Menavigasi Investasi Energi Terbarukan untuk Masa Depan Indonesia Berkelanjutan



 Kerusakan alam telah menjadi isu serius yang memerlukan tindakan global. Pemicu utama kerusakan ini adalah perubahan iklim dan polusi yang timbul dari penggunaan bahan bakar fosil. Sebagai solusi, transisi dari energi fosil ke energi terbarukan dianggap efektif. Energi terbarukan lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil. Meski proses produksi energi terbarukan mungkin menghasilkan gas rumah kaca, jumlah emisi totalnya tetap jauh lebih rendah.

Selain itu, energi terbarukan mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka peluang investasi dalam energi baru yang terbarukan. Investasi energi terbarukan merupakan proses investasi pada proyek, perusahaan, dan teknologi yang menghasilkan listrik menggunakan sumber energi terbarukan seperti energi surya, energi angin, dan tenaga air. Investasi ini bergantung pada banyak faktor, termasuk masalah lingkungan, kemajuan teknologi, kekuatan pasar, dan dukungan pemerintah.

Bagaimana investasi energi terbarukan dapat menjadi keuntungan ekonomi?

Teknologi energi terbarukan memberikan keuntungan ekonomi karena menciptakan lebih banyak pekerjaan dan memanfaatkan sumber daya lokal. Industri ini telah mempekerjakan lebih dari 11 juta orang dan diperkirakan akan menyerap lebih dari 24 juta tenaga kerja pada tahun 2030, terutama di sektor pemasangan turbin angin dan panel surya.

Energi terbarukan juga memungkinkan dana untuk beredar di dalam negeri, mendukung ekonomi lokal, dan menawarkan kemandirian jangka panjang karena sumbernya yang tidak terbatas dan dapat disesuaikan dengan kondisi geografis serta iklim setiap negara. Ini berbeda dengan bahan bakar fosil yang sering diimpor dan menyebabkan kehilangan dana dari ekonomi lokal.

Investasi dalam energi terbarukan menjanjikan keuntungan berkelanjutan, seiring dengan penurunan signifikan pada biaya awal pembangkitan, terutama pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Berdasarkan data statistik PLN tahun 2022, biaya rata-rata untuk pembangkitan listrik tenaga surya di Indonesia pada tahun tersebut adalah Rp 1.034,52 per kWh. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 19% dari tahun 2021 yang berbiaya Rp1.281,77 per kWh. Selain itu, biaya operasional dan pemeliharaan juga relatif rendah, berkat kemajuan berkelanjutan dalam teknologi energi terbarukan. Ini membuat energi terbarukan menjadi sumber listrik yang ekonomis, stabil, dan dapat diandalkan.

Manfaat ekonomi dari investasi dalam energi terbarukan tidak hanya berdampak pada skala ekonomi besar, tetapi juga pada keuangan pribadi individu yang memasang sistem energi terbarukan, seperti panel surya di rumah. Pemasangan panel surya dapat menurunkan biaya tagihan listrik setiap bulan. Namun, untuk mendorong pemasangan ini, diperlukan regulasi dan insentif dari pemerintah setempat.

Peluang investasi energi terbarukan di Indonesia

Keuntungan yang telah diuraikan menunjukkan bahwa transisi ke energi terbarukan membuka peluang menggiurkan bagi investor yang siap memanfaatkan potensi yang ada. Investasi dalam energi terbarukan di Indonesia sangat menjanjikan, mengingat potensi besar yang dimiliki oleh negara ini. Sebuah studi yang diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) pada Oktober 2021 berjudul “Beyond 443 GW: Indonesia’s Infinite Renewables Energy Potentials” menggunakan Sistem Informasi Geografis untuk memetakan potensi teknis energi terbarukan di Indonesia.

Studi tersebut mengungkapkan bahwa total potensi teknis energi terbarukan di Indonesia adalah 7.879,4 Gigawatt, angka yang jauh melampaui kebutuhan untuk mencapai dekarbonisasi mendalam atau target emisi nol pada tahun 2050. Potensi ini juga lebih besar dari estimasi yang tercatat dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang hanya mencatat potensi sebesar 443 Gigawatt. Data RUEN yang belum diperbarui sejak tahun 2014 pun dinilai masih jauh di bawah potensi sebenarnya. Jika potensi besar ini dimanfaatkan dengan optimal, Indonesia dapat memenuhi seluruh kebutuhan energinya.

Realisasi pemanfaatan dan investasi energi terbarukan di Indonesia

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan beralih ke energi terbarukan, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017. Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) hingga 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Data dari Dewan Energi Nasional (DEN) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, komposisi bauran energi masih didominasi oleh batu bara (40,46%), minyak bumi (30,18%), dan gas bumi (16,28%), dengan EBT hanya sebesar 13,09%, naik 0,79% dari tahun sebelumnya. Namun, angka ini masih belum mencapai target yang diharapkan sebesar 17,87%. Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan bahwa capaian EBT pada tahun 2023 tidak sejalan dengan peningkatan produksi dan konsumsi energi fosil, yang bertentangan dengan tujuan transisi energi menuju net-zero emission yang telah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2021.

Investasi di bidang energi baru terbarukan (EBT) mengalami penurunan sekitar 9,3% menjadi 1,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 23,3 triliun di tahun 2023, turun dari 1,6 miliar dolar AS di tahun sebelumnya. Meskipun terjadi penurunan pada investasi EBT, investasi keseluruhan di sektor energi meningkat, dengan total investasi di sektor ESDM mencapai 30,3 miliar dolar AS pada tahun 2023, naik dari 27 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya. Transisi ke energi terbarukan memerlukan investasi besar, dan menurut Internasional Renewable Energy Agency (IRENA), Indonesia memerlukan investasi sebesar 314,5 miliar dolar AS dari tahun 2018 hingga 2030, atau rata-rata 17,4 miliar dolar AS per tahun.

Tantangan dalam proses pemanfaatan dan investasi energi terbarukan

Pencapaian target pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia masih belum memenuhi harapan. Kenaikan harga komoditas energi global, seperti minyak mentah, gas alam, dan batu bara, telah menyebabkan subsidi energi meningkat, yang pada gilirannya mempengaruhi biaya produksi energi dan mengurangi insentif untuk beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain itu, terdapat kendala teknis dalam pengembangan proyek EBT, termasuk penundaan lelang oleh PLN dan masalah bankability proyek yang telah dikontrak. Faktor lain yang mempengaruhi adalah peningkatan biaya pembiayaan dan suku bunga selama dua tahun terakhir, serta dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 yang berpengaruh pada investasi dan pembiayaan proyek EBT.

Indonesia membutuhkan investasi internasional untuk memajukan sektor energi baru terbarukan (EBT), yang akan membuka lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Negara ini telah mengimplementasikan kebijakan seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja untuk menarik investasi asing. Namun, ada berbagai tantangan dalam menarik investasi tersebut, termasuk perlambatan ekonomi pasca-krisis keuangan Asia, rendahnya produktivitas dan daya saing, serta kebutuhan investasi besar untuk infrastruktur dan peralatan EBT. Persaingan investasi dengan negara tetangga juga menjadi faktor yang mempengaruhi penarikan investasi asing ke Indonesia.

Kesimpulan

Investasi dalam energi terbarukan di Indonesia memiliki potensi besar, diperkuat oleh penurunan biaya pembangkitan dan operasional. Namun, realisasi pemanfaatan energi terbarukan masih belum memenuhi target yang ditetapkan, terhambat oleh faktor-faktor seperti peningkatan harga komoditas energi, kendala teknis, dan pembiayaan.

Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional, namun memerlukan investasi global dan dukungan kebijakan untuk mengatasi tantangan yang ada dan memanfaatkan potensi yang melimpah. Secara keseluruhan, energi terbarukan merupakan pilihan strategis yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dengan syarat adanya dukungan investasi dan kebijakan yang memadai.

sumber : https://rm.id/baca-berita/ekonomi-bisnis/216985/menavigasi-investasi-energi-terbarukan-untuk-masa-depan-indonesia-berkelanjutan 

Posting Komentar

0 Komentar