases LoRa.
Saat ini, regulasi terkait Frekuensi LPWA LoRa Indonesia, pada akhirnya ditetapkan pada range frekuensi 920-923 Mhz, sesuai dengan PM Kominfo No.1 2019 : Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Berdasarkan Izin Kelas dan PERDIRJEN SDPPI No 3 Tahun 2019: LPWA Specification.
Sementara itu Gimin, Chief Executive Officer (CEO) Integral Industrial IoT yang merupakan suatu perusahaan berlokasi di Singapura, karena di sana mereka memperoleh bantuan pemerintah setempat mengembangkan bisnisnya.
Walaupun demikian perusahaan ini tetap dikelola oleh orang-orang Indonesia. Dia mengeluhkan kesulitan pemesanan pembuatan desain produk yang akan diujicoba untuk implementasi solusi analisa perkiraan perawatan suatu mesin produksi di perusahaan manufaktur.
Kesulitan yang dimaksud adalah perusahaan-perusahaan di Tanah Air belum mampu memenuhi itu secara cepat. Mereka juga tidak dapat memberikan barang dalam jumlah kecil.
“Kalau di Singapura kita kirim desain produk hari ini, tiga hari kemudian produknya sudah jadi, itu tidak terjadi di Indonesia yang baru selesai desain produknya setelah berbulan-bulan,” tandasnya.
Suatu produk belum bisa dibuat secara cepat di sini mungkin akibat sebagian komponen ini masih harus diraih dari luar negeri. Produk ini juga tidak bisa dibuat berjumlah sedikit akibat itu tidak bisa memenuhi skala keekonomiannya yakni tidak bisa menutup biaya produksinya apalagi memperoleh keuntungan.
“Kita tidak bisa memesan dua pieces (unit) desain produk di Indonesia, minimum 10.000 pieces, tapi kalau di Singapura sebanyak dua pieces tetap dibuatkannya,” tegasnya.
Pesanan sebanyak 10.000 unit desain produk belum dibutuhkan Gimin lantaran jumlah itu belum berguna baginya lantaran hanya sedikit yang diperlukan untuk ujicoba di kliennya.
Apalagi, jika dipesan sebesar itu bisa menghabiskan semua aset perusahaan untuk membayarnya yang berujung penutupan perusahaan.
Fanky Christian, Wakil Ketua Umum (Waketum) Asosiasi Sistem Integrator dan Sekuriti Indonesia (Asisindo) menambahkan implementasi IoT didukung oleh lima hal yakin content, platformnetworkgateway, dan device.
Dari hal itu baru content dan platform yang dapat dikembangkan Indonesia secara mudah dan besar. “Di Indonesia ICT device manufacture dan ICT component industry belum ada, jadi kita ke luar negeri beli chipset, kita tanya chipset-nya bisa ngapain,” pungkasnya. (moc)

Posting Komentar

0 Komentar