Pers: Perjelas Definisi Penyalahgunaan Data Pribadi di RUU PDP


Para pemangku kepentingan di dunia pers melihat adanya potensi gesekan dari Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) dengan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Karenanya, diperlukan kejelasan lebih rinci terkait definisi penyalahgunaan data pribadi itu yang seperti apa.

“Kenapa? Karena pers dalam hal ini media massa kerapkali juga melakukan investigasi dan liputan-liputan yang berpotensi mengekspos data pribadi, mungkin terkait dengan keuangan, lokasi atau keberadaan dari tokoh-tokoh publik. Kalau tidak ada kejelasan tentang definisi penyalahgunaan data itu, kita mengkhawatirkan adanya abuse dari UU PDP,” ujar Wahyu Dhyatmika, CEO Tempo.co, saat menjadi narasumber webinar Literasi Digital “Peran Media Dalam Mendukung Pelindungan Data Pribadi” yang diadakan secara daring, 29 Oktober 2021.

Dia mengatakan sangat mendukung kehadiran UU PDP ini. Hal itu disebabkan beberapa kasus kebocoran data pribadi yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Apalagi, kata Wahyu, aplikasi digital itu sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Semua orang sudah menggunakan teknologi digital dari hal sederhana sampai yang terkait dengan pekerjaan. “Itu ada implikasi data. Jadi, data kita menjadi terkumpul di para provider aplikasi dan layanan digital. Karenanya, harus ada aturan main yang jelas mengenai sejauh mana data kita kemudian bisa dikomersialisasikan,” katanya.

Menurutnya, UU PDP juga diperlukan untuk mengatur bagaimana tanggung jawab para provider atau layanan digital untuk menjaga agar data pribadi seseorang itu tidak bocor ke tangan pihak lain. Pelindungan data pribadi itu salah satu kunci menuju transformasi atau akselerasi dari transformasi ekonomi digital.

“Karena, kalau kita ingin memperluas atau melipatgandakan kue ekonomi digital, maka pelindungan data pribadi ini adalah salah satu kunci atau prasyarat penting agar masyarakat merasa aman menggunakan data dan perusahaan juga punya panduan yang jelas untuk mengelola data pribadi dari para user-nya,” ujar Wahyu.

Menurutnya, kemungkinan gesekan bisa terjadi kalau tidak antisipasi dengan menyediakan klausul-klausul yang tepat di dalam RUU PDP. Hal itu penting dilakukan agar di satu sisi data pribadi bisa terlindungi, tapi klaim kebebasan pers dan keterbukaan informasi juga tetap terjaga.

Dia mencontohkan kasus yang pernah terjadi di Romania, di mana sebuah media yang menulis tentang laporan investigasi kasus korupsi kemudian digugat ke pengadilan karena dianggap membocorkan data pribadi dari tokoh atau pejabat publik yang ditulis.

Contoh lainnya adalah kasus di Majalah TEMPO saat menulis tentang rekening gendut polisi. Saat itu, TEMPO mendapat bocoran dari sebuah lembaga terkait isi rekening perwira polisi. ICW waktu itu meminta kepada Komisi Informasi Publik agar semua rekening perwira polisi dibuka. Permintaan itu disetujui karena dianggap data publik. Tapi, kemudian Mabes Polri mengajukan banding ke PTUN yang menolak Keputusan KIP dengan alasan rekening bank itu merupakan data pribadi. “Ini sebuah contoh yang menunjukkan sebuah potensi gesekan antara rezim pelindungan data pribadi dan rezim keterbukaan informasi. Ini yang harus kita antisipasi,” katanya.

Jadi, menurut Wahyu, harus dipilah betul kapan sebuah data pribadi dikecualikan untuk boleh dimuat di media, dan kapan itu dianggap melanggar privasi dari si pemilik data tersebut. “Jadi, saya pikir pembahasan RUU PDP ini perlu melibatkan stakeholder pers, di mana ada dewan pers dan pemimpin redaksi media. Saya kira sangat mungkin untuk mencari titik temu,” ujarnya.

Menurut Wahyu, kalau pers diminta melakukan sensor sendiri, itu malah menjadi tidak produktif. Pers membatasi dirinya dalam melakukan investigasi atau liputan-liputan untuk kepentingan orang banyak hanya karena takut dipidana. “Jadi, yang rugi justru orang banyak kalau UU PDP itu nantinya justru menimbulkan ketakutan buat pers yang kemudian tidak berani untuk menyensor dirinya sendiri,” tuturnya.

Dia juga melihat UU PDP ini dimungkinkan akan mengkriminalisasi kebebasan pers jika tidak ada pengecualian. Pengecualian, menurutnya, jika data pribadi yang dimuat di media itu untuk konsumsi pers dan sudah melalui proses validasi, verifikasi, dan konfirmasi.


Sumber : https://nasional.tempo.co/read/1522820/pers-perjelas-definisi-penyalahgunaan-data-pribadi-di-ruu-pdp/full&view=ok

Posting Komentar

0 Komentar